Jagat raya perfilman pada 2008-2012 dihebohkan oleh kisah cinta antara gadis cantik bernama Isabella Swan dan Edward Cullen–si Vampir ganteng dalam franchise Twillight Saga. Kesuksesannya telah meraup $3,346 miliar di Box Office, kisahnya seketika membekas di hati penggemar-penggemarnya yang didominasi kalangan remaja perempuan. Romantisme Hollywood tentang pasangan manusia dan entitas yang entah apa, sudah dimulai sejak lama.
Pada 2017, Hollywood merilis percintaan Elisa, seorang janitor tuna rungu kesepian dengan makhluk bawah air Fish Man dalam film The Shape of Water yang meraih kesuksesan Box Office dan Academy Awards sebagai Best Picture. Atau siapa yang tidak kenal dengan kisah cinta tragis antara King Kong dan Ann Darrow di film King Kong yang rilis pada 1933 dan di-remake tahun 2005? Romantisme Hollywood ini juga punya benang merah yang sama.
Hollywood terobsesi untuk menyuguhkan cinta antara perempuan dengan entitas berbeda seperti monster dan binatang. Sebut saja, The Shape of Water (2017), The Princess and The Frog (2006), King Kong (1933, 2005), dan masih banyak lagi. Berbeda dengan kisah cinta antara perempuan dengan manusia buruk rupa, ada juga kisah cinta manusia dengan pria yang baik secara fisik maupun moral buruk. Ini tercermin melalui The Hunchback of Notre Dame (1996), The Phantom of the Opera (1986), dan 50 Shades of Grey (2015).
Kisah cinta antara seorang perempuan dengan monster buruk rupa bukanlah hal yang baru. Bahkan rumah produksi film sekelas Disney menghadirkan Beauty and the Beast yang rilis pada 1991. Beauty and the Beast buatan Disney merupakan adaptasi dari dongeng klasik karya novelis Prancis Gabrielle-Suzanne Barbot de Villeneuve berjudul La Belle et la Bête atau Beauty and the Beast (1740).
Film-film berunsur si cantik dan buruk rupa biasanya memiliki tiga karakteristik. Pertama, si cantik adalah perempuan yang “not like the other girl”. Biasanya ia memiliki keistimewaan yang mencolok hingga terasingkan. Contohnya, Belle yang kutu buku dalam Beauty and the Beast, Bella yang anti-sosial di Twillight, dan Elisa yang tuna rungu di The Shape of Water.
Karakteristik yang kedua adalah si buruk rupa entah kaya atau memiliki sihir yang dapat memberikan apa pun yang si cantik mau. Layaknya Beast yang memiliki kastil megah yang terasing, perpustakaan dengan ribuan buku, dan furniture mewah (yang bisa bicara). Semuanya bisa dibilang, hal-hal yang tidak dimiliki Belle sebelumnya.
Yang ketiga, terdapat karakter lain yang cemburu akan kebahagiaan si cantik dan si buruk rupa. Romantisme Hollywood yang menyuguhkan cinta perempuan dengan entitas “buruk” kerap memunculkan karakter ini. Apa ada yang ingat tokoh triplets anggota fanclub Gaston dalam Beauty and the Beast? Mereka memakai dress serupa yang hanya beda warna, yaitu merah, hijau, kuning. Saya bahkan tidak tahu nama mereka, mungkin karena mereka ada hanya sebagai pemanis.
Terdapat dua gelombang produksi film-film yang menghadirkan tokoh monster dalam romantisme perfilman Hollywood.
Pada gelombang pertama yang eksis di 1930 sampai 1950-an, monster disimbolkan sebagai kekhawatiran sosial pada masa itu. Dalam film, monster meneror dan menculik perempuan berkulit putih yang menjadi simbol kesucian yang harus dijaga namun dapat diinterpretasikan juga menjadi sumber dari chaos. Kemudian pria tampan dan maskulin datang menyelamatkan sehingga terjadilah kedamaian.
Contoh dari film dalam gelombang ini adalah King Kong (1993) yang diinterpretasikan sebagai hubungan inter-rasial yang jarang pada masa itu, kemudian Frankenstein (1931) dan Creature of the Black Lagoon (1954). Pada akhirnya, hanya ada dua ending bagi si buruk rupa entah ia bertransformasi menjadi tampan, atau mati terbunuh.
Gelombang kedua yang terjadi pada 1960-an sampai saat ini lebih terfokus pada internal versus eksternal monster. Pada gelombang ini terdapat beberapa perubahan dari gelombang sebelumnya. Si cantik tidak lagi pasif dan hanya eksis untuk diculik. Terdapat kisah yang melatarbelakangi sehingga kita merasa sentimental dan simpati terhadap si monster. Peran tokoh tukang iri tergantikan oleh karakter pendukung yang suportif dan si tokoh penjahat yang berparas rupawan atau tampak seperti manusia biasa.
Dalam Beauty and the Beast karya Disney, Beast berubah menjadi monster penyayang dan rela berkorban demi Belle, sedangkan sang villain, Gaston yang selalu dielu-elukan berkat parasnya yang menawan dan maskulin membunuh Beast karena egonya yang tak sampai hati kalah mendapatkan Belle dari monster buruk rupa. Film-film yang muncul pada gelombang ini adalah Beauty and the Beast, The Hunchback of Notre Dame, The Shape of Water, Warm Bodies (2013), dan masih banyak lagi.
Namun, terdapat perubahan yang signifikan antara monster yang awalnya meneror kita, menjadi monster yang hadir dalam fantasi romansa. Loh, bagaimana ceritanya?
Professor asal Kanada, Jordan Peterson mengungkapkan bahwa perempuan masa kini cenderung berfantasi akan cowok “bad boy” yang kemudian bertransformasi menjadi jinak dan lebih baik karena seorang gadis pujaan yang penyabar. Terdapat romantisasi mengenai ide penjinakan pasangan yang awalnya liar menjadi boyfriend material. Bahkan menurutnya, saat ini perempuan cenderung meng-underestimate pria baik-baik atau bahkan membencinya.
Khalayak ramai sangat mengagumi kisah seorang perempuan lugu dengan kecantikan natural seperti Isabella Swan dan Anastasia Steele menaklukan vampir berdarah dingin, Edward Cullen atau miliarder sadis, Christian Grey di 50 Shades of Grey. Hal inilah yang mengakibatkan adanya pergeseran antara monster penculik dalam Creature of the Black Lagoon menjadi monster romantis dengan kekuatan super di The Shape of Water meski rupa mereka hanya sebelas dua belas.
Pasar yang menentukan!
Hingga saat ini, monster-monster dalam film-film Hollywood masih menyimbolkan kaum marginal yang terasingkan dalam masyarakat. Mulai dari orang-orang dengan kulit berwarna, imigran, sampai kaum LGBTQ. Mulai dari Edward Cullen, Fish Man, Hellboy, Beast, Christian Grey, sampai R di Warm Bodies (2013), siapa pacar monster pilihanmu? Yang jelas semua ini hanyalah romantisme Hollywood yang diciptakan sedemikian rupa untuk memfasilitasi imajinasi penonton.
BACA JUGA Film ‘The Devil All the Time’, Agama dan Pergumulan Setan di Tubuh Manusia
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.