Salah Kaprah Istilah Hukum yang Melulu Dikaitkan dengan Adanya Sanksi

istilah hukum mojok.co

istilah hukum mojok.co

Kali ini saya akan membahas perihal salah kaprah kebahasaan tentang istilah hukum dalam batas peristilahan ilmu hukum (bukan hukum agama, lhooo…). Jadi saya akan mencoba memakai gaya penulisan formal dan kaku baku.

Ketika ada yang menanyakan hal-hal yang berbau-bau hukum, orang-orang melulu mengaitkannya dengan sanksi. Mereka sering kali bertanya seperti, “Sanksinya apa?” atau “Soal ini, ada sanksinya tidak?”.

Kebanyakan orang hampir selalu menanyakan tentang sanksi entah di bidang hukum apa saja. Padahal ada banyak spesialisasi dalam ilmu hukum, seperti bidang hukum pidana, perdata, tata negara, dan sebagainya. Hukum bagi mereka selalu saja diidentikkan dengan adanya sanksi.

Banyaknya anggapan tersebut bisa jadi muncul karena mengartikan hukum, yaitu semata-mata sebagai perintah/larangan yang harus dipatuhi, juga disertai sanksi apabila ketentuan tersebut tidak dipatuhi. Kalau memang benar diartikan begitu, lalu bagaimana dengan kedudukan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang dalam substansinya tidak terdapat sanksi?

Paling mentok dalam UUD 1945 hanya terdapat usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum (seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan seterusnya) melalui mekanisme tertentu. Akan tetapi, mekanisme usulan pemberhentian tersebut dalam UUD 1945 pun sama sekali tidak memakai istilah sanksi. Apakah kita lantas menyebut UUD 1945 atau konstitusi itu bukan hukum oleh karena UUD 1945 tidak memuat sanksi?

Padahal jelas, UUD 1945 merupakan hukum tertinggi dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di negara kita. Maka dari itu, anggapan umum tadi keliru dan tak bisa dibenarkan.

Sebenarnya yang harus dipahami, menurut guru besar ilmu hukum Universitas Airlangga Prof. Peter Mahmud Marzuki, bahwa unsur esensial dalam hukum bukanlah sanksi. Sanksi hanya unsur tambahan. Sementara unsur esensial dalam hukum adalah penerimaan masyarakat terhadap ketentuan hukum tersebut, sehingga mempunyai kekuatan mengikat. Dengan meminjam pandangan beliau, maka UUD 1945 adalah hukum, karena telah diakui negara dan diterima masyarakat luas sebagai hukum tertinggi, sehingga UUD 1945 mempunyai daya ikat atau legitimasi.

Anggapan salah kaprah di atas—soal hukum yang semata sebagai perintah/larangan dengan sanksi, sebenarnya didominasi oleh pengertian hukum dalam konstruksi hukum pidana. Di sisi lain, tampaknya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga turut serta “melanggengkan” salah kaprah ini. Kenapa saya berasumsi demikian? Jadi begini….

KBBI daring memasukkan istilah hukum dalam kelas kata nomina yang memiliki beberapa definisi relatif netral, salah satunya: peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah.

Akan tetapi, ketika hukum ditambahkan sufiks -an, maka terjadi pergeseran makna yang kental bernuansa hukum pidana. Definisi pertama hukuman (n) dalam KBBI: siksa dan sebagainya yang dikenakan kepada orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya.

Siksa tentu identik dengan hukum pidana yang selalu dilekati dengan sanksi yang memberatkan—mulai dari denda sampai penjara. Hukum pidana memang dirancang untuk membuat penderitaan bagi si pelaku tindak pidana agar si pelaku jera.

Relasi makna antara hukum dan hukuman, bagi saya, kurang begitu koheren kendati hukuman merupakan kata turunan dari hukum. Untuk lebih jelasnya, saya kira perlu membandingkan kedua kata tadi dengan padanan kata dalam bahasa lain.

Dalam bahasa Belanda, hukum sama dengan recht, alih-alih wet. Kata wet cenderung bermakna undang-undang. Sementara dalam bahasa Inggris, hukum disebut law.

Ketika saya mencoba mengalihbahasakan hukuman melalui Kamus Cambridge daring, hukuman berpadanan dengan straf (Belanda) dan punishment (Inggris). Ungkapan setrap, yang menjadi momok bagi saya dan teman-teman ketika masa sekolah (SD) dulu, tentu berasal dari straf (Belanda). Ternyata KBBI sudah menyerap lema setrap (n)—walau ditandai dalam ragam kata cakapan. Saya agak terperanjat saat tahu definisi setrap dalam KBBI: hukuman (di sekolah).

Terperanjatnya saya alasannya begini. Hukum pidana kita masih memakai hukum warisan Belanda yang mendasarkan pada “Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie”, yang kemudian diubah menjadi “Wetboek van Strafrecht (WvS)”. Melalui UU 1/1946, WvS diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”, alih-alih menjadi “Kitab Undang-Undang Hukum Hukuman”.

Hal demikian, bagi saya, agak aneh. Sebab, sejak 1946, kata straf sudah diterjemahkan menjadi istilah pidana (wet = undang-undang, boek = kitab, recht = hukum, dan van sebagai kata hubung), bukan dengan istilah hukuman. Namun, kenapa KBBI malah menyerap straf menjadi setrap yang berdefinisi hukuman—yang kemudian dipersempit hanya di lingkup sekolah—alih-alih pidana? Kendati demikian, kata hukuman rupanya juga termuat dalam UU 1/1946.

Sebaliknya, bukannya koheren, KBBI juga malah memaknai hukum dan hukuman secara tumpang-tindih. Dalam KBBI, baik hukum maupun hukuman memiliki alternatif definisi yang secara substansi sama-sama bermakna “keputusan hakim”.

Masyarakat kita rupanya juga demikian. Jangan-jangan salah kaprah istilah hukum—yang melulu diartikan dengan adanya sanksi—ini muncul serta menguat oleh karena masyarakat kita kerap dirundung berbagai sanksi dari rezim plus jajarannya plus barisan fanatiknya. Seperti larangan ini-itu; pengungkapan ekspresi seperti kritik, diskusi, atau demo yang kemudian direspons dengan pengintimidasian, penangkapan, yang tak jarang disertai penganiayaan; adanya penggusuran dan pembubaran paksa; sampai upaya kriminalisasi; dan sebagainya. Malah yang terbaru, masyarakat guyon humor pun bisa diciduk aparat.

Berita-berita soal hukum pun lebih banyak bernuansa “penderitaan”. Saya menjadi maklum, kalau akhirnya masyarakat kemudian cenderung mengidentikkan istilah hukum sama dengan sanksi atau penderitaan.

BACA JUGA 4 Langkah Mudah Memahami Penghasilan Kena PPh 21 atau Nggak bagi Freelance dan tulisan Emerald Magma Audha lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version