Kalau biasanya orang bikin review motor matic atau mobil SUV terbaru, kali ini saya mau agak berbeda. Yup, review truk kontainer. Sebuah kendaraan beroda raksasa yang biasanya Anda lihat lalu menggerutu, “duh, ini truk bikin macet jalan.”
Malam itu, nasib membuat saya jadi penumpangnya alias nebeng gara-gara nggak bus yang lewat lagi jam 10 malam. Jadilah saya dari Terminal Terboyo, Semarang, menuju Kudus, menumpang truk kontainer yang sedang lewat. Dan ternyata, pengalaman itu lebih kaya dibanding naik bus dengan kursi rebah dan ac sedingin sikap gebetan itu.
Truk kontainer: kabin minimalis, sensasi maksimal
Pertama, mari bicara soal kabin. Jika mobil keluarga dibanggakan karena punya power window, layar sentuh, dan AC dingin, truk kontainer justru menohok dengan konsep “less is more.” Dashboard-nya polos, logo sebagian sudah copot, kaca jendela manual, dan AC diganti dengan ventilasi alam berupa angin jalan raya yang masuk bebas tanpa filter.
Jangan harap ada jok empuk ala captain seat. Jok di kabin truk kontainer ini keras, tapi entah kenapa justru memberi sensasi pijat alami. Mesin yang bergemuruh di bawah kabin menyalurkan getaran merata ke seluruh tubuh. Rasanya seperti naik massage chair seharga miliaran, hanya saja Anda bisa sambil melaju 80 km/jam di jalan Pantura.
Performa gagah tapi butuh kesabaran
Soal performa, truk kontainer jelas bukan kendaraan untuk adu cepat. Ia bukan tipe yang bisa bermanuver lincah seperti Avanza, Calya yang suka selap-selip. Sopirnya bilang, “truk ini butuh ancang-ancang, Mas, nggak bisa langsung belok atau ngerem.” Dan saya jadi paham: mengemudikan truk ibarat mengelola hidup—perlu perhitungan, tidak bisa asal banting setir.
Remnya juga lain. Kalau motor matik bisa berhenti mendadak karena seekor kucing nyeberang, truk kontainer butuh pertimbangan panjang. Jadi kalau ada pengendara yang motong jalur di depan truk, itu sama saja kayak cari masalah.
Blind spot level dewa
Review kendaraan modern sering membanggakan sensor parkir, kamera 360 derajat, sampai teknologi lane assist. Di truk kontainer yang saya tumpangi, fitur itu tidak ada. Yang ada hanyalah blind spot: depan kabin, kiri-kanan dekat pintu, hingga bagian belakang. Di titik itu, motor Ninja sekalipun bisa hilang dari pandangan sopir. Tentu sangat bahaya.
Ironisnya, banyak pengendara masih cuek sama titik-titik ini. Mereka nyelonong begitu saja, seolah-olah truk punya mata ekstra. Dari obrolan sopir, saya belajar satu hal: jangan pernah menuntut orang lain punya kesadaran setinggi ekspektasi kita. Yang paling realistis adalah menjaga jarak, baik di jalan maupun dalam hidup.
Sementara untuk urusan konsumsi BBM, saya tidak bisa memberi angka detail. Yang jelas, setiap kali truk kontainer ini berjalan, ia mengangkut barang bernilai miliaran. Jadi, solar bukan lagi sekadar pengeluaran, tapi semacam modal utama keberlangsungan ekonomi. Dari perspektif ini, saya merasa menumpang truk adalah bagian dari rantai distribusi nasional. Rasanya lebih heroik daripada naik Grabcar.
Filosofi dari kursi penumpang truk kontainer
Perjalanan 50 kilometer terasa singkat karena obrolan dengan sang sopir. Ia bercerita tentang duka dan suka, tentang bahaya di jalan, tentang solidaritas sesama sopir. Lalu ada satu kalimat yang menancap: “Di jalan harus saling menolong, jangan arogan. Kita nggak pernah tahu kapan kita butuh bantuan orang pas kesusahan.”
Kalimat itu memang sederhana, tapi keluar dari mulut seorang sopir yang hidupnya banyak dihabiskan di jalan. Dari kursi kabin truk, saya belajar bahwa kebaikan bukanlah teori, melainkan praktik sehari-hari. Bahwa solidaritas itu nyata, meski sering kita lupakan saat sedang sibuk dengan ego masing-masing.
Jadi, bagaimana hasil review yang belepotan ini? Tolong jangan bandingkan dengan reviewer kelas dunia yang mengupas detail, jauh banget bedanya.
Tapi sebagai penutup, kalau dibandingkan dengan kendaraan pribadi atau transportasi umum, truk kontainer jelas punya kelebihan: pengalaman unik, sensasi getaran full body, dan pelajaran hidup gratis. Kekurangannya? Ya jelas banyak. Tidak ada AC, tidak ada hiburan audio, suspensi keras, dan risiko nyawa kalau pengendara lain nggak tahu diri.
Namun, justru di situ letak keistimewaannya. Truk kontainer adalah kendaraan paling jujur di jalan raya. Tidak pura-pura nyaman, tidak penuh gimmick. Ia hanya menjalankan tugas: mengangkut beban besar dengan setia.
Dan sebagai penumpang gelap malam itu, saya merasa ikut belajar: bahwa hidup, seperti truk kontainer, tak bisa dijalani dengan terburu-buru. Perlu kesabaran, ancang-ancang, dan sedikit keberanian untuk tetap melaju di tengah blind spot yang selalu ada.
Penulis: Budi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Betapa Merananya Warga Gresik Melihat Truk Kontainer Lalu Lalang Masuk Jalanan Perkotaan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
