Tidak ada seseorang pun yang bisa memilih di mana ia akan dilahirkan, termasuk saya. Saya dilahirkan di sebuah dusun kecil yang begitu banyak ditinggali pekerja seks komersial, ya singkatnya saya lahir di kampung PSK. Saking banyaknya, jumlah PSK ini melampaui jumlah Kartu Keluarga di sini. Mereka (PSK) yang ada di sini berstatus sebagai pendatang dari beberapa wilayah di Indonesia baik dari Jawa maupun luar Jawa. Jumlah mereka masih terus bertambah dari waktu ke waktu, apalagi ketika Dolly resmi ditutup. Beberapa dari mereka melakukan eksodus ke sini.
Konon pada 2015, berdasarkan hasil pendataan Komisi Penanggulangan Aids, dusun saya termasuk ke dalam wilayah dengan PSK terbanyak kedua setelah Dolly. Namun, sekarang Dolly sudah ditutup. Maka secara tidak langsung dapat dikatakan, sekarang di sinilah wilayah dengan PSK terbesar di Indonesia. Gile juga daerah saya!
Sejak kecil, saya sudah terbiasa untuk hidup berdampingan dengan mereka. Tidak hanya saya sebenarnya, tapi juga seluruh warga. Hal ini tidak dapat dimungkiri karena secara ekonomi, kehadiran mereka (PSK) sangat menguntungkan. Singkatnya, kehadiran PSK diterima dengan baik oleh warga.
Tentu saja hal tersebut membuat tatanan kehidupan masyarakat di kampung PSK ini sangat berbeda ketimbang dusun-dusun tetangga. Bahkan sangat unik dan cenderung mengherankan. Kadang pun saya bertanya-tanya sendiri. Kok bisa gitu ya?
#1 Perangkat dusun menjadi fasilitator
Sejatinya, pemerintahan yang berada di bawah harus menjalankan peraturan pemerintahan di atasnya. Pemerintah juga harus menjamin tegaknya hukum. Di sini, perangkat dusun (juga termasuk pegawai desa) justru melakukan hal yang bertentangan. Saya yakin betul akan hal ini.
Bila merujuk peraturan daerah kabupaten, menyediakan tempat untuk tindakan pelacuran dan atau perzinahan adalah hal yang dilarang dan dianggap mengganggu ketertiban umum. Namun, dalam praktiknya, kampung PSK tidaklah demikian.
Di dusun saya, para perangkat dusun justru bertindak sebagai fasilitator tindakan pornografi. Mulai dari Pak Kepala Dusun, keluarga Pak RW, dan Pak RT semua memiliki kos-kosan untuk para PSK. Dan semua itu tanpa ada aturan yang ketat. Jangankan hanya sekadar bermalam, tinggal seatap meski bukan pasangan sah pun di sini diperbolehkan. Sangat bebas.
Dengan demikian, warga pemilik kos-kosan merasa mendapat dukungan pimpinannya. Tidak heran bila hingga hari ini, pembangunan kos-kosan oleh warga masih terus bergeliat. Terakhir kali saya mendapat data, di dusun saya ada sekitar 120 kamar kos-kosan PSK. Sekarang mungkin hampir tembus 200-an kamar.
#2 Mbah modin ikut-ikutan Pak Kadus, Pak RW, dan Pak RT
Selain Pak Kepala Dusun, Pak RW, dan Pak RT, sebenarnya ada lagi satu perangkat dusun yang melakukan hal serupa. Sengaja saya pisah di bagian kedua ini. Entah kenapa, saya pengin aja. Dalam tatanan struktural dusun di sini ada yang disebut sebagai “modin” atau dapat diartikan sebagai pemimpin agama.
Tugasnya memimpin segala tindakan keagamaan di sini mulai dari yasinan, tahlilan, doa-doa kenduri dan lain sebagainnya. Meskipun berstatus demikian, Pak Modin pun tak ragu membangun kos-kosan untuk PSK. Saya tidak paham bagaimana hukumnya dalam agama menurutnya, saya tidak pernah bertanya padanya. Yang jelas ini benar-benar ada.
#3 Pondok pesantren di tengah-tengah kos-kosan PSK
Di dusun saya, ada dua orang lulusan pondok pesantren yang saat ini berinisiatif mendirikan pondok pesantren. Saya tidak paham betul alasan utama mereka mendirikan pondok pesantren. Namun, saya menduga hal ini tidak jauh dari keterkaitannya dengan eksistensi PSK di sini yang kian hari kian meningkat.
Mungkin, mereka sadar bila keadaan moril anak-anak di sini terancam. Sementara itu kehadiran PSK adalah hal yang sangat sulit untuk ditolak. Warga sudah nyaman dengan kehidupan saat ini. Memperketat aturan mengenai kampung PSK ini berpotensi membuat warga terusik. Oleh sebab itu, mereka berdua mencoba mencari jalan lain.
Mereka ingin membantu memperkuat moral anak-anak dengan mengajar mengaji hampir setiap sore. Meskipun pondok yang didirikan relatif kecil dan letaknya dihimpit kos-kosan PSK, setidak-tidaknya pondok itu menjadi pengingat kepada warga betapa pentingnya pembekalan moral untuk anak-anak mereka di lingkungan yang dikelilingi PSK. Hingga saat ini, pondok itu masih terus berjalan dan semakin ramai dihadiri anak-anak untuk mengaji. Alhamdulillah!
#4 Pengajian bersama PSK
Bila kita menyusur seluruh sudut dusun ini, selain kita akan menemukan kos-kosan PSK yang begitu marak, pada lain sisi kita juga akan menemukan aktivitas keagamaan yang cukup banyak. Kegiatan keagamaan seperti pengajian, yasinan, dan tahlilan masih rutin dilakukan di sini. Uniknya, aktivitas keagamaan itu tidak hanya dihadiri oleh warga asli dusun tapi juga dihadiri oleh PSK. Tidak hanya sekali atau dua kali saya melihat para PSK mengikuti pengajian dusun, tapi berkali-kali. Apalagi bila memasuki bulan puasa, hal itu semakin sering saya saksikan. Begitu sejuk sekali rasanya.
Bila dipikir-pikir, ternyata saya dilahirkan di tempat yang begitu unik dan mengherankan. Saya tidak tahu apakah saya harus menyesal atau justru sebaliknya. Yang jelas, dari tempat kelahiran saya yang bisa disebut sebagai “kampung PSK” ini, saya dapat belajar banyak hal. Tentunya hal yang unik-unik dan sangat mengherankan.
BACA JUGA Risiko Tinggal di Kampung yang Dikelilingi Hotel, Tempat Karaoke, dan PSK dan tulisan Firhandika Santury lainnya.