Tren rip-off gim online populer sepertinya bakal masih banyak dijumpai di pasar gim hape. Di awal 2022 ini, giliran Netease yang kali ini tengah menjajal peruntungannya dengan merilis Hyper Front, sebuah “carbon copy” dari gim PC populer, Valorant.
Bagi Anda yang belum tahu, rip-off merujuk pada karya-karya tiruan atau imitasi. Apakah termasuk plagiat? Ya, silakan diperdebatkan.
Gara-gara label “rip-off”-nya, bahkan sejak Hyper Front masih berada tahap pengenalan, gim ini sudah mendapatkan banyak kritikan tajam dari gamer mobile. Di platform Taptap saja, gim semula memiliki sandi “Project M” ini mendapatkan user score yang cukup buruk, yakni stagnan di angka 6.9. Bukan debut indah untuk sebuah gim yang tahun ini bakal bersaing dengan Apex Mobile dan (kemungkinan) Valorant Mobile.
Meski begitu, pada kesempatan kali ini, saya bermaksud untuk mengulas soal gim Hyper Front ini. Untuk proses ulasan, saya menggunakan ROG Phone 3 dan Samsung Galaxy S10. Pengalaman yang Anda dapatkan bisa jadi cukup berbeda dengan ulasan yang saya tulis.
Oh iya, Hyper Front sendiri dirilis untuk Asia Tenggara pada tanggal 20 Januari 2022 silam. Bisa diunduh dari platform digital Play Store, Taptap, maupun QooApp.
Penyegaran di tengah gim battle-royale
Sangat mudah untuk menemukan genre battle royale di daftar ranking teratas gim tembak-tembakan. Maka tidak heran, jika banyak dari Anda cukup jengah dengan genre yang menuntut Anda bertahan sak modare tersebut. Syukurlah, Hyper Front tidak jatuh ke genre yang sama.
Gim ini sendiri mengusung konsep gameplay klasik “search and destroy 5v5”. Selayaknya Counter Strike, permainan membagi Anda ke dalam dua tim: bertahan dan penyerang. Tim penyerang diminta untuk memasang “bom” di objektif yang telah ditentukan. Sebaliknya, tim bertahan akan berusaha menggagalkan misi tim penyerang sampai batas waktu habis.
Di balik konsep klasiknya, gim ini juga mengusung sub-genre “hero shooter”, di mana Anda akan bermain sebagai karakter atau hero yang punya skill berbeda-beda satu sama lain. Contohnya: Blink yang memiliki skill teleport; Valkyrie yang bisa memasang turret; Coldcast spesialis jebakan bertema es; Faith Arrow yang bisa mendeteksi posisi lawan; dsb.
Kalau dilihat sekilas, Hyper Front sukses mengeksekusi dua konsep di atas dengan cukup manis. Tidak ada masalah berarti dari segi gameplay. Sistem poin atau ekonomi, seperti Counter Strike dan Valorant, juga diimplementasikan dengan baik oleh Battle Fun Studios. Satu-satunya catatan: batas waktu tiap rondenya terasa sangat pendek. Hal ini cukup mengganggu apabila bermain sebagai tim penyerang.
Meski secara konsep dan gameplay sangat oke, namun kesan demikian tidak berlaku ketika kita mulai membahas hal-hal spesifik, misalnya desain karakter dan performa. Sesuatu yang bakal kita bahas lebih lanjut.
Desain karakter tidak user-friendly
Seolah-olah nggak mau disebut jiplak, tidak semua aspek dari Valorant disalin oleh Hyper Front. Sayangnya, desain karakter Valorant yang user-friendly, adalah salah satu aspek yang tidak ditiru oleh Netease dan Battle Fun Studios. Desain karakter yang saya maksud, meliputi dua hal: skill set dan model karakter.
Pertama, banyak hero yang skill set-nya kadang out of character. Hasilnya, perannya dalam tim jadi kurang jelas. Blink, salah satu karakter favorit saya, memiliki skill teleport yang berpotensi untuk beradu cerdas 1 vs 1 dengan lawan. Contohnya mengambil sudut tembak yang tidak terduga oleh lawan.
Sayangnya, skillnya yang lain tidak mendukung Blink untuk memainkan teleportnya dengan nyaman. Artinya, Blink sangat bergantung pada rekannya seperti Storm dan Elixir untuk menutup pandangan lawan. Ha njuk ngapain bikin hero outplay kalau ndak bisa mandiri menghidupi? Mbok tulung.
