Setelah beberapa keputusan kontroversial dari pemerintah soal pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sekarang semua aspek dalam kehidupan diwajibkan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Dalam hal perjalanan jarak jauh misalnya, dulu yang awalnya kita tinggal gas-gas saja, sekarang harus membawa banyak dokumen yang nggak ribet polll ngurusnya.
Kalau buat pekerjaan—kayak perjalanan dinas, ribet nggak ribet pasti bakal tetep dilakoni. Tapi kalau mau wisata, persaratan dokumen ini bikin orang jadi mikir-mikir lagi. Saya salah satunya.
Beberapa minggu yang lalu, Ridwan Kamil sebagai Gubernur Jawa barat memberikan pernyataan kalau kegiatan pendakian di Jawa Barat akan segera dibuka dengan menerapkan protokol yang ketat. Memang saat itu, belum ada keterangan soal bagaimana dokumen-dokumen yang saya sebutkan di atas akan menjadi batu penghalang. Namun, yang mengejutkan (bagi saya) adalah pernyataan soal pendakian gunung boleh dilakukan namun hanya boleh sendiri-sendiri, dan tidak dalam bentuk rombongan.
Pendakian solo (sendiri) sudah menjadi permasalahan sejak bertahun-tahun yang lalu. Bagaimana mungkin pendakian bisa dilakukan dengan mode solo alias hanya seorang diri sedangkan dalam berombongan saja, masih sering terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan?
Seminggu lalu, pernyataan Ridwan Kamil soal pendakian yang dibuka lagi benar-benar terbukti. Persyaratan standar menjadi sedikit bergeser mengenai kelengkapan dan jumlahnya. Soal tenda yang kapasitas tertentu hanya bisa diisi oleh maksimal 50 persennya saja. Misal tenda kapasitas 4 yang maksimal hanya boleh diisi dua orang. Lalu alat makan, yang biasanya satu untuk semua, kini masing-masing harus punya. Termasuk perlengkapan tambahan berupa handsanitizer yang harus punya masing-masing, serta masker dan masker cadangan yang harus disiapkan.
Kembali ke permasalahan dokumen pendakian, sejak dibukanya beberapa gunung untuk kegiatan pendakian, dokumen-dokumen kelengkapan ini mulai menjadi semacam terror. Soal surat keterangan domisili dari RT atau lurah tempat tinggal si pendaki. Yang mana, pada pendakian juga sebenarnya menurut saya tidak terlalu berpengaruh signifikan. Tujuannya? Katanya sih biar tau lokasi si pendaki jika pada scenario terburuk harus tracking penyebaran virus kalau-kalau dia menjadi suspect atau dia menjadi korban dari suspect lain. Oke, mari kita anggap ini sebagai keharusan.
Surat lainnya yang harus disediakan pendaki, adalah surat keterangan sehat. Beberapa gunung memang sudah menerapkan ini. Bahkan sejak 2015an kalo saya tidak salah, Gunung Semeru sudah menerapkan hal ini. Dan saat itu juga sempat terjadi banyak protes dan huru-hara kecil. Walau setelahnya para pendaki tetap berusaha menepati apa yang menjadi persyaratan dari basecamp, tetap saja awalnya juga heboh. Dan itu kita masih bicara soal satu atau dua gunung. Lalu bagaimana jika semua gunung menerapkan hal yang sama? Bagaimana nasib para pemburu gunung dari kota besar macam Jakarta yang biasanya sekali jalan ke daerah Jawa Tengah mendaki dua gunung atau lebih? Bagaimana kompensasi untuk mereka soal surat keterangan sehat ini dapat diatasi?
Permasalahan yang paling puncak adalah soal persyaratan hasil rapid test atau swab test dari para calon pendaki. Mari kita bedah. Mulai dari yang paling dasar dulu. Saat ini, hanya ada beberapa daerah yang menerapkan rapid test dan swab test secara massal dan gratis. Salah satunya Surabaya. Kota dan daerah lain? Info yang beredar bahwa, untuk sekali rapid test saja, kisaran dana yang harus dikeluarkan mencapai sekitar 300-450an ribu. Sangat waw sekali.
Maka gegerlah dunia pendakian seketika. Bagaimana pun juga, dunia pendakian didominasi oleh para pendaki kere. Yang harus rela menyisihkan uang jajan sebulan untuk bisa naik gunung di bulan berikutnya. Atau orang-orang yang menjadi porter dan para guide yang memang bekerja untuk itu. Mereka, bahkan sekali jalan selama 2 atau 3 hari hanya untuk dibayar gratis makan atau uang 20.000. Sangat miris.
Pada akhirnya, memang pagebluk ini menghajar hampir semua lini kehidupan. Tidak terkecuali kepada dunia pendakian. Sayangya, beberapa penerapan kebijakan menghadapi kelaziman yang baru kadang membuat para pelaku kegiatan atau usaha tertentu seperti kehabisan kata-kata untuk menjelaskan atau sekedar bertanya. Termasuk salah satunya adalah dunia pendakian.
Pada akhirnya, saya memprediksi dua hal. Pertama bahwa dunia pendakian akan menjadi sepi setelah era pandemi ini. Kedua, bahwa mungkin saja dunia pendakian akan tetap ramai dan bekerja sesuai jalannya, tapi hal buruk seperti pemalsuan dokumen dan sebagainya akan mengikuti dengan setia di belakangnya.
BACA JUGA Stop Menjelaskan Sensasi Naik Gunung pada Mereka yang Skeptis atau tulisan Taufik lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.