Orang bilang tinggal dekat sekolah itu enak. Tapi berdasarkan pengalaman saya tinggal di dekat sebuah SMP negeri, punya rumah dekat sekolah adalah petaka.
Ada satu lagu favorit saya dari God Bless yang sering diputar di rumah. Lagu itu berjudul “Rumah Kita”, sebuah lagu yang memberi pesan bahwa tiada tempat yang paling nyaman di dunia selain di rumah. Kita bebas menjadi diri kita sendiri di sana tanpa topeng dan nggak perlu pencitraan.
Selain kebebasan menjadi diri sendiri, salah satu faktor kenyamanan terhadap situasi di rumah adalah lingkungan sekitar. Letak sebuah rumah biasanya menjadi salah satu pertimbangan utama seseorang sebelum membangun atau membeli tempat tinggal. Hal ini nggak bisa dipandang sebelah mata, Gaes. Kalau lingkungan sekitar kita nggak sehat dan bising, tentu berpotensi mengganggu kenyamanan keluarga kita. Kalau rumah sudah nggak nyaman, ke mana lagi kita harus mencari tempat berlindung?
Kebetulan tempat tinggal saya berdekatan dengan sebuah sekolah. Tepatnya sebuah SMP negeri. Posisi sekolah tersebut berada persis di seberang rumah saya. Jangan dikira punya rumah dekat dengan sekolahan menyenangkan, ya. Memang menyenangkan sih kalau saya bersekolah di sekolah tersebut. Kan deket banget kalau mau berangkat sekolah. Tapi, khusus kali ini saya mau menceritakan penderitaan yang saya alami karena tinggal di dekat instansi pendidikan, utamanya SMP negeri.
Daftar Isi
Jadi ribet mau keluar rumah karena teras jadi lahan parkir para siswa SMP negeri seberang
Seperti yang saya bilang sebelumnya, rumah saya berada persis di seberang sebuah SMP negeri. Kebetulan para siswa yang bersekolah di SMP tersebut boleh membawa motor, soalnya nggak ada kendaraan umum yang melintas di sini. Dulu pernah ada sih angkutan desa yang menjadi moda transportasi umum di daerah saya, tapi kini sudah nggak beroperasi lagi.
Sebelum ada parkiran desa, teras depan saya jadi salah satu tempat favorit para siswa memarkirkan motor mereka. Bukan cuma teras depan saya yang jadi tempat parkir dadakan, sebelah kanan, kiri, hingga bagian belakang rumah saya pun penuh motor para siswa. Kadang bapak saya sampai kesulitan mau mengeluarkan mobil dari garasi saking banyaknya motor siswa yang numpang parkir.
Baca halaman selanjutnya: Jadi tempat ngumpul siswa yang bolos…
Dijadikan basecamp siswa yang bolos sekolah
Lantaran cuma berada di seberang SMP negeri yang saya bilang, rumah saya pun kerap jadi tempat ngumpul para siswa. Mending ngumpulnya untuk hal positif, lha ini buat bolos. Kadang para siswa ini beralasan enggan mengikuti pelajaran karena malas ketemu gurunya. Bahkan ada juga yang curi waktu sambil merokok di belakang rumah saya, lho.
Pernah suatu hari guru SMP negeri tersebut menggerebek rumah saya. Orang tua saya kan jadinya nggak enak sama guru sekolah tersebut. Takutnya dikira kami mengajari para siswa itu membolos. Padahal kalau mau jujur, ibu saya sebenarnya juga risih dengan kehadiran mereka.
Lingkungan sekitar rumah jadi kotor banyak sampah
Lantaran dijadikan area parkir dadakan dan basecamp membolos para siswa, rumah saya jadi ramai. Biasanya keramaian terjadi saat jam berangkat sekolah, jam istirahat, dan jam pulang sekolah. Para siswa SMP negeri tersebut kadang membuang sampah sembarangan di sekitar rumah saya. Mending kalau beli jajannya di warung ibu saya, lha seringnya beli jajan di warung kelontong lain. Beli jajannya di mana, buang sampah di mana. Duh.
Jadi berisik
Kalau risiko yang satu ini memang nggak bisa dimungkiri. Punya rumah dekat sekolah, contohnya rumah saya yang berseberangan dengan SMP negeri, memang harus tebal telinga.
Sejujurnya, saya paling nggak suka kalau ada siswa yang ke sekolah naik motor dengan knalpot bobokan. Saya pernah kebangun saat sedang asyik-asyiknya tidur siang. Mau saya marahin, tapi kasihan. Kalau nggak dimarahin, kok para siswa itu makin kurang ajar.
Jadi nggak punya privasi di rumah
Saya sudah bilang kan kalau teras saya sering jadi tempat parkiran para siswa SMP negeri yang membawa motor ke sekolah? Nah, gara-gara parkiran motor ini saya dan anggota keluarga lainnya jadi nggak punya privasi.
Kebetulan toilet saya terletak di belakang rumah dan hanya disekat dengan bilik bambu. Suatu ketika, saya sedang buang air besar, eh, tiba-tiba ada segerombolan siswa datang sepertinya hendak mengambil motor mereka yang diparkir di belakang. Alhasil saya nggak bisa cebok sampai mereka pergi.
Selain itu, saya juga merasa canggung kalau menjemur pakaian, apalagi daleman. Duh, mosok jadi tontonan para siswa yang nongki di belakang, sih? Beneran deh, saya seperti nggak memiliki ruang gerak sama sekali meski di rumah sendiri.
Itulah beberapa masalah yang muncul ketika tinggal dekat sekolah. Satu hal yang membuat saya tetap bertahan tinggal di sini karena melihat kesabaran bapak ibu yang cuma bisa menghela napas dan tersenyum melihat tingkah anak sekolah seberang rumah kami yang aneh dan nyeleneh.
Kalau kalian tinggal di mana, Gaes? Apa penderitaan yang kalian rasakan?
Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Beli Rumah Lelang Kadang Bukan Solusi, Diskonnya Nggak Seberapa, Ribetnya Nggak Kira-kira.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.