Pernah lihat nggak unggahan dari akun-akun sosial media Jember yang bilang “Jember ditinggal ngangeni, ditunggoni ra sugeh-sugeh”?
Ternyata quotes ini relevan juga setidaknya pada pengalamanku dengan kota yang sudah kutinggali setidaknya selama dua dasawarsa ini. 31 Juli 2022, hari itu untuk pertama kalinya aku benar-benar “membenci” Jember. Hatiku hancur, seketika kenangan-kenangan manis soal teman dan relasi yang kurajut di sini, makanan gurih pedas khas lidah Madura swasta yang selalu kunikmati, hingga memori tempat-tempat yang kerap kukunjungi. Semuanya hilang karena satu tamparan di pipi kiri.
Tidak sakit memang rasanya, namun seperti ada cambuk yang menampar ego dan menghasilkan tangis air mata seketika itu juga.
Daftar Isi
Tamparan dan tanda dari Tuhan
Setelah lulus pada 2019, aku bekerja di salah satu pabrik cerutu swasta di Jember sebagai seorang sekretaris direksi dengan pengalaman nihil karena masih fresh graduate. Kupikir memang karena aku seorang fresh graduate, ternyata memang karena aku nggak punya orang dalam. Tapi aku bangga aku bertahan sampai tiga tahun di sana. Setidaknya sampai insiden itu.
Saat evaluasi acara internasional yang aku berada sebagai salah satu panitia di sana, bosku memanggilku untuk mengevaluasi kerja. Mungkin saat itu banyak hal di pikirannya, moodnya lagi nggak bagus, dan aku menjadi tempat sampahnya. Sampai tangan itu melayang di pipiku. Semua orang di ruangan yang sama terkejut melihatnya. Bahkan seorang sekretaris senior memelukku dan memintaku segera menulis surat resign saat itu juga.
Oh ya sebelumnya banyak juga para senior yang memperingatkanku untuk segera pergi dan mencari pekerjaan baru. Mungkin benar banyak hal “buruk” tentangku telah sampai ke telinga bosku itu. Aku bertahan tiga tahun dengan semua judgement dan sumpah serapah, topeng-topeng kemunafikan, sampai aku tahu memang aku “salah.” Sejak awal aku tidak pernah diterima di sana dan aku liyan.
“Halah, gitu doang”
Oleh sebab itu semua tugas dibebankan kepadaku seolah sengaja membuatku tak betah dan pergi dengan sendirinya. Padahal jauh di dalam lubuk hati terdalamku aku begitu mencintai pekerjaan pertamaku ini, sebesar rasa cintaku pada Jember. Aku pun sudah merencanakan untuk resign di akhir tahun 2022, namun Tuhan memang Maha Asyik, Dia memiliki rencana-Nya sendiri. Aku harus mempercepatnya lima bulan lebih awal. Namun hal menarik tidak sampai di situ, karena banyak orang yang menyayangkan keputusanku meninggalkan tempat itu.
Suatu ketika, seorang tetangga berusia 50-an bertanya “kenapa kamu resign padahal udah tiga tahun?”, “Saya ditampar bos saya, Pak,” jawabku. “Cuma ditampar aja sampai resign,” jawabnya sambil meninggalkan ekspresi acuh.
Kekerasan tampaknya “wajar” bagi generasi baby boomers namun tidak bagi sebagian besar gen Z sepertiku. Baginya selama kita tetap digaji kita harus bisa kuat apalagi kita “laki-laki.” Harusnya dulu berani kujawab si Bapak, memangnya dia tahu apa selama tiga tahun aku bekerja di sana? Ya harusnya begitu. Aku hanya bisa menahan air mata sambil berjalan pulang, setelah dipresekusi atas keputusan besar yang sudah kubuat itu. Kutumpahkan semuanya saat pulang sambil memeluk adik perempuanku.
Sisi lain dari Jember
Selain pengalaman di atas, sisi lain Jember yang tak kurindu juga berasal dari keluargaku sendiri. Menariknya sejak orang tuaku bercerai, rumah serasa hampa. Relasiku dengan Ayah juga renggang terutama sejak ia memutuskan menikah lagi. Tiga hari, hanya tiga hari aku betah berada dalam satu atap yang sama bersama Ayahku itu. Semua hal yang terjadi juga atas kesalahannya. Kemarahanku pada Ayah begitu besarnya sampai pernah aku bertengkar hebat dan pergi dari rumah. Aku pergi tanpa membawa apa pun. Sambil menangis, driver ojol yang ternyata sudah hafal jalan menuju kantor bertanya “tumben ke arah sini mas?” aku tak menjawab pertanyaannya sampai aku tiba ke kost-kostan teman kuliahku dulu. Aku menginap di sana beberapa hari dan pulang setelahnya. Lalu komunikasiku dan ayahku tentu saja menjadi lebih dingin dari biasanya.
Relasiku dengan ayah, pengalaman pekerjaan pertama berubah jadi trauma. Jember yang indah dan terbina (seperti slogannya) menjadi ibu tiri yang memaksa hati ini untuk selalu pergi. Sampai Tuhan mengizinkanku untuk benar-benar pergi ke Yogyakarta pada 2023. Anehnya aku menemukan banyak hal indah seolah menggantikan memori kelam, mengobati luka-luka dan dendam dan apa yang kubilang “aku nggak rindu, Jember yang “itu.”
Di sini, aku belajar menjadi “sembuh” dan selesai pada diri sendiri. Aku memaafkan ayahku dengan segala hal yang tidak “ideal” sebagai seorang ayah, suami, dan laki-laki. Kujadikan itu sebagai refleksi untuk menjadi orang yang lebih baik dari dia kelak saat ku diizinkan menjadi seorang suami dan ayah untuk keluargaku. “Aku memaafkannya” dan kini hanya tersisa tawa saat melihat tingkahnya yang ternyata belum berubah.
Rindu Jember, meski tak rindu Jember yang itu
Sementara untuk pekerjaan pertamaku, aku sudah memaafkannya, meski belum lupa sepenuhnya. Tapi aku membalik itu semua, setidaknya bosku dan semua hal yang telah ku lalui di sana membentukku jadi pribadi yang lebih kuat hari ini. Tidak terkejut saat ada banyak orang yang serupa dan bahkan lebih parah di dunia ini. Pengalaman ini memberiku pelajaran berharga untuk selalu rendah hati dan berusaha lebih baik lagi di manapun aku berada. Justru lewat tulisan ini aku ingin menyampaikan terima kasih pada bosku, rekan-rekan kerjaku, semoga kalian sehat selalu dan kita bisa bertemu lagi nanti.
Akhirnya, perjalanan menuju “sembuh” membuatku jadi rindu pada Jember yang sudah membesarkanku menjadi aku hari ini. Meski aku rindu pada Jember, makanannya, ceritanya, orang-orangnya, tapi tetap aku nggak rindu Jember yang “itu” karena aku ingin merajut kenangan baru yang lebih seru bersama Jember suatu saat nanti saat aku kembali.
Penulis: Abdul Haris Nusa Bela
Editor: Rizky Prasetya