Review Firestarter: Film Horor yang Nggak Ada Horornya

Review Firestarter: Film Horor yang Nggak Ada Horornya

Review Firestarter: Film Horor yang Nggak Ada Horornya (Akun Instagram @firestartermov)

Firestarter merupakan sebuah film karya Keith Thomas yang pertama kali dirilis di Indonesia pada tanggal 13 Mei 2022 dan diadaptasi dari novel ciptaan penulis terkemuka, Stephen King. Film ini dibintangi oleh Ryan Kiera Armstrong, Sydney Lemmon, dan sang aktor yang sering diolok-olok karena film High School Musical, Zac Efron. Sejujurnya, saya tidak berniat untuk menyaksikan film ini. Namun, ketika sampai di bioskop, mbak-mbak penjual karcis memberitahu saya bahwa KKN di Desa Penari baru akan tayang sejam lagi, sehingga saya pun memutuskan untuk menonton Firestarter saja sebagai penggantinya.

Secara singkat, Firestarter mengisahkan tentang perjuangan Andy McGee (Zac Efron) dan Victoria (Sydney Lemmon) dalam melindungi putri mereka, Charlie (Ryan Kiera Armstrong), dari kejaran sebuah organisasi berbahaya bernama The Shop. Organisasi tersebut mengejar-ngejar Charlie karena dirinya merupakan seorang gadis kecil yang memiliki kemampuan super untuk mengeluarkan api dari tubuhnya, hampir serupa dengan tokoh Human Torch dari Fantastic 4. Lantas, bagaimana kelanjutan nasib mereka? Apakah The Shop berhasil mendapatkan Charlie? Ataukah kedua orang tuanya mampu menjalankan peran mereka dengan baik dan melindungi anaknya? Untuk menjawab itu, kalian bisa menyaksikan filmnya sendiri.

Secara keseluruhan, Firestarter tidak begitu memuaskan dan memiliki cukup banyak kekurangan di sana-sini. Kelemahan yang paling terasa adalah saya tidak bisa begitu merasakan aspek horor yang lucunya, menjadi genre utama yang diusung dalam film ini. Memang, beberapa kali sang sutradara berusaha memberikan jump scare yang diharapkan dapat membuat para penonton bergidik ngeri. Nahasnya, adegan-adegan “pengejut” tersebut menjadi satu-satunya bagian paling maksimal yang bisa membuat saya sedikit terpacu adrenalinnya.

Selain itu, hampir tidak ada adegan-adegan lain yang bisa membuat saya takut untuk membuka mata. Mungkin saja, salah satu penyebab dari hal tersebut adalah rating PG-13 yang ditampilkan oleh filmnya, sehingga para penonton dituntut untuk tidak mengharapkan adanya adegan gore yang brutal dan penuh darah. Meski begitu, sebetulnya unsur horor tidak melulu harus ditampilkan melalui adegan-adegan semacam itu. Singkatnya, pada dasarnya saya merasa bahwa memang sang sutradara saja yang kurang pintar menciptakan suasana mencekam dan berujung serba “nanggung” di setiap bagian.

Namun, Firestarter juga memiliki beberapa aspek positif yang tidak boleh dikesampingkan begitu saja. Salah satunya adalah performa yang ditunjukkan oleh aktris belia, Ryan Kiera Armstrong, yang memerankan salah satu protagonis utama dan cikal-bakal konflik dari film ini. Saya bukan pakar dunia akting dan seni peran, tetapi jujur, begitu menyaksikannya berakting di film ini, saya benar-benar bisa tenggelam dalam ekspresi yang kuat dan perasaan takut yang sang karakter rasakan.

Melalui tatapan matanya saja, saya seketika bisa merasakan bahwa tokoh Charlie yang ia perankan seakan ingin berkata bahwa ia tidak ingin berada di situasi pelik semacam ini. Kegalauan yang berujung kemarahan itu mampu ia tampilkan dengan nyaris sempurna dan untuk seorang aktris berusia sepuluh tahun, penampilannya benar-benar berhasil membuat saya memberikan dua jempol. Mantap, Dek Armstrong!

Bahkan, jika harus jujur, saya merasa bahwa kemampuan akting yang “Dek Armstrong” tampilkan mampu menjadi spotlight utama dan melampaui Zac Efron maupun Sydney Lemmon (yang usianya sudah jauh lebih tua dan otomatis lebih berpengalaman). Untuk Zac, saya rasa ia belum mampu betul-betul menjiwai karakter seorang bapak yang harus sekuat tenaga melindungi putrinya. Saya belum bisa merasakan kekhawatiran penuh yang tentu akan dirasakan oleh setiap orang tua jika berada di situasi semacam itu. Hal yang kurang lebih sama juga terjadi pada Sydney.

Oleh sebab itu, saya sangat menyayangkan fakta bahwa performa memukau sang anak justru tidak didukung oleh penampilan yang sama oleh para orang tuanya. Terlebih, sang aktor dan aktris yang memerankan mereka tergolong artis papan atas yang sudah sering malang melintang di banyak proyek layar lebar.

Itulah review singkat saya mengenai Firestarter. Secara keseluruhan, film ini cenderung gagal memberikan kengerian kepada penontonnya dan serba “nanggung” dalam aspek horor maupun fiksi-ilmiah yang ingin diangkat. Kekecewaan saya semakin bertambah begitu menyadari kembali bahwa karya layar lebar yang satu ini diangkat dari sebuah novel karya “empunya” kisah horor, Stephen King.

Jika film ini dijadikan sebagai bentuk penghormatan terhadap lelaki berusia 74 tahun tersebut, saya justru menganggapnya sebagai bentuk penghinaan yang diciptakan secara serius dan ber-budget besar. Singkatnya, rating 6/10 tampaknya layak untuk diberikan kepada film karya Keith Thomas ini.

Sumber gambar: Akun Instagram @firestartermov

Penulis: Bintang Ramadhana Andyanto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Tertawa dari Awal Sampai Akhir Bersama Film Srimulat: Hil yang Mustahal

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version