Apabila dalam kasus Blink skillnya gak nyambung, kasus hero Thunder sebaliknya, justru terlalu selaras, sampai pada titik overpower. Bayangin aja, bisa invisible, bisa nge-dash, dan skill ulti-nya ngasih damage super besar ke lawan. Ketemu Thunder di tim lawan, mending AFK, yakin deh.
Kedua, gaya artistik Battle Fun Studios dalam merancang model karakter juga harus diberi dua jari. Jari tengah maksudnya.
Begini lho, dalam gim hero vs hero, penting banget buat mengidentifikasi lawan di depan mata: mengenali lawan dapat digunakan untuk memprediksi langkah seperti apa yang akan ia ambil. Masalahnya, model karakter terlalu mirip satu sama lain, misalnya Coldcast dan Blink. Pas jauh mirip Coldcast yang nggak punya skill pindah-pindah, pas di-push ternyata bisa teleport. Ha jancuk!
Performa stabil, tapi gerak geser layar kurang presisi
Pada kedua handphone yang saya gunakan untuk bermain sekaligus mengulas Hyper Front, saya mengatur grafis smooth (terendah) dengan pengaturan frame rate high (60 FPS), serta anti-aliasing 4x. Hasilnya relatif sama. Framerate cukup stabil di angka 54-57 FPS (frame per second). Bahkan ketika medan perang berubah jadi pasar malam karena semua pemain mengeluarkan skillnya bersamaan, penurunan framerate masih dalam batasan nyaman dengan angka terendah 47 fps.
Teman mabar saya yang bermain dengan spesifikasi gawai lebih rendah, mengaku tidak mengalami fluktuasi FPS parah. Tapi, tentu saja hal ini belum tentu berlaku untuk semua jenis gawai. Jadi mohon untuk bagian ini dibaca sambil banyak makan garam.
Saya pribadi cukup terkesan dengan betapa optimalnya performa gim ini. Jarang sekali ada gim mobile langsung nyaman dimainkan sejak hari pertama rilisnya. PUBG Mobile, ehm, sampai hari ini masih banyak dijumpai kasus frame drop bahkan pada gawai spesifikasi tinggi. Catatan untuk Hyper Front, adalah ketiadaan opsi untuk mengatur frame rate untuk menu utama. Rasanya sedikit kurang nyaman menjelajahi fitur-fitur seperti toko dengan frame rate yang terkunci 30 fps.
Meski secara performa Hyper Front dapat dibilang memuaskan, gim ini punya masalah yang cukup mengganggu. Yakni sentuhan yang tidak konsisten dan gerak geser (sliding layar gawai) yang tidak presisi. Saya belum sempat menguji berapa batasan multi-touch di Hyper Front. Namun, saya, yang bermain menggunakan konfigurasi lima jari, masih sering mengalami ghost touch.
Saya tidak tahu apakah mesin Unreal Engine 4 yang digunakan berpengaruh pada kualitas sentuh hape Android. Akan tetapi, saya juga sering mengalami masalah yang sama untuk PUBG Mobile, yang notabene sama-sama menggunakan UE4. Masalah sentuhan dan presisi gerak geser, cukup mengganggu ketika membidik sasaran. Bidikan jadi terasa mengambang dan tidak konsisten. Berbeda dengan Call of Duty Mobile—menggunakan mesin Unity, yang sangat presisi dan konsisten.
Masalah ini sebetulnya dapat diatasi dengan mengatur konfigurasi sentuhan pada fitur Armoury Crate ROG Phone 3. Akan tetapi, fitur serupa tidak selalu dapat ditemukan pada setiap gawai, termasuk Samsung Galaxy S10 yang saya gunakan.
Kesimpulannya, Hyper Front adalah gim yang pantas untuk Anda jajal untuk sebatas mengisi waktu luang semata. Konsep yang segar untuk standar gim mobile dan konsistensi performa adalah nilai plus untuk gim ini. Namun, jika Anda berniat untuk serius, misalnya menjadi konten kreator atau pro player, sebaiknya lihat situasi Valorant Mobile dulu. Lha kok? Pertama, komunitas masih menunjukkan gestur permusuhan yang besar. Kedua, mengingat kemiripannya dengan Valorant, bukan tidak mungkin Hyper Front dan Netease bakal mendapatkan surat cinta dari pengadilan di masa depan.
Sumber gambar: Instagram @hyper_front
Penulis: Nurfathi Robi
Editor: Rizky Prasetya