Rumah limasan bukan jenis rumah yang diidam-idamkan anak muda saat ini. Indah, tapi ribet, serta nanggung
Di era yang serba menonjol ini, anak muda hari ini hidup di dunia yang tegas, urusan memilih rumah bukan cuma soal tempat berteduh, tapi juga soal gaya hidup dan identitas diri. kalau nggak modern sekalian, ya tradisional sekalian. Nggak ada ruang buat yang setengah-setengah, abu-abu dan nanggung. Semuanya harus jelas dan bisa merepresentasikan siapa diri mereka.
Dalam urusan selera rumah, pilihan anak muda sekarang biasanya mengerucut pada dua kubu besar: rumah modern yang praktis, atau rumah tradisional yang autentik dan berwibawa.
Di tengah dua pilihan ekstrem ini, ada satu korban dari kemajuan zaman: rumah limasan. di tengah polarisasi itu, rumah limasan justru kehilangan tempatnya. Terlalu klasik untuk dibilang modern, tapi terlalu simpel untuk disebut tradisional sejati. Akhirnya, limasan pun tersesat di antara dua sudut pandang yang sama-sama ekstrem.
Buat anak muda masa kini, limasan terasa serba tanggung. Nggak semodern rumah minimalis yang efisien, tapi juga nggak semegah rumah joglo keraton yang identik dengan bangsawan Jawa. Akhirnya, desain ini jadi kehilangan pamor—terjepit di antara dua dunia yang sama-sama punya identitas kuat.
Atap limasan dan status sosial yang tanggung
Dalam hierarki arsitektur Jawa kuno, bentuk atap bukan cuma soal estetika, tapi juga simbol kasta sosial. Atap pelana dua sisi (model kampung) melambangkan kelas paling bawah. Atap limas empat sisi (limasan) menandakan kelas menengah. Dan yang paling megah: atap bertingkat dengan empat tiang utama, saka guru, yang dikenal sebagai joglo keraton sebagai simbol kaum bangsawan.
Dulu, rumah limasan adalah tanda kemapanan. Tapi sekarang, status “menengah” itu justru bikin limasan kehilangan daya tarik. Dan anak muda dihadapkan pada dua narasi besar: narasi modern dengan rumah minimalis, seperti Japandi atau Skandinavia yang memberi kesan praktis, efisien, dan kosmopolitan. Kedua, narasi klasik dengan joglo keraton yang sarat filosofi dan kemewahan yang menunjukkan status sosial tinggi serta penghormatan terhadap budaya Jawa.
Sementara itu, limasan seperti kehilangan arah. Ia tak sepraktis rumah modern yang terbuka dan efisien, tapi juga tak semegah joglo yang penuh wibawa. Kalau mau modern, sekalian saja. Kalau mau tradisional, sekalian saja yang paling otentik dan megah. Limasan? Jadinya seperti berdiri di tengah jalan, nggak ke mana-mana.
Desain rumah modern lebih relevan dengan gaya hidup urban
Anak muda kota hidup di tengah harga tanah yang menggila, waktu yang serba cepat, dan biaya hidup yang makin tinggi. Rumah yang mereka cari harus efisien, ringkas, tapi tetap punya karakter.
Sayangnya, konsep rumah limasan yang banyak ruang terpisah seperti pandel, pekiwan, dan sebagainya nggak cocok dengan gaya hidup urban yang butuh tata ruang terbuka (open space) dan fungsional.
Rumah modern menawarkan semua itu. Material pabrikan yang murah, kuat, dan cepat dibangun seperti beton ekspos, baja ringan, hingga kaca besar yang bikin pencahayaan alami maksimal. Sementara limasan otentik butuh kayu jati kelas A, tukang kayu ahli, biaya besar, dan waktu lama. Anak muda mana yang sempat dan sanggup?
Belum lagi soal perawatan. Rumah kayu perlu dicat ulang, dibersihkan dari rayap, dan dijaga dari lapuk. Bandingkan dengan rumah modern yang bisa diintegrasikan dengan smart home dan tinggal disetel lewat ponsel. Praktis, fungsional, hemat biaya, dan tentu saja: instagramable.
Jadi ya wajar kalau banyak anak muda rela melepas filosofi rumit limasan demi kepraktisan sehari-hari.
Pecinta klasik pun lebih memilih joglo keraton
Sementara itu, anak muda yang menyukai hal-hal klasik juga nggak tertarik sama limasan. Kalau mau tampil tradisional sekalian, mereka lebih memilih joglo keraton. Entah joglo sinom, pangrawit, atau hangeng. Joglo jelas lebih megah, lebih tegas, dan jelas punya gengsi yang lebih tinggi.
Joglo adalah rumah para bangsawan, simbol status sosial, kekayaan, dan kekuasaan. Setiap bagiannya, dari saka guru yang kokoh hingga atap tumpang sari yang bertingkat punya filosofi mendalam dan nilai budaya yang kuat. Joglo bukan sekadar rumah, tapi pernyataan identitas hidup.
Secara visual pun, joglo jauh lebih keren dibanding limasan yang cenderung pendek dan tumpul. Kalau seseorang ingin menunjukkan kebanggaan terhadap budaya Jawa, tentu mereka akan memilih puncak arsitektur kebanggaan jawa itu, bukan versi menengahnya yang serba nanggung.
Akibatnya, limasan makin tersingkir ke pinggiran. Baik secara geografis maupun budaya. Di banyak daerah pesisir Jawa Tengah, limasan bertahan hanya sebagai peninggalan masa lalu, bukan pilihan masa kini.
Kalau mau bertahan, limasan harus berubah
Kalau rumah limasan mau bertahan di tengah selera ekstrem hari ini, ia harus berani berubah. Nggak bisa lagi nanggung antara tradisi dan modernitas.
Salah satu jalannya dengan mengubah limasan jadi super fungsional house. Pertahankan bentuk atapnya yang tahan gempa dan cocok untuk iklim tropis, tapi buang sekat-sekat ruang yang nggak perlu. Padukan dengan material modern dan ventilasi alami. Hasilnya, bisa jadi tropical modern house dengan nilai kebudayaan Jawa yang kekinian.
Sementara versi limasan otentik sebaiknya dipertahankan sebagai artefak budaya saja. Dibangun dengan material dan filosofi asli untuk kebutuhan wisata, museum, atau resor mewah. Dengan begitu, limasan tetap hidup, tapi tahu tempatnya di mana.
Selama limasan masih berusaha jadi rumah tradisional yang pengin modern tapi takut terlalu modern, atau sebaliknya, ia akan terus ditinggalkan. Anak muda zaman sekarang ingin kejelasan. Praktis dan kekinian, atau otentik dan berkelas.
Seperti cowok medium ugly yang terjebak di antara ganteng dan jelek, limasan juga bernasib sama. Nanggung, dan susah dapat tempat di hati siapa pun. Selama limasan masih ragu menentukan jati diri, generasi muda yang hobi “mending-mending” nggak bakal meliriknya sama sekali.
Penulis: Esha Mardhika
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Rumah Joglo Memang Unik, tapi Nggak Semua Orang Cocok Termasuk Saya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
