Saya Termasuk yang Ogah Nonton ‘The World of the Married’

4 Unsur Drama Paling Malesin yang Jadi Formula Mainstream Drakor terminal mojok.co

4 Unsur Drama Paling Malesin yang Jadi Formula Mainstream Drakor terminal mojok.co

Mau seramai apa pun iming-iming dari pemirsa setianya, lengkap dengan ulasan di beberapa media, saya tetap nggak mau nonton serial The World of the Married. Bodo amat!

Saya penggemar drama Korea. Meskipun tidak bisa menonton semuanya karena tahu sendiri judul dramanya banyak sekali, setidaknya ada beberapa drama yang saya tamatkan dan jalan ceritanya masih teringat jelas. Sebut saja Cheongdam-dong Alice, Sungkyunkwan Scandal, Rooftop Price, The Heirs, City Hunter, The Master’s Sun, dan masih ada beberapa lagi.

Lho, kok semuanya drama lama? Hehe… maklum, sejak menikah dan beranak-pinak rasa-rasanya kurang bijaksana kalau saya menghabiskan waktu untuk maraton nonton drama di malam hari. Mending waktunya untuk tidur. Kalau waktu masih single sih hajar, bleh!

Meskipun demikian saya masih sempat nonton Parasite ketika booming beberapa waktu yang lalu. Selain karena penasaran, waktu yang diperlukan untuk menonton 1 film lepas jauh lebih sedikit daripada menonton drama yang terdiri dari beberapa episode.

Ada satu-dua drama yang rencananya akan saya tonton, meskipun sudah agak lewat masanya. Antara lain Sky Castle dan Go Back Couple. Dari spoiler yang beredar, keduanya cukup bagus untuk diikuti. Seperti penggemar wayang, saya termasuk orang yang tidak keberatan diberi spoiler sebuah film atau drama, apalagi kalau genrenya horor atau thriller. Bisa siap-siap kapan harus tutup mata atau pura-pura ambil makanan di dapur.

Nah, saat ini ada satu drama yang sedang ramai dibicarakan ibu-ibu dan para gadis. Apalagi kalau bukan The World of the Married, serial dari Korea Selatan yang diadaptasi dari seri televisi Inggris Doctor Foster.

Berbeda dengan film Parasite yang menang Oscar dan bikin Presiden Trump sebal, The World of the Married sukses membuat mayoritas penontonnya sebal. Buktinya akun Instagram Han So Hee, pemeran pelakor dalam drama tersebut, sukses diserbu oleh warganet +62 yang kesal dengan peran yang dimainkannya.

“Mbak, kamu itu cantik lo, eman-eman kalo jadi pelakor.”

“Mbak, apa kamu bahagia sekarang!?”

Ada yang bilang kalau warganet yang melakukan”penyerangan” itu adalah penonton pemula yang tidak bisa membedakan realita dan akting. Wajar sih, toh dulu jaman Meteor Garden 2 Michelle Saram yang berperan sebagai Ye Sha saingan Shan Chai sempat dimusuhi warga Taiwan. Tapi ya mbokan, komentarnya jangan pakai bahasa Indonesia campur Jawa. Usaha dikit di-translate ke bahasa Korea atau minimal bahasa Inggris biar pemeran Yeo Da Kyung-nya paham. Emangnya aktris Korea bakal paham apa itu pelakor?

Nah, kembali ke bahasan semula: mengapa saya nggak mau ikut-ikutan nonton drama ini meskipun hampir semua orang membahasnya? Sebab saya nggak mau baper sendiri setelah nonton. Meskipun saya sepertinya nggak bakal ikut ngasih komentar sepedas bakwan satu cabenya lima di akun Mbak Han So Hee, tapi mungkin akan berimbas ke kehidupan nyata. Kan kasihan suami saya yang nggak salah apa-apa kalau saya jutekin gara-gara kesal sama si suami di drakor ini.

Oya, ini bukan argumentasi kaleng-kaleng ya. Sudah banyak “kesaksian” dari teman saya yang setelah menonton drama ini jadi paranoid sama suaminya. Ada juga teman yang jadi jutek setengah mati ke suami dan ibu mertuanya. Sisanya jadi lupa masak, lupa mandi, lupa beberes rumah, efek samping yang wajar terjadi setelah maraton nonton drakor.

Selain itu menurut ilmu psikologi sosial, kita sebenarnya lebih mudah dipengaruhi oleh lingkungan daripada diri kita sendiri. Sekitar 70-80% waktu kita dihabiskan untuk berinteraksi, mungkin agak berkurang setelah disuruh PSBB. Dari waktu tersebut, 30% untuk berbicara dan 45% untuk mendengar.

Nah, dari informasi yang kita serap dari lingkungan, kita akan memutuskan untuk melakukan sesuatu. Pusat di otak yang berperan untuk melakukan hal tersebut terletak dekat dengan pusat penglihatan di bagian belakang. Hal ini membuat input visual memiliki pengaruh yang besar terhadap keputusan kita nantinya. Bisa diterjemahkan sebagai apa yang kita tonton dalam film dapat mempengaruhi tindakan kita selanjutnya di dunia nyata.

Tapi tetap, apa pun keputusan kita, jika diumumkan di dunia maya media sosial, akan memancing respons. Seperti ketika saya menuliskan bahwa saya sama sekali tidak berkeinginan menonton drama satu ini di status Facebook. Ada satu komentar dari orang yang tak dikenal bukan termasuk daftar pertemanan saya, “semua hnya film knp hrs di baperin mbak, itu hnya film Anggp aj SPT melihat khidupan org lainn.”

Saya lihat profilnya: laki-laki, sudah menikah, punya anak dua, nggak bisa menulis dengan ejaan yang baik, dan komentar itu pun saya abaikan. Dalam hati saya berdoa, semoga istri masnya nonton lalu baper dan masnya dicuekin minimal seminggu. Duh, kok saya jadi jahat gini ya?

BACA JUGA Alasan Orang Tua Tidak Memasukkan UT sebagai Pilihan Kampus Anaknya dan tulisan Maria Kristi Widhi Handayani lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version