Tokoh Sang Zhi “Hidden Love” Ngasih Tahu Betapa Nggak Enaknya Jadi Anak Bungsu Perempuan

Tokoh Sang Zhi Hidden Love Ngasih Tahu Betapa Nggak Enaknya Jadi Anak Bungsu Perempuan

Tokoh Sang Zhi "Hidden Love" Ngasih Tahu Betapa Nggak Enaknya Jadi Anak Bungsu Perempuan (Unsplash.com)

Banyak yang bilang, jadi anak bungsu itu enak. Katanya sih selalu dapat perhatian penuh dari orang tua dan sekitarnya. Kebutuhan anak bungsu juga akan selalu terpenuhi dan jarang banget dapat masalah dengan keluarga—karena seringnya nggak pernah diikutkan dalam diskusi internal keluarga. Padahal realitasnya nggak seenak itu. Lihat saja tokoh Sang Zhi di drama Cina Hidden Love yang baru-baru ini lagi ramai diperbincangkan.

Setelah menamatkan drama Hidden Love dan menonton perjuangan Sang Zhi, saya jadi merasa sangat bersimpati padanya. Mungkin karena kami memiliki beberapa persamaan seperti terlahir sebagai anak bungsu perempuan, punya kakak dan orang tua yang strict, dan agak dimanja sejak kecil.

Beberapa stereotipe mengenai anak bungsu melekat banget sama Sang Zhi dan itu menjadi perjuangannya di masa depan. Saya merinci apa saja kesulitan yang Sang Zhi hadapi dan mungkin saja dialami sama semua anak bungsu perempuan di dunia ini.

Berapa pun usianya, anak bungsu bakalan dianggap sebagai anak kecil

Namanya saja anak bungsu, anak paling terakhir dan nggak ada saudara lain di bawahnya. Karena terlahir sebagai paling akhir, otomatis pandangan orang-orang sekitar pada Sang Zhi Hidden Love akan selalu berasosiasi pada “si kecil”.

Dalam drama Cina satu ini, Sang Zhi bahkan selalu dipanggil dengan sebutan “Xiao Meimei” yang artinya adik perempuan kecil. Apalagi ditambah postur tubuhnya yang kecil. Makin susah deh keluar dari stereotipe ini.

Hal itu tentu bikin Sang Zhi kesulitan. Beberapa kali dia berteriak pada kakak dan orang-orang di sekitarnya untuk berhenti menganggapnya sebagai anak kecil karena dia sudah dewasa, bahkan sudah kuliah. Sang Zhi ingin orang-orang berhenti memperlakukannya seolah dia anak kecil yang nggak tahu dan nggak bisa apa-apa.

Sejujurnya, saya cukup relate dengan situasi Sang Zhi dalam drama Hidden Love itu. Meskipun usia saya sudah lewat 25 tahun, orang-orang di sekitar saya masih sering menganggap bahwa saya adalah anak kecil yang suara dan pendapatnya hampir nggak pernah terdengar dalam diskusi internal keluarga.

Bahkan momen paling aneh yang saya alami adalah di usia segini adalah saya masih sering mendapat salam tempel Lebaran dari para kerabat yang datang ke rumah. Iya, saya yang sudah kerja ini masih sering dapat THR dari sanak keluarga lain. Padahal sebenarnya saya udah bisa ngasih salam tempel juga ke keponakan-keponakan lain.

Kemauan Sang Zhi “Hidden Love” sering kali disalahartikan sebagai pemberontakan

Sang Zhi dalam Hidden Love beberapa kali memiliki keinginan yang sayangnya malah disalahartikan sebagai pemberontakan. Mungkin saking kesalnya sering dianggap sebagai anak kecil yang nggak bisa bikin keputusan apa-apa, beberapa kali Sang Zhi memutuskan untuk melakukan sesuatu tanpa berdiskusi dengan orang tua dan kakaknya.

Sialnya, bukannya bikin orang tua dan kakaknya sadar akan keinginan Sang Zhi, mereka justru menganggapnya lagi dalam fase pemberontakan. Bahkan meskipun Sang Zhi sudah kuliah, dia masih harus berdebat dengan kakaknya untuk mewujudkan keinginan-keinginannya. Misalnya ketika dia memutuskan buat magang dan menetap di Yihe daripada kembali pulang ke Nanwu—yang dianggap kakaknya sebagai bentuk pemberontakan yang lain.

Untuk bagian ini, saya agak salut sama Sang Zhi mengingat saya belum pernah memiliki keberanian senekat itu. Biasanya sih kalau liburan semester akan saya habiskan di rumah saja bersama keluarga. Meskipun sering ada niatan seperti itu, tapi saya selalu urungkan buat mengeksekusinya.

Dianggap nggak pernah bisa mandiri

Kayaknya sih ya semua anak bungsu, khususnya perempuan, pasti bakalan kena sama stereotipe yang satu ini. Percayalah, mengubahnya tuh susat banget, lho. Di drama Hidden Love, Sang Zhi bahkan harus terbang jauh dan menempuh pendidikan di Yihe—yang notabene jauh dari rumahnya di Nanwu—buat membuktikan bahwa dia bisa mandiri.

Sudah kuliah jauh-jauh di Yihe, apakah anggapan keluarga dan orang-orang sekitarnya bakalan berubah? Sayangnya nggak, malah makin menjadi. Sang Zhi harus melakukan video call dengan ibunya setiap hari. Ditanyain lagi di mana, dengan siapa, sudah pulang ke asrama atau belum, sudah makan atau belum, makan apa saja selama seharian ini, dll.

Belum lagi Sang Zhi harus ketambahan sama telepon dari kakaknya, Sang Yan, yang juga sama strict-nya. Sang Yan bahkan meminta temannya, Jia Xu, untuk menjaga Sang Zhi (((dan akhirnya menjadi awal kedekatan mereka))).

Apesnya, setelah berpacaran dengan Jia Xu, stereotipe ini tetap saja nggak hilang. Bahkan hampir menjadi batu sandungan dalam kisah percintaan mereka.

Untungnya sih setelah perjuangan panjangnya, Jia Xu, Sang Yan, dan orang tua Sang Zhi bisa sedikit saja (iya, cuma sedikit, lho) percaya kalau Sang Zhi memang sudah bisa mandiri dan bertanggung jawab akan beberapa hal. Sedangkan di luaran sana, tentunya masih banyak anak bungsu perempuan lain yang masih berjuang di bagian ini.

Nah, buat para anak bungsu perempuan di mana pun kalian berada, tetap semangat, ya. Ayo buktikan kalau kita juga bisa mandiri dan bertanggung jawab kayak si Sang Zhi!

Penulis: Siti Halwah
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Hidden Love, Drama Cina yang Bikin para Penggemar Drakor Berpaling.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version