Membaca salah satu artikel warga Sidoarjo yang belum bisa dengan bangga menggaungkan nama kotanya sendiri, rasanya membuat saya kembali membuka luka lama. Saya, sebagai warga Pasuruan pun merasakan hal yang serupa, meskipun beda cerita.
Orang bilang, “Rumahku surgaku.” Tapi entah kenapa, bagi saya yang lahir, tumbuh, dan (sementara ini) hidup di Kabupaten Pasuruan, rumah sendiri rasanya seperti tempat magang tanpa kejelasan kontrak. Ada di sini, tapi rasanya kayak nggak dianggap. Pengin kontribusi? Susah. Pengin kuliah di tanah kelahiran? Nggak ada kampus negeri. Kalau pengin kerja? Loker-nya kayak sembako murah: rebutan dan langka. Singkatnya, saya warga Kabupaten Pasuruan yang kurang beruntung, atau dalam bahasa anak muda sekarang “nggak hoki”.
Kuliah di Pasuruan? Halah, cuma angan-angan!
Dulu, pas lulus SMA, saya punya satu keinginan sederhana: kuliah di daerah sendiri karena memang dasarnya masih “mak-mak’en”. Selain biar nggak jauh dari keluarga, juga agar bisa nyambi bantu-bantu di rumah, dan biar hemat ongkos juga. Tapi ternyata, mimpi dan angan-angan itu mental di tengah jalan karena kampus negeri belum eksis di Kabupaten Pasuruan.
Mau kuliah di kota sebelah? Tentu sangat menggoda, apalagi Malang opsi kampus negerinya banyak! Tapi ya itu, harus berjuang lebih—mulai dari biaya, bertarung dengan warga asli Malang dan sekitarnya, sampai perjuangan untuk adaptasi di lingkungan baru.
Jadi ibaratnya begini, pengin jadi cendekia lokal, tapi wilayah sendiri belum siap menyambut. Jadi apalah daya, pilihan kabur aja dulu (ke kota sebelah) memang tampak yang paling masuk akal. Sungguh beruntung kalian yang bisa di kota sendiri, saya iri dan saya bilang!
Kerja? Pantangan kalau deket rumah
Oke, lulus kuliah, saya coba realistis: “Kalau kuliah nggak bisa di sini, setidaknya kerja dan cari nafkah bisa di sini dong.” Nyatanya? Jauh panggang dari sate kambing. Padahal saya sudah dengan bangga kembali dari perantauan lengkap dengan gelar sarjana. Terlebih, sarjana Akuntansi yang lowongan kerjanya hampir ada dimana-mana.
Pabrik-pabrik di kecamatan tempat saya tinggal pun bisa terbilang banyak, mulai dari Pocari Sweat (PT Amerta Indah Otsuka), Nestle, Mayora, dan jejeran pabrik lainnya. Namun, sayangnya mereka buka lowongan kerja-nya bisa dihitung jari. Itu pun kayaknya pakai sistem siapa kenal siapa. Meskipun tidak sampai keriting ini jari untuk upload atau kirim CV, tapi pabrik terdekat seolah lebih memberikan prioritas pada “anaknya si anu”, “ponakannya si itu”, dan “temennya bos pabrik”.
Saya? Cuma netizen pengamat loker kabupaten yang setia.
Memang, kalau bukan jodoh tak bisa dipaksakan. Hoki saya memang bukan di Kabupaten Pasuruan, melainkan di Kota Pasuruan. Saat itu, akhirnya saya bekerja kurang lebih selama 2 tahun di salah satu perusahaan dagang (dealer) di Kota Pasuruan. Eits, bukan sebagai tenaga penjualannya ya, tapi sebagai staff accountingnya.
Usaha kesekian untuk kembali mengabdi di Kota kelahiran yang sia-sia
Saya masih keukeuh untuk bekerja di Kota Kelahiran. Setelah sekian purnama melanglang buana dan kembali dengan gelar magister, pernah juga saya daftar jadi Panitia Pemungutan Suara (PPS) buat Pemilu tahun lalu. Agak membingungkan memang, namun tentu tak bisa diceritakan panjang lebar J.
Singkatnya, saat itu, saya baru saja lulus dan setengah hilang arah karena belum diizinkan merantau ke luar kota. Anak pertama emak saya akhirnya merekomendasikan saya untuk mendaftar PPS. Ybs bekerja di pemerintahan desa dan memberikan informasi bahwa ada “peluang” untuk saya. Meskipun PPS ini di tingkat desa, namun proses seleksinya cukup panjang, mulai dari seleksi administrasi, tes tulis, hingga wawancara. Saya sudah semangat mengikuti rangkaian seleksi tersebut sampai tuntas. Saya sangat optimis dan percaya diri dengan hasilnya.
Tapi apalah daya, hasilnya nihil. Bukan karena saya nggak mampu atau nggak niat, tapi karena katanya saya nggak punya ordal alias orang dalam, atau sekalipun punya, dekengane kurang kuat! Sedih? Tentu. Tapi lebih sedih lagi karena saya mulai merasa, kemampuan kalah telak sama kenalan.
Saya pikir, mungkin kalau saya sudah S2, peluang saya berkontribusi di tanah kelahiran bisa lebih terbuka. Jadi saya tempuh juga pendidikan tinggi itu sambil bawa harapan: “Siapa tahu, bisa mengajar di kampus lokal.” Tapi ya begitulah, lagi-lagi realita menjitak ekspektasi. Kampus di Kabupaten Pasuruan (yang sebagian besar swasta) sepi lowongan.
Entah karena memang jurusan/prodi akuntansi tidak banyak ditawarkan di kampus yang ada di Pasuruan atau memang saya kalah sebelum berperang. Padahal, menurut saya pribadi prodi akuntansi bisa jadi potensi besar untuk kampus, melihat industri atau pabrik di Pasuruan terbilang banyak dan relative besar. Tapi tentu, ini dengan catatan lulusannya harus dilengkapi dengan kompetensi yang bersaing dengan lulusan kampus lain di luar Pasuruan.
Saya bukan mengeluh, hanya sedang jujur tentang kondisi Pasuruan
Apakah saya akhirnya kecewa dengan Pasuruan? Tidak. Saya tetap mencintai Kabupaten Pasuruan. Serius. Bahkan saya bersyukur sekali lahir di Pasuruan. Kabupaten Pasuruan yang terkenal akan industrinya, pesantrennya, pesona alamnya, dan segala keramahannya. Tapi jujur, setelah dewasa saya jadi paham bahwa cinta sepihak itu memang menyakitkan. Saya ingin tinggal, belajar, bekerja, dan berkontribusi di tanah sendiri.
Tapi sampai hari ini, tanah ini belum juga membuka pintunya buat saya. Mungkin nanti, dengan cara yang berbeda.
Jadi, warga Terminal Mojok, adakah yang bernasib sama? No worries! Mungkin belum saatnya, atau ya memang kita hoki di tanah sebelah! Kalau mau, kita bisa bikin klub. Klub “Warga Lokal Kurang Beruntung”—anggotanya banyak, tempat curhatnya gratis, dan motonya: “Asal bukan di kampung sendiri.”
Penulis: Maulidah Fitria
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
