Saya tergerak ketika membaca tulisan yang menobatkan Attack on Titans adalah anime terbaik. Sebenarnya nggak ada yang salah dengan menobatkan manga shonen tersebut ke dalam tempat terhormat. Namun, menjadi salah ketika harus menunggu anime ini dari satu season ke season lain. Ibarat menunggu keadilan di negeri ini, alias lama sekali.
Layak sih jelas layak. Suka-suka penulisnya juga, sih. AoT pun menarik lantaran premis yang diusung, yakni konflik antar ras dan kelas yang dilibatkan di dalamnya. Nggak sekadar titan-titanan saja. Kemudian, muncul tulisan yang mendewakan Boku no Hero sebagai anime yang lebih baik lantaran soundtrack, ganti studio dan perkara lainnya. Pun, bebas-bebas saja, sesuka penulisnya.
Ya, ketimbang anime kejar tayang macam Black Clover atau…wah, saya nggak berani menyebutnya. Atau ketimbang anime penuh filler dan merusak esensi dari cerita sebelumnya. Padahal, sudah melegenda dan megah, sebelum sang mangaka menitahkan asistennya untuk melanjutkan kisah si anak tokoh utama. Jelas, Aot dan BnH itu baik. Baik lho, ya, bukan terbaik.
Sebenarnya kalau mau meng-vis a vis-kan keduanya, ya cocok juga lantaran keduanya berdemografi sama, yakni shonen. Tapi kalau menyematkan kata “paling” apa lagi “terbaik”, itu berarti menyentuh seluruh taget demografi anime baik itu shonen, shoujo, seinen dan josei. Juga perihal genre, mau itu aksi, romanda, komedi, isekai, petualangan fantasi, drama, misteri, harem, ecchi maupun slice of life.
Dan baik itu AoT atau BnH, menurut saya belum layak masuk kategori “terbaik”. Bagus ya jelas bagus, menarik pun juga, premisnya keren tentu saja. Namun masih jauh lantaran masih banyak tembok kokoh lain semisal Fullmetal Alchemist, Cowboy Bebop, Neon Genesis Evangelion, dan tentunya JoJo’s Bizarre Adventure.
JoJo’s Bizarre Adventure adalah anime terbaik di mata saya. Nggak bakal saya menyematkan “no debat” karena kalian yang nggak setuju dan mau marah-marah ya silakan saja. Namun, sebelum marah-marah di kolom komentar, baca dulu penjelasan saya mengapa JoJo’s Bizarre Adventure saya tempatkan dalam daftar teratas.
Jojo karya Hirohiko Araki ini tak pernah lekang oleh waktu. Dan memang ceritanya disajikan untuk itu. Kerennya, anime ini dibintangi oleh delapan karakter utama yang berbeda latar waktu, jaman, keadaan dan kondisi. Mereka berjarak kurang lebih sekitar 100 tahun. Yang membuat menarik apa? Cara Araki menempatkan dasar cerita.
Jojo mengudara pertama (dalam manga) ketika tahun 1987. Dan dijaman itu, karakter-karakter sangat digilai dengan kekuatan bela diri. Goku contohnya, mengembara dalam Dragon Ball bersama dengan pertempuran fisik yang menawan. Pun Jojo dalam season pertama, Phantom Blood, melebur ala jamannya. Walau ada fantasi semisal jadi vampire, namun Jojo juga mengedepankan seni bela diri. Salah satunya adalah ripple, agar kuat bertemu cahaya matahari.
Nah, Araki Sensei pun mengembangkan sebuah kekuatan bernama Stand. Yakni sebuah personifikasi tubuh yang meningkatkan kekuatan. Muncul dalam season Stardust Crusaders, konon unsur ini menjadi tonggak sejarah pergeseran dunia manga aksi dari arah action-martial arts, kini menjadi punya semacam gaman atau jurus-jurusan yang digandrungi. Araki Sensei tentu bukan cenayang, namun ia biasa membaca arah konsumsi manga pada era selanjutnya.
Lantas para antagonisnya yang benar-benar membuat saya terpukau. Tujuan mereka nggak main-main, namun juga nggak dijadikan pijakan lelucon juga. Tujuan para antagonis ini berdasar dan banyak yang kesampaian mimpi-mimpinya. Bayangkan saja, nggak ada semisal twist musuh jadi taubat hanya setelah dibacoti saja. Atau musuh itu ternyata baik, dia menjadi jahat karena orang baik yang tersakiti. Nggak, nggak ada yang begitu-begituan dalam anime ini.
Menurut saya pribadi, bagusnya sebuah anime tidak mutlak dari seberapa keren soundtrack-nya saja. Walau terkadang, bagusnya sebuah lagu pengisi menaikan mood ketika menonton adegan per adegan. Namun, 40 persen penilaian itu diambil dari bagaimana sebuah anime gerakannya itu menjadi berarti. Tidak hanya seperti gambar berformat gif. Saya setuju jika ada yang mengatakan beberapa studio anime bisa mewujudkan sebuah gambar yang berarti. Ada pula yang hanya mengincar pendapatan saja dan hasilnya…ya, begitulah.
50 persen ditentukan dari seberapa berhasil sebuah anime mengimplementasikan maksud-maksud sang mangaka yang dituangkan dalam goresan tiap lembar kertas menjadi gugusan gambar. Ketika versi anime bisa menyampaikan hal-hal prinsipil tersebut, itu adalah puncak ternikmat dalam menonton sebuah anime. JoJo’s Bizarre Adventure adalah contoh baiknya.
Sisanya dari itu semua ya tetek bengek semisal soundtrack dan selera. Sungguh, dalam menonton anime, entah mengapa saya nggak percaya konsep selera. Kadang saya bisa larut ketika menonton anime romance padahal blas-blaso saya kurang suka ketika baca manga genre romance. Kok ya bisa gitu lho, ketika menonton anime hal besar berupa “selera” bisa berubah sangat nyata. Pun, saya juga bisa mbatin “hah, apasih” kepada suatu anime shonen, padahal versi manga bagus sekali. Kembali lagi, 90 persen itu adalah mutlak.
Dan JoJo’s Bizarre Adventure bisa memuaskan saya akan 90 persen syarat tersebut. Lantas, apakah Jojo melengkapi 10 persen dari hal di luar teknis anime? Oh, tentu. Jojo adalah kultur pop Jepang yang disukai segelintir orang saja, namun entah kenapa makin banyak tiap tahunnya. Ia juga tumbuh subur di jagad sosial media. Nggak percaya? To be continued meme itu bersumber dari anime ini. Bahkan, ada pertanyaan template satir seperti “is that a Jojo reference?” karena saking banyaknya meme yang bersumber dari Jojo.
Entah itu entitas dan kausalitas berupa waktu atau pengalaman, menentukan yang terbaik itu susah. Saya setuju jika AoT dan BnH adalah anime yang baik. Terlepas mereka masuk generasi apapun, demografi apapun dan genre apapun. Namun, dengan segala hormat, jika menyandang terma “terbaik”, saya rasa JoJo’s Bizarre Adventure adalah anime yang paling mendekati.
Sumber gambar: Jojo’s Bizarre Sound Design Twitter.
BACA JUGA No Debat! One Piece Lebih Baik daripada Naruto dan tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.