Richeese Factory Mengecewakan Pelanggan yang Makan di Tempat

Ilustrasi spicy chicken Richeese Factory (Unsplash)

Ilustrasi spicy chicken Richeese Factory (Unsplash)

Siapa yang nggak tahu Richeese Factory. Rumah makan ini sangat terkenal akan menu ayam goreng pedas saus keju. Melansir Wikipedia, tahukah kamu, gerai pertama Richeese Factory ada di Paris Van Java, Bandung. Mereka berdiri pada 8 Februari 2011 dan menjadikan Fire Chicken sebagai menu andalannya. 

Sayangnya, ketika makan di sana, saya malah merasakan pengalaman yang bikin kecewa. Berikut saya ceritakan secara singkat.

Meja makan yang dibiarkan kotor

Beberapa tempat makan cepat saji memang mempunyai kampanye self service. Maksudnya adalah pelanggan membereskan sendiri bekas makanannya. Namun, masalahnya, kultur ini masih belum banyak dipahami pelanggan di Indonesia.

Kebanyakan masyarakat Indonesia terbiasa untuk dilayani. Banyak dari mereka tidak sadar diri untuk membuang sisa makanan di tempat yang sudah disediakan. Oleh sebab itu, konsumen selanjutnya pasti mendapati meja makan yang kurang bersih. Tidak jarang, bekas makanan masih tergeletak di atas meja. Untuk itu, gerai makanan cepat saji menggaji orang untuk segera membereskan bekas makanan tersebut.

Nah, tidak jarang para pekerja ini kurang sigap membersihkan meja, seperti yang saya rasakan di Richeese Factory. Saya sebetulnya maklum kalau mereka telat membersihkan. Masalahnya, di bisnis seperti ini, pelayanan yang prima yang akan dinilai oleh konsumen. Banyak dari konsumen yang nggak peduli sama pelanggan lain yang nggak tahu diri tidak mau membersihkan bekas makanan sendiri. 

Banyak lalat di Richeese Factory

Pemandangan pertama yang saya lihat saat masuk Richeese Factory adalah banyak lalat beterbangan. Mungkin sejalan dengan alasan pertama, yaitu meja yang lambat dibersihkan, mengundang lalat hadir. 

Selain itu, mungkin pest control Richeese Factory kurang diperhatikan. Misalnya pemasangan alat penarik serangga atau lem serangga yang seharusnya diletakkan di sudut ruangan agar serangga yang mengganggu tidak membuat konsumen merasa risih. 

Kehadiran lalat di sebuah restoran mempengaruhi kualitas dan keinginan konsumen untuk makan lagi di tempat tersebut. Jika kunjungan awal saja sudah merasa kurang berkesan, mungkinkah ada kunjungan kedua dan selanjutnya?

Baca halaman selanjutnya

Rasa ayam yang tengik…

Rasa ayam yang tengik

Menurut saya, makanan yang ditawarkan Richeese Factory termasuk hal baru. Mereka menghadirkan ayam goreng yang memiliki saus bercita rasa pedas berbagai level agar konsumen bisa memilih sendiri tingkat kepedasan. Cukup unik dan menarik perhatian masyarakat. Hal ini membuat orang rela antre. 

Namun, lagi-lagi, saya dikecewakan Richeese Factory karena ayam yang saya dapat memiliki rasa tengik. Kemungkinan besar dikarenakan minyak yang digunakan tidak sesuai standar atau penggunaan berulang. Sehingga menghasilkan cita rasa yang kurang memuaskan. 

Quality control menjadi berkurang, mungkin, karena pesanan yang terus datang. Sayangnya, hal ini nggak bisa menjadi alasan. Mengingat untuk resto cepat saji sebesar Richeese Factory tidak boleh menggunakan alasan untuk produk yang kurang berkualitas. Sudah seharusnya mereka bisa mempertahankan kualitas dan cita rasa, bukan?

Ukuran ayam yang kecil

Dengan harga yang cukup merogoh kocek, saya pikir ukuran ayam yang dihidangkan selayaknya sesuai dengan harga tersebut. Tapi, saya cukup nyesek dengan potongan ayam yang kecil.

Terlepas dari kekecewaan di atas, saya tetap suka Richeese Factory. Apalagi menu Fire Chicken yang pedasnya sangat nikmat. Tetapi, saya lebih memilih order di GoFood saja. Selain lebih praktis, saya tidak harus mengantre terlalu panjang.

Penulis: Rebekka Panggabean

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Review Richeese Factory Paket Pelajar: Ayamnya Enak, Minumannya Mantap!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version