Pernah merasakan bahagia di atas penderitaan orang lain? Itu namanya schadenfreude
Kita semua tahu dan sepakat ya, kalau bersenang-senang di atas penderitaan orang itu perbuatan yang kejam banget. Bayangkan aja, kita lagi susah, sedih, bingung, gara-gara tertimpa kemalangan, eh malah ada orang yang senyum-senyum waktu liat muka kita yang penuh kekalutan. Kalau udah ada di posisi kayak gitu, umumnya kita bakal misuh-misuh dan nyalahin dunia yang menurut kita kejam banget.
Dari kecil, kita juga udah diajarin sama orang tua dan guru buat nggak ngerasa senang kalau ada teman yang lagi kesusahan. Kalau ada teman yang lagi kesusahan, tindakan yang harus kita lakukan ya membantunya. Nggak cuma nasihat dari orang tua ataupun pelajaran dari guru di sekolah yang mengajarkan kita buat berempati pada penderitaan orang, tapi juga di dalam ajaran agama. Setiap agama pasti akan melarang umatnya buat ngerasa seneng ketika ada orang yang menderita, entah orang itu adalah saudara seiman ataupun musuh. Setiap agama, hakikatnya mengajarkan kebaikan.
Daftar Isi
Kadang baik, kadang picik
Meskipun begitu, kalau disuruh jujur, pasti kita semua pernah ngerasain rasa seneng ketika ngelihat orang lain yang lagi kesusahan. Apalagi kalau orang itu musuh atau pesaing kita. Wah… rasanya ada kebanggaan dan kepuasan di dalam hati kita, meskipun bukan kita yang menjadi penyebab kemalangan mereka.
Walaupun kita adalah orang baik yang memegang teguh prinsip-prinsip kebaikan, rasa senang ketika liat orang susah pasti bakal tetap muncul. Kemunculannya reflek dan nggak bisa kita kendalikan. Udahlah, nggak usah susah-susah menyangkal, semua orang juga sama kayak begitu kok.
Nah guys, tau gak kalau rasa senang pas liat orang susah itu ada istilahnya? Namanya, schadenfreude. Kalau ngerasa ini istilah aneh, asing, dan susah buat dibaca, ya wajar soalnya itu istilah dari Bahasa Jerman. Schadenfreude ini merupakan gabungan dari dua kata, yaitu “Schaden” yang berarti, “kerusakan atau cedera” dan “Freude” yang artinya, “sukacita atau kenikmatan.” Kalau digabungin, artinya jadi, “sukacita atas kerusakan.”
Beberapa hari yang lalu, saya baru aja nemu buku yang ngebahas schadenfreude ini. Judulnya, “Schadenfreude: Mengapa Kita Senang Melihat Orang Lain Susah”, yang ditulis oleh Tiffany Watt Smith. Ya betul, ini buku terjemahan. Mbak Tiffany menulis dengan blak-blakan perasaan yang akrab dengan kehidupan kita sehari-hari yang sering dikutuk ini, dalam sebuah buku yang tebalnya 198 halaman. Tipis, tapi padet. Dari buku ini, saya jadi tahu mengenai asal-usul perasaan guilty pleasure ini, serta gimana cara kita buat ngehadepinnya.
Schadenfreude itu naluri alamiah manusia
Ya, sebagai manusia, kita selalu dituntut untuk bersaing. Meskipun kita bukan binatang yang hidup di hutan belantara, tapi prinsip hukum rimba tampaknya masih berlaku di kehidupan sosial kita. Maksudnya bukan jadi kanibal, tapi maksudnya orang yang unggul dan berkemampuan akan menjadi pemenang. Kalau kita sama sekali nggak punya skill atau kemampuan yang bisa membuat kita survive di berbagai aspek kehidupan, ya siap-siap aja kita bakal disingkirkan oleh orang-orang hebat yang lebih unggul tadi.
Persaingan inilah yang membuat kita diam-diam menaruh rasa iri dan insecure ketika kita ngelihat ada orang yang kita anggap lebih hebat daripada kita. Diam-diam kita berharap kalau suatu saat nanti dia bakalan jatuh, sehingga kita punya kesempatan untuk merebut posisinya. Sehingga, saat kita melihat orang-orang seperti itu jatuh, akan ada rasa senang dari dalam hati.
