Slogan adalah bentuk komunikasi yang bisa menjadi tokcer dan tepat jitu apabila dibuat dengan racikan yang pas. Hanya satu-dua kata atau kalimat dan kepala orang-orang langsung tersihir. Atau minimal tersentak. Atau lebih minimal lagi menjadi sadar alias aware akan keberadaan si jargon atau sesuatu yang ingin disampaikan slogan tersebut.
Semangat bisa terbakar, amarah bisa tersulut, ketakutan bisa menyerang apabila kena berondong slogan-slogan di waktu dan keadaan yang tepat. Di sosial media, slogan yang saya maksud ini bentuknya mungkin bisa dalam hashtag sehingga secara teknis agak salah kalau mau dibilang slogan, tapi ya kita anggap sama saja deh supaya simpel.
Sayang sekali, akhir-akhir ini, saya tidak menemukan slogan politik yang cukup menohok. Alasannya ada dua. Pertama, saya memang jarang membuka sosial media seperti Twitter atau Instagram. Kedua, memang tidak ada isu yang cukup kontroversial untuk dijadikan hashtag atau slogan.
Hal ini tentu perlu disyukuri. Setidaknya pergaulan kita bisa sedikit adem dari isu-isu yang punya potensi perdebatan.
Nah, balik lagi soal slogan. Mari lupakan sejenak slogan-slogan yang bersliweran hari ini. Kita throw back dahulu sebentar ke beberapa slogan politik paling asik dalam sejarah Indonesia. Sebagai masyarakat awam, saya juga terpapar beberapa slogan politik berikut ini yang sampai sekarang masih nancep di kepala.
Yang pertama, adalah “2019 Ganti Presiden“. Ini masih slogan muda, ya. Orang pilpres saja belum lewat setahun, kok. Tapi slogan ini masih lengket menempel di kepala saya sampai sekarang.
Jika ada tata cara pembuatan slogan politik yang baik, “2019 Ganti Presiden” adalah salah satu contoh yang patut dikedepankan. Dia adalah jelmaan sesungguhnya dari singkat, padat, dan jelas. Anak kecil sekalipun ketika mendengar atau melihat slogan ini pasti langsung mengerti maksudnya.
Apalagi, slogan ini juga amat mudah diucapkan, tidak membuat lidah kerukut dengan istilah-istilah yang rumit. Hal ini terbukti dari riset kecil-kecilan saya pada bocah-bocah tetangga yang dengan lancarnya mengeluarkan slogan ini dari mulut. Bocah saja lancar, bung, apalagi yang tua!
Yang kedua, adalah “Piye Kabare, Isih Penak Jamanku, To?”. Uhhhhh, seksi bung, slogan satu ini. Dalam pikiran saya langsung keluar wajah Pak Harto dengan senyumnya yang aduhai itu.
Dari segi maksud, slogan ini tidak begitu eksplisit memberi arti. Tapi dari segi kehangatan dan kemampuan merasuk ke dalam kalbu, slogan ini hampir tidak punya saingan. Senyum pak Harto, kata Jaman, Enak dan tanda tanya di akhir niscaya akan membuat hati anda sedikit-banyak nylekit dan bisa jadi benar-benar ingin kembali ke jaman yang katanya enak-enak itu.
Konon hanya buku-buku, film-film pilihan dan pengalaman pahit sajalah yang bisa menangkal efek kehangatan yang ditawarkan slogan ini.
Dan karena maksudnya yang agak-agak susah dijelaskan, akhirnya tercipta banyak sekali perdebatan soal slogan “Piye”. Lebih khusus lagi pada, apakah jamannya si bapak enak beneran? Tapi itu dibahasnya nanti-nanti, deh.
Ketiga, adalah “NKRI Harga Mati“. Kalau yang satu ini, bukan lagi hangat, tapi kebakaran. Kurang afdol rasanya kalau mengucapkannya dengan intonasi seperti “Piye, Isih Penak Jamanku To?” Tidak, tidak, “NKRI Harga Mati” itu diucapkannya mesti dengan tangan terkepal, mata melotot dan mulut terbuka : NKRI HUUAAARGGGGGAAA MAAAATEEEEEEE!!!!!!!!
Menurut Tirto, slogan satu ini mulai sering terdengar setelah Orde Baru runtuh dan Timor Timur (sekarang Timor Leste) merdeka dari Indonesia pada 1999.* Hari-hari ini, penggunaannya pun punya macam-macam maksud.
Yang paling sering sih sebagai “anthem” perlawanan bagi yang dianggap musuh negara seperti komunis atau separatisme. Pokoknya, persoalan yang ribet seperti HAM, kemerdekaan, kejahatan negara, atau militerisme itu lewat semua. Yang penting ya, NKRI, soalnya dia harga mati. Kalau ditanya kenapa harga mati ya nanti saja, yang penting harga mati dulu.
Namanya juga slogan, bung. Yang penting membangkitkan emosi dan perasaan. Kalau akal dan kemampuan berpikir nanti-nanti lah, ribet soalnya. Apalagi yang berakal dan seneng mikir biasanya kebanyakan protes. Aduhhh, negara bisa pusing nanti!
BACA JUGA Melihat Bagaimana Industri Buzzer Politik Bekerja atau tulisan Hanif Amin lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.