Ria Enes dan Susan Membuktikan Lagu Anak yang Asyik Bisa Menjadi Sebuah Kritik

susan ria enes mojok

susan ria enes mojok

Kalo ada yang bilang kritik terhadap pemerintah hanya milik para intelektual macam mahasiswa dan politisi oposisi atau bahkan kalian para penulis Mojok, menurut saya itu tidak sepenuhnya benar. Kritik paling berani, satire, dan sangat menginspirasi yang pernah ditujukan kepada pemerintah hingga sejauh ini justru dilakukan oleh boneka. Susan namanya.

Susan bersama kakak inangnya, Ria Enes, adalah figur publik pada era 90-an yang terkenal berkat lagu-lagu anaknya. Selama 13 tahun berkarir di belantika musik Indonesia mereka telah berhasil meluncurkan belasan album. Salah satu yang paling terkenal tentunya adalah lagu Cita-citaku.

Hayooo masih ada yang ingat sama liriknya nggak?

Semua orang, terutama yang hidup pada zaman itu, pasti sepakat bahwa lagu tersebut selain mendidik juga menyenangkan. Liriknya yang pendek-pendek dan musiknya yang gembira sangat pas untuk dinyanyikan anak-anak. Saya pun salah satu di antaranya.  Namun, akhir-akhir ini saya baru menyadari bahwa pesan yang sebenarnya Susan ingin sampaikan dari lagu itu ternyata tidak sepele.

Sepintas memang tidak ada yang aneh jika kita cermati liriknya bait demi bait. Pilihan kata yang digunakan pun adalah yang mudah dimengerti oleh usia penuturnya. Bahkan di dalam liriknya jelas-jelas ada anjuran untuk rajin belajar dan menjadi orang yang jujur. Semua terlihat baik-baik saja dan sempurna. Eittts, tunggu dulu.

Mengutip kalimat favorit detektif kondang Britania Raya, Sherlock Holmes, the world is full of obvious things which nobody by any chance ever observe” yang atinya kira-kira “dunia ini penuh dengan hal yang sudah nampak jelas tapi tak seorang pun yang pernah mau mengamati”. Sebenarnya banyak pesan yang ingin disampaikan Susan terkait kondisi Indonesia pada zamannya. Bahkan tidak sampai di situ saja, lewat lagu ini pula, Susan seakan-akan mampu memprediksi apa yang bakal terjadi pada negeri ini di masa depan.

Pesan pertama, menurunkan presiden incumbent

Lagu Cita-citaku karya Papa T. Bob ini dirilis tahun 1993 yang mana pada masa itu Indonesia masih berada di bawah kepemimpinan The Smiling General, Soeharto, yang dikenal represif terhadap kritik-kritik yang keras. Dan hebatnya, justru di masa inilah Susan mengirimkan subliminal message ke setiap pemuda di seluruh pelosok Indonesia.

Lewat liriknya yang berani, Susan menyatakan secara terang-terangan keinginannya untuk jadi orang nomor satu di republik ini. Anak-anak zaman now jelas akan menganggap itu adalah hal yang lumrah. Juragan martabak bisa meniti jalan itu. Namun, 27 tahun yang lalu, ucapannya itu bisa membuat Susan diadili, diculik, atau bahkan ditembak. Minimal hilang. Keinginan menjadi presiden boleh saja diartikan oleh pihak berwenang sebagai rencana tindakan makar yang terstruktur, sistematis, dan masif.

Saya rasa boneka pembunuh sadis seperti Chucky saja tidak seberani Susan.

Pesan kedua, kalau gagal jadi presiden, wakil presiden pun masih lumayan

Ketika Susan bertanya kepada Kak Ria apakah boleh dia menjadi presiden, kakaknya itu tentu saja mengiyakan. Lalu, ketika Susan menawar jadi wakil presiden—kalau-kalau gagal, Ria Enes hanya menyeletuk sambil tersenyum, “lho kok nawar?”

Tawar-menawar adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki baik oleh penjual maupun pembeli. Banyak yang bilang bahwa hal ini adalah tentang seni. Apa pun pasarnya, konsepnya sama.

Dalam konstelasi politik terkini misalnya. Sudah bukan hal yang tabu lagi jika tawar-menawar jabatan dijadikan konsumsi publik. Seolah-olah rutinitas lima tahunan yang membosankan ini tidak jauh lebih baik dari ending drama Korea yang seringnya mudah ketebak. Di periode pertama pasangan capres-cawapres pasti memilih rekan yang sama-sama kuat. Barulah pada periode kedua dipilihlah yang tidak memiliki hasrat kuat. Karena takut nanti si doski bakal curi start. Kalau benar gitu kan bisa gawat.

Susan sudah memprediksi ini semua sejak lama. Entah apakah karena Susan punya “kemampuan lebih” seperti Mama Lauren atau sebenarnya blio mengambil kuliah ilmu politik dan pemerintahan di Harvard sebelum berkarir bersama dengan Ria Enes di layar kaca.

Pesan ketiga, jadi dokter harus pintar jualan obat

Jika kita renungkan baik-baik alasan kenapa Susan ingin menjadi dokter, maka kita harus angkat topi terhadap naluri bisnis boneka cantik yang satu ini. Bagaimana tidak? Lha wong yang disuntik njus njus njusss itu nggak cuma orang yang sakit kok, tapi bahkan orang yang sekadar lewat saja juga kena.

Tentu kalau kita mengartikan secara harfiah, hal ini akan sulit terjadi. Karena memang maksud dari si Susan adalah bagaimana caranya seorang dokter tetap mendapatkan cuan tanpa menunggu ada pasien yang sakit. Paling mudah ya berjualan obat. Ikut jaringan MLM misalnya. Lumayan kan uang bisa datang sendiri. Passive income gitu. Syukur-syukur ditambah rumah mewah, mobil dua pintu, dan kapal pesiar.

Kalau mau lebih hebat lagi ya jualan alat kesehatan. Jangan tanggung-tanggung, langsung aja kongkalikong sama mafia terus beli sebanyak-banyaknya pakai duit negara. Kepepetnya nanti ketahuan, tinggal cari kambing hitam yang nggak punya banyak “teman”.

Memang masih ada profesi lain yang disinggung oleh Susan dalam lagunya yaitu insinyur. Namun, karena  sudah dibahas habis-habisan oleh Rano Karno dalam serial Si Doel Anak Sekolahan, saya rasa tidak banyak lagi yang bisa ditambahkan.

Perihal mengapa dari lagu anak-anak dapat dijadikan kritik kepada pemegang tampuk kekuasaan dan bahkan memprediksi kondisi negara ini di masa depan, tentu hanya Susan, Kak Ria Enes, dan mendiang Papa T. Bob  sajalah yang dapat menjawabnya. Sama halnya dengan kredo dalam dunia literasi yang mengatakan bahwa realitas lebih aneh daripada fiksi. Lagu anak-anak terkadang lebih mampu menggambarkan kehidupan orang dewasa daripada lagu dewasa yang malah terdengar kekanak-kanakan.

Selamat hari anak nasional, Ges-gesku!

BACA JUGA Sesi Konsultasi Psikologi di Tes Kesehatan Sebelum Menikah yang Kayak Tempelan Aja dan tulisan Mohammad Ibnu Haq lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version