Harapan akan tegaknya keadilan
Kalau kita ngelihat berita di televisi tentang preman dan pencuri yang ditangkap polisi, atau ngelihat pembunuh yang didakwa hukuman mati, apa yang kita rasakan? Kalau ditanya gitu, pasti kita bakal jawab “seneng” atau “puas”, atau malah dua-duanya. Waktu ngelihat berita kayak gitu, kita bakal ngomong dalam hati, “Mampus lu kan!”
Ya guys, sadar nggak sadar, ini juga salah satu bentuk schadenfreude. Kita seneng ngelihat seorang penjahat yang dihukum, kita seneng ngelihat koruptor yang ketangkep. Kita lebih sering memaklumi perasaan yang senang yang ini, karena menurut kita ya, emang pantes mereka kena karmanya.
Schadenfreude itu bukan sesuatu yang buruk kok sebenarnya. Seperti yang saya bilang di awal, schadenfreude itu muncul sepenuhnya alami dari naluri kita sebagai manusia. Kita semua akan senang kalau keadilan ditegakkan dengan cara yang benar. Inilah yang bikin kita seneng kalau ada pembunuh yang dihukum mati. Padahal kalau dari sisi si pembunuh, ini sebenarnya kemalangan bagi dia. Justru kita malah ngerasa sedih dan kesel kalau dia malah nggak jadi dihukum mati, walau bagi dia itu adalah sebuah keberuntungan.
Keinginan menjaga kesolidan kelompok
Schadenfreude nggak semata-mata tentang individualitas, tapi juga berkenaan dalam kehidupan berkelompok. Wajarnya, kalau udah menganggap diri sebagai bagian dari suatu kelompok, akan ada rasa bahwa kita sehati dan sejiwa dengan anggota kelompok lainnya. Serta kita juga bakal punya kecenderungan buat menganggap orang-orang di luar kelompok sebagai rival atau ancaman.
Kalau ada kelompok lain yang kena timpa kemalangan, umumnya kita bersama dengan anggota kelompok yang lain akan merasa senang. Yang kayak gini banyak nih kalau di dunia perfandoman. Kalau udah mengarah ke perilaku toxic, ujung-ujungnya bakal terjadi fanwar. Tapi sisi lainnya, sesama anggota fandom bakal menjadi lebih erat dan solid dalam rangka menjatuhkan fandom lain. Tapi yang kayak gini nih nggak usah ditiru ygy.
Sadar atau tidak, schadenfreude juga punya banyak manfaat bagi diri kita sendiri. Yang pertama, bisa menumbuhkan rasa syukur. Setidaknya, keadaan kita lebih beruntung dari mereka. Kita juga bisa mengantisipasi kejadian serupa akan terjadi pada diri sendiri. Misalnya, kita ngelihat video orang yang kecebur di kolam lele gara-gara pas jalan malah asyik liat HP. Melalui video itu, kita jadi sadar buat selalu berhati-hati kalau lagi jalan.
Stres gara-gara schadenfreude
Tapi kadang-kadang, schadenfreude juga bikin kita stres. Kita sering kali ngerasa kalau seneng di atas penderitaan orang lain itu jahat banget. Tapi perlu kita semua ketahui, schadenfreude nggak sepenuhnya buruk. Kadang kita juga butuh semacam penyegaran untuk menjaga kewarasan pikiran kita, atau untuk menenangkan diri yang selalu merasa insecure. Schadenfreude juga bisa menjadi pengingat, kalau kita semua hanyalah manusia biasa, yang bisa aja gagal kapan aja.
Yang saya tulis ini cuma sebagian kecil dari keseluruhan isi bukunya aja. Saya sarankan buat baca sendiri bukunya secara full, untuk penjelasan yang lebih lengkapnya.
Penulis: Artika F. Ramadhani
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA “Yaelah Gitu Doang!”: Teman Kesusahan, Kok Malah Dijadiin Kompetisi?