Saya Akan Tetap Memilih Sabun Batangan Lifebuoy, daripada Sabun Cair yang Bikin Gatal

Saya akan Tetap Memilih Sabun Batangan Lifebuoy, daripada Sabun Cair yang Bikin Gatal

Saya akan Tetap Memilih Sabun Batangan Lifebuoy, daripada Sabun Cair yang Bikin Gatal

Saya nggak tahu, dan malas mau cari tahu, kapan tepatnya sabun cair itu menjadi indikasi kemajuan hidup. Tanpa disadari, ternyata sabun batang kayak Lifebuoy mulai dianggap (dan memang) kuno. Tapi sampai kapan pun, (mungkin) saya akan tetap setia dengan Lifebuoy batangan.

Namanya propaganda, ia akan selalu disuarakan. Sabun cair dibilang lebih higienis, lebih lembut di kulit, dan wanginya tahan lama. Mungkin memang ada yang benar demikian. Tapi masalahnya saya sudah mencoba, dan hasilnya tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Mungkin yang saya beli harga murah paling ya. Ah tapi bodo amat, saya kira sama aja.

Saya sendiri sempat kemakan tren itu. Beberapa kali saya nyobain merek body wash yang orang bilang bikin segar dan percaya diri. Akhirnya saya sekarang simpulkan bahwa itu hanya gimmick dari iklan saja. Dan saya putuskan untuk rujuk kembali ke Lifebuoy batangan itu.

Sabun batang Lifebuoy superior ketimbang sabun cair

Meski orang bilang ini itu, tapi sabun batang Lifebuoy nyatanya memang superior ketimbang sabun cair. Kita bicara baunya saja sudah jelas, bahwa sabun batang Lifebuoy lebih tahan lama. Tidak hanya itu, masalah busa ia pun tidak kalah kalau digosok dulu pake shower puff, dan jelas bikin kulit bersih.

Tapi ya, yang namanya produk bisnis pastilah menebar janji manis. Masalahnya, janji sabun cair keterlaluan “manis”. Entah dapat “melembabkan kulit”, “mengandung ekstrak susu kambing Himalaya”, dan bikin halus seperti sutra”, janji tersebut kelewat manis bagi saya. Saya saja nggak tahu lembutnya sutra itu seperti apa.

Ketika kita mencoba membuktikan klaim tersebut, tak jarang kita mendapati bahwa itu semua hanyalah gimmick tanpa dasar yang jelas. Saya sendiri membuktikannya. Pernah saya mencoba sabun cair yang katanya mengandung susu almond dan vitamin E. Efeknya bukan, putih kayak susu, tapi malah jadi merah akibat digaruk karena gatal. Bukannya bikin lembut, malah jadi kering dan perih, kayak kena ilalang aja.

Saya hanya mengangguk saja ketika ada pembelaan dari tim sabun cair, yang mengatakan kulit saya yang nggak cocok, makanya gatal-gatal. Mungkin itu tuduhan benar, karena saya nggak sampai periksa langsung sih. Dan mungkin belum terbiasa, karena selama ini pakai sabun batang.

Tapi, klaim yang besar butuh bukti yang besar juga. Kalau janji-janji manis tersebut tak bisa dibuktikan, atau terbukti tapi sampelnya kelewat dikit, ya klaimnya otomatis gugur. Ya rasanya lucu kalau klaim manis tersebut tidak bisa dibuktikan dengan dalih “kulit nggak cocok”.

Lagi pula, kalian ngerasa nggak sih kalau sabun cair itu justru bikin kita kayak mandi nggak pake sabun?

Sabun aja ikut tren, ampun

Inilah yang bikin saya nggak bisa pindah dari sabun batang Lifebuoy. Klaimnya ya standar, tapi setidaknya nggak bikin kita berasumsi ini itu, dan berekspektasi ini itu. Dan kita sudah pasti merasa puas karena aromanya nempel lebih lama.

Saya bukan menolak atau anti kemajuan. Tapi rasanya gimana yah, kalau persoalan sabun aja kita harus ikut tren. Padahal fungsinya kalah sama yang sabun batang atau yang keluaran lama. Kalau ujungnya begitu, lalu kenapa harganya lebih mahal?

Kemajuan memang tak terelakkan, saya akui itu. Tapi, terkadang kita nggak perlu reaktif dan memujanya berlebihan. Jika cara lama atau metode yang dianggap usang nyatanya masih bisa sesuai, relevan, dan fungsional, ya nggak masalah juga. Kita nggak perlu selalu tunduk sama tren, apalagi perkara sabun.

Sabun saja harus ikut tren, ampun, ampun.

Penulis: Thoha Abil Qasim
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Mengenang Lifebuoy Clear Skin, Pionir Sabun Batang untuk Atasi Jerawat

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version