Saya Lulus Kuliah Lama Gara-gara Kecewa dengan Sosok Si Doel

Saya Lulus Kuliah Lama Gara-gara Kecewa dengan Sosok Si Doel terminal mojok.co

Saya Lulus Kuliah Lama Gara-gara Kecewa dengan Sosok Si Doel terminal mojok.co

Pertemuan saya dengan Cik Prima, Pemred Mojok, terlampau menyenangkan. Selain mendapatkan buku karya Agus Mulyadi—pusat jagad raya kepenulisan saya—pun saya mendapatkan petuah. Sejatinya, petuah ini terlampau menyebalkan. Yakni, jika Maret nanti saya nggak lulus-lulus, saya masuk daftar hitam penulis Mojok. Betapa menohoknya menengok skripsi saya nggak ada progres blas.

Sangat disayangkan, petuah Cik Prim bukanlah yang pertama. Ibu saya pernah bersabda, kalau saya nggak segera lulus, akses saya pulang ke rumah akan ditutup rapat-rapat. Nggathelinya, ancaman itu sudah berlangsung satu tahun yang lalu. Pun ibu saya tahu, kalau akses rumah ditutup, ya saya tinggal tidur di kosan teman. Bangsat memang.

Saya bukan terjebak dalam rasa senang nggak segera lulus. Edan, po. Saya pernah mengurung diri di kamar. Mematikan semua media sosial dan realitas sosial dengan kawan-kawan saya. Sampai-sampai saya nggak mau menerima tamu, padahal tamunya itu tukang galon. Blas saya malu untuk keluar, jiwa saya tertekan.

Di titik itu, saya mbatin, “Ya Allah aku kok goblok banget.” Tapi setelah itu saya ketawa. Jebul bukan hanya goblok, tapi juga males. Sebuah paket komplit untuk menyongsong masa depan yang syahdu itu.

Pelampiasannya saya jatuhkan kepada menulis di Mojok. Ketimbang pelampiasannya adalah narkotika dan hal yang enak-enak tapi dilarang sesuai kata Bang Haji Rhoma Irama (mungkin Cik Prim bisa menimang-nimang aspek ini). Selama menulis di Mojok, perlahan-lahan saya meninggalkan keterpurukan dan apa itu pecundang.

Saya memanfaatkan kebodohan saya untuk menulis. Aneh, kan? Ketika penulis lain memanfaatkan kepandaiannya untuk menulis, saya malah sebaliknya. Kawan-kawan bisa membaca tulisan-tulisan saya yang jauh dari kata akademik seperti ngobrol dengan pagar Soshum UGM sampai menghitung penghasilan kucing kampung selama pandemi.

Setelah itu saya pun berdamai dengan sifat malas dan bodoh ini. ketika semua sudah lulus, saya masih berkelumit dengan kehidupan kampus, kok rasa malu ini malah hilang entah ke mana. Saya sering nongkrong, mendengarkan cerita teman-teman dengan segenap pencapaian mereka. Itu menyenangkan bukan main.

Ada di suatu titik, saya justru merasa menjadi Messiah bagi mereka. Terutama bagi mereka yang belum mendapatkan pekerjaan dan mencurahkan isi hatinya kepada saya. Derai tangis keluar begitu saja dengan syarat ada bekonang di antara kami. Malu bos untuk nangis, dengan kondisi sadar dan terjaga. Keadaan mabuk, kadang bisa mendorong seseorang untuk bercerita.

Nahas, ketika mabuk itu pula otak saya biasanya nggak bisa kasih solusi jitu, mandeg, dan nggak tahu harus ngomong apa, saya tinggal keluarkan kata-kata andalan, “Setidaknya kamu udah lulus. Lihat, nih, aku, masih stuck di tempat yang sama, belum mendapatkan giliran lebih maju sepertimu.”

Selama swakarantina, saya menghabiskan waktu dengan menonton tayangan Si Doel. Saya ngelamun, melihat sosok Si Doel yang klemar-klemer seperti nggak ada niat untuk menjalani kehidupan. Ia sudah lulus kuliah, tapi seperti nggak kuasa melawan pakem-pakem yang menetap di kehidupannya. Saya hanya mbatin, “Tukang insinyur kok kayak begini?”

Si Doel ini aneh. Pikiran ini berangkat dari banyak film yang berangkat dengan tokoh utama seorang pecundang. Biasanya, si tokoh utama ini mengalami masalah hidup yang luar biasa berat. Luntang-lantung nggak tahu mau apa, tiba-tiba dapat kekuatan super dan ndilalah jadilah Sailor Moon, ah, maksud saya super hero. Atau setidaknya manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa. Atau setidaknya berguna bagi dirinya sendiri. Si Doel tidak begitu. Mengecewakan.

Kalau nggak ya berangkat dari tokoh utama yang memiliki permasalahan hidup. Misalnya broken home, dikucilkan dari masyarakat, anak yatim piatu, atau perihal sentimentil di dalam kehidupan. Pernah suatu ketika, saya merasa diri saya ini adalah Naruto. Suatu saat saya akan menjadi Hokage di sebuah RT. Menyenangkan memang onani dengan pikiran, apalagi menyangkut masa depan. Si Doel nggak begitu. Ia seperti nggak punya harapan selain “menyusu” kepada Sarah dan cinta-cintanya.

Selain itu, hidup Si Doel ini spaneng banget. Ia tak pernah tertawa karena keresahannya. Sungguh menyesal orang-orang yang seperti itu. Saya setidaknya bisa melepaskan lelucon mengenai lama lulus ini menjadi bahan bakar guyonan untuk melewati malam. Anehnya, saya blas nggak merasa tersinggung. Justru sangat menyenangkan lantaran saya bisa menyumbang sebuah amunisi tawa.

Beberapa kawan juga ambil bagian menjadikan lama lulus saya ini sebagai premis, set-up, bahkan punchline-nya. Sialnya, saya tahu arahnya ke mana, saya bantu menyusun komedi tersebut dan diakhiri dengan gelak tawa. Tanpa mereka tahu, saya sama sekali nggak pernah menyimpan marah.

Justru, dari sana saya bisa belajar mengenai struktur komedi di tongkrongan. Walau saya bisa membalas guyonan mereka, mengambil premis pengangguran. Jelas saya urungkan, pengangguran itu lebih sentimentil ketimbang lama lulus. Jaga-jaga saja, takutnya kelak saya berada di posisi itu. Walau saya yakin, saya bisa menjadi pengangguran yang ulung.

Lulus lama itu sejatinya lagu lama. Orang yang ngomong lulus lama itu pintu menuju kesuksesan dengan cara yang nggak terduga pun nggak kalah nggaplekinya. Wes to, seenak-enaknya lulus lama, semenggembirakan apa pun lulus lama, lebih enak kalau lulus tepat waktu. Walau menurut saya, “Lulus tak pernah tepat waktu.”

BACA JUGA Skripsi Itu Jangan ‘yang Penting Jadi’, Begini Alasannya dan tulisan Gusti Aditya lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version