Roti Tan Ek Tjoan, Rasa dari Masa Lalu yang Boleh Diadu

Roti Tan Ek Tjoan, Rasa dari Masa Lalu yang Boleh Diadu terminal mojok

Pertama kali saya makan roti Tan Ek Tjoan tahun 2003 di Slipi bawah. Waktu itu ada penjual roti keliling pakai sepeda yang berteduh di emperan toko karena hujan deras. Kami sama-sama terjebak. Si bapak nggak bisa keliling sementara saya nggak dapat bus menuju Depok.

Setelah mengobrol tentang merek roti yang sudah ada sejak tahun 1921 ini saya jadi tertarik beli. Saat itu saya langsung memilih roti gambang karena itu adalah roti favorit. Kebetulan varian tersebut juga laris menurut si bapak penjual. Walau sudah sering makan roti gambang buatan pabrik, bakery, hingga rumahan, menurut saya saat itu—dan sampai sekarang—roti gambang Tan Ek Tjoan juaranya meski bertekstur keras.

Sejak saat itu setiap kali ada tukang roti keliling membawa Tan Ek Tjoan, ketemunya di jalan sekalipun, saya selalu menyempatkan diri membeli. Lama-lama malah jadi langganan. Roti gambangnya cocok jadi teman kopi hitam yang pahit. Teksturnya yang keras akan lumer bersama kopi.

Selain roti gambang, roti tawarnya juga sangat khas. Roti tawarnya mengingatkan saya pada roti tawar buatan toko kue legendaris di Jombang, Jawa Timur, yaitu Toko Roti Mayar. Menghabiskan sebagian masa kecil di Jombang, saat pertama kali mengenal roti, ya roti-roti jadul yang dijual Toko Roti Mayar. Oleh karena itu, buat saya roti Tan Ek Tjoan bukan sekadar rasa, namun juga perkara nostalgia.

Varian lain yang biasanya dijual keliling adalah roti kelapa, filling keju, kacang dasi, pisang coklat, fla susu, dan lain-lain. Semuanya enak, terasa jadulnya.

Menurut orang-orang yang ahli di urusan baking, ciri roti Tan Ek Tjoan ada pada tekstur yang padat. Hal ini berbeda dengan resep dan selera modern yang lebih suka tekstur roti yang renggang. Rasa roti jadul memang lebih sederhana, tapi kuat dan mengenyangkan. Sepertinya jika roti yang pertama kali dikenal adalah versi jadul, roti-roti dengan resep modern akan terasa seperti camilan saja.

Sekadar info, roti jadul hanya mengenal empat jenis bahan: tepung terigu, ragi (tradisional), garam, dan gula. Berbeda dengan roti modern yang cepat mengembang dan bentuknya lebih cantik, tapi membutuhkan emulsifier dan sebagainya sehingga rasanya pun berbeda.

Kalau diingat-ingat, sejak muncul awareness merek Tan Ek Tjoan tahun 2003, saya jadi sering melihat penjual kelilingnya di mana-mana. Saya pernah lihat penjual keliling di Slipi, Matraman-Cikini, Manggarai, Bogor, Depok, Jagakarsa, Ciputat, bahkan sampai Tangerang Selatan! Usut punya usut, ternyata gerobak keliling yang dibawa pakai sepeda ini merupakan strategi marketing mereka sejak tahun 1960-an.

Dilansir dari Historia, strategi penjualan dengan gerobak keliling ini diprakarsai oleh Tan Kim Thay. Phoa Lin, istri Tan Ek Tjoan, meninggal pada tahun 1958 dan mewariskan usahanya pada Tan Kim Thay (mendapat cabang Jakarta) dan Tan Bok Nio (mendapat cabang Bogor). Cabang Jakarta lah yang membuat roti ini sampai ke rumah-rumah orang Belanda di Cikini, Ciputat, Cinere, Tangerang, dan Bekasi.

Di masa lalu, roti memang jadi makanan orang Belanda, meski pembuat dan penjualnya biasanya beretnis Tionghoa. Selain Tan Ek Tjoan, ada roti merek Lauw dan Oen yang juga sudah ada sejak zaman Belanda dan eksis hingga sekarang.

Jadi, roti Tan Ek Tjoan varian apa yang sudah pernah kamu coba, Mylov?

Sumber Gambar: YouTube Giras Makan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version