Beberapa waktu lalu, orang-orang sudah pada bilang kalau bakalan ada serangan virus gelombang ketiga. Isu ini muncul ketika virus varian Omicron sudah menginfeksi ratusan orang. Di satu sisi, ini sangat menakutkan. Tapi di sisi lain, ini sangat menyebalkan.
Corona dibawa dari luar negeri. Well, itulah asalnya. Tanpa tindakan yang cepat dan reaktif, virus ini kemudian menyebar. Penanganan yang kacau dan pencegahan yang setengah-setengah bikin masalah virus ini makin runyam. Kita semua yang masih bertahan hidup adalah saksi sejarah betapa kelamnya dua tahun belakangan.
Kini, ancaman nyata sepertinya bakalan datang lagi. Katanya, Omicron ini berkali-kali lipat lebih mudah menyebar dan menginfeksi.
Tentu virus varian baru ini datang juga dari luar negeri. Sebesar 95 persen kasus Omicron di Jakarta disebut berasal dari perjalanan luar negeri. Sialnya, orang-orang kaya kita banyak sekali yang keluar masuk negara dengan senangnya.
Kalau kamu pikir ini hanyalah sentimen buruk terhadap orang kaya, sebaiknya baca dulu. Ini bukan perkara iri, bukan.
Saya sama sekali tidak bisa melarang mereka ketika melakukan perjalanan ke luar negeri. Saya hanya menyayangkan. Kabar tentang Omicron sudah bisa dibaca di mana-mana, kok ya masih nggak paham?
Kalau kita mau mengaca pada peristiwa kelam tahun lalu, pas gelombang dua varian Delta menyerang, harusnya mereka dan kita semua prihatin. Di kampung-kampung banyak sekali orang yang kehilangan nyawa karena varian itu.
Di kampung saya saja, dalam sehari kabar duka bisa mencapai delapan kali dalam sehari. Ini baru dalam satu kampung.
Bukti virus sudah ada, pengalaman kelam sudah terjadi, dan prediksi gelombang ketiga sudah ada jauh-jauh hari, kenapa Anda masih berwisata ke luar negeri?
Saya sangat tidak rela kalau Omicron bawaan kalian menyebar dan melumpuhkan kehidupan lagi. Saya tidak rela kalau varian baru yang Anda bawa itu akan menjalar sampai ke kampung-kampung, melumpuhkan aktivitas, dan memperpanjang masa kelam akibat pandemi ini.
Dari dulu, orang-orang miskin selalu menjadi korban. Sejak PSBB hingga PPKM, tiap malam mereka beradu mulut dengan aparat. Penjual pecel lele, toko kelontong, dan warung lesehan tidak pernah absen dari gertakan aparat pada malam hari.
Mereka sejak dulu selalu dituduh tidak taat protokol kesehatan. Di satu sisi memang benar, tapi di sisi lain, mereka tidak punya banyak pilihan.
Saya sangat sedih ketika orang-orang yang terpaksa harus berjualan itu selalu beradu mulut, bahkan beradu fisik dengan satpol PP dan polisi. Mereka ini adalah korban. Korban dari dungunya pemikiran orang-orang kaya yang masih memutuskan untuk berwisata ke luar negeri saat pandemi.
Saya sebetulnya percaya kalau semua orang pasti punya hati nurani dan pikiran yang sehat. Tapi, bagaimana (orang-orang kaya itu) bisa mereka mengeliminasi alasan-alasan yang memberatkan mereka untuk pergi ke luar negeri?
Proses untuk berangkat ke luar negeri itu panjang, lho. Mulai dari memilih tujuan wisata, pesan tiket, hingga persiapan dan perjalanan menuju bandara. Itu bukanlah waktu yang singkat. Selama proses itu, apakah otak dan hati mereka tidak berkecamuk?
Tidak munculkah perasaan khawatir yang kemudian membuat mereka mengurungkan niat untuk berwisata ke luar negeri? Kalau ada, bagaimana mereka bisa menepis kekhawatiran itu? Saya sangat ingin tahu.
Saya mungkin bukan orang satu-satunya yang sangat kesal dengan kelakuan orang-orang kaya itu. Banyak sekali pengguna medsos yang juga sebal. Bagaimana tidak, kami (orang-orang miskin) tidak pernah ke luar negeri tapi (nantinya akan) dipaksa merasakan dampak tidak enak dari virus varian terbaru ini.
Saya kesal, tapi saya tetap berharap kalau Omicron ini tidak akan menggila seperti varian-varian sebelumnya. Tapi kalau sampai virus varian terbaru ini benar-benar menyebar seperti tahun-tahun kemarin, saya doakan mereka alergi oksigen.
Penulis: Muhammad Farih Fanani
Editor: Rizky Prasetya