Saatnya Meninggalkan Spotify dan Beralih ke Apple Music: Kualitas Audionya Jauh Lebih Baik dan Bayaran untuk Musisinya Lebih Tinggi

Bagikan Spotify Wrapped Kalian, Biarkan Orang yang Benci Makin Benci dan Makin Terlihat Tolol apple music

Bagikan Spotify Wrapped Kalian, Biarkan Orang yang Benci Makin Benci dan Makin Terlihat Tolol

Dulu, saya ini bisa dibilang pelanggan Spotify garis keras. Aplikasi streaming berwarna hijau itu adalah hal pertama yang saya buka di pagi hari dan yang terakhir saya tutup sebelum tidur. Kalau ada teman yang belum langganan Spotify, saya pasti jadi orang rese yang ngata-ngatain mereka karena dengerin bajakan. Tapi, semua berubah ketika negara api menyerang, eh, maksud saya ketika saya iseng mencoba Apple Music.

Keputusan untuk hijrah ini bukan cuma soal ganti aplikasi, tapi soal prinsip. Setelah baca sana-sini, saya sadar ada dua hal krusial yang bikin saya nggak bisa balik lagi ke Spotify, yaitu kualitas audio yang lebih aduhai dan kesadaran bahwa musisi favorit saya ternyata lebih dihargai di platform ini.

Ditambah lagi, belakangan ini ada isu yang lebih ngeri soal ke mana larinya uang langganan kita, yang bikin saya makin mantap mengucapkan “Selamat tinggal, Spotify.”

Apple Music jauh lebih superior

Awalnya saya kira bedanya tipis-tipis aja, terlebih karena harga langganannya yang cuma beda Rp90 perak. Ternyata, bedanya bagai Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. Spotify, dengan segala hormat, masih menyajikan musik dalam format lossy. Gampangnya, itu kayak file MP3 yang udah dikompres berkali-kali biar ukurannya kecil. Suaranya ya oke, tapi nggak istimewa.

Di sisi lain, Apple Music nawarin format lossless, yang kualitas suaranya setara CD asli. Bahkan ada Hi-Res Lossless yang bikin suaranya lebih murni dari rekaman master di studio. Pas pertama kali saya coba denger album “Life is But A Dream” dari Avenged Sevenfold di Apple Music pakai earphone yang sama, benar-benar menggelegar. Karena albumnya sangat experimental dan kaya akan sound, suara-suara detail kecil yang nggak pernah saya sadari selama ini jadi terdengar. Tapi, catatannya, lebih baik pakai earphone kabel.

Belum lagi fitur Spatial Audio dengan Dolby Atmos. Ini bukan gimmick marketing murahan. Fitur ini beneran bikin pengalaman dengerin musik jadi tiga dimensi. Rasanya kayak nonton konser, tapi nggak perlu desak-desakan dan bau keringat orang. Suara instrumen seolah-olah datang dari berbagai arah. Buat pengguna Spotify, kalian nggak akan relate.

Pengalaman audio premium ini bikin saya sadar, selama ini saya cuma dengerin musik, bukan ‘merasakan’ musik.

Spotify tidak menyejahterakan musisi

Bahasan yang lagi rame sekarang, dari sekian ribu lagu yang kita putar, duit yang masuk ke kantong musisi lagi jadi pertanyaan. Nah, di sinilah letak perbedaan paling nyesek antara dua platform ini. Menurut laporan Duetti tahun 2024, Apple Music membayar musisi lebih dari dua kali lipat lebih gede ketimbang yang dibayarkan Spotify untuk setiap 1.000 stream.

Penyebab utamanya ya apalagi kalau bukan tier gratisan Spotify yang disisipi iklan itu. Pengguna Spotify gratisan mungkin bangga bisa dengerin musik tanpa bayar, tapi di saat yang sama mereka ikut andil bikin musisi favoritnya cuma dapat recehan. Pendapatan dari iklan ternyata nggak seberapa kalau dibagi ke jutaan musisi.

Yang lebih ironis, belum lama ini Spotify menaikkan harga langganan premiumnya, tapi laporan yang sama menunjukkan bayaran ke artis justru menurun. Lah, duitnya ke mana? Mungkin lari ke podcast dan buku audio yang lagi getol-getolnya mereka promosikan.

Pendukung perang, jijik!

Nah, ini bagian yang paling bikin saya mual dan jadi paku terakhir di peti mati kesetiaan saya pada Spotify. CEO Spotify, Daniel Ek ternyata punya investasi gede di perusahaan teknologi pertahanan bernama Helsing. Perusahaan ini bukan main-main, mereka mengembangkan sistem peperangan berbasis kecerdasan buatan (AI).

Uang langganan kita, yang seharusnya buat mendukung seni dan karya musisi, eh malah dipakai buat mendanai perusahaan yang bikin mesin perang sama si botak ini. Bayangin, kamu lagi dengerin lagu John Lennon ‘Imagine’ atau Iwan Fals ‘Bento’, tapi duitmu secara nggak langsung dipakai buat bikin drone pembunuh.

Banyak musisi yang protes keras. Mereka merasa hal ini mengkhianati nilai-nilai perdamaian yang sering mereka suarakan lewat lagu. Nggak sedikit juga ada musisi lokal dan internasional yang mencabut karya mereka dari Spotify. Ini juga bukan pertama kalinya Spotify bikin ulah. Ingat kasus podcast yang menyebar misinformasi atau praktik “artis bayangan” yang merugikan musisi asli? Sepertinya sudah jadi tabiat.

Pada akhirnya, pindah ke Apple Music bukan cuma soal kuping yang lebih dimanjain, tapi juga soal pilihan yang lebih cerdas dan punya prinsip. Saya diselamatkan dari kualitas audio yang pas-pasan dan juga dari ironi mendengarkan lagu anti-perang di platform yang bosnya ikut jualan senjata. Jadi, udah siap uninstall Spotify sekarang?

Penulis: Muhammad Afsal Fauzan S.
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 6 Rahasia Spotify yang Nggak Diketahui Semua Orang

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version