Resep Menjadi Presiden: Lahirlah di Bulan Juni

bulan juni

bulan juni

Jumat pekan lalu, 21 Juni 2019, Presiden Joko Widodo berulang tahun yang ke-58. Banyak dari warga Indonesia berkirim ucapan doa baginya, itu bisa disimak dari berbagai unggahan  yang bersliweran di berbagai lini media sosial. Kurang lebih seminggu berselang, kado ulang tahun datang menyusul, yaitu kemenangan penuh pemilihan presiden setelah diumumkannya putusan  Mahkamah Konstitusi (MK). Bulan Juni ditutup dengan kebahagiaan bagi yang lahir di dalamnya.

Kakek dari Jan Ethes dan Sedah Mirah ini adalah pemimpin Republik keempat yang lahir di bulan Juni. Sebelumnya, tiga presiden Indonesia awal, sejak yang pertama hingga ketiga juga lahir di bulan yang sama, dari mulai Soekarno, Soeharto, sampai B. J. Habibie. Sejauh ini, hanya ada tiga presiden Indonesia yang lahir di luar bulan Juni, yakni K. H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang lahir di bulan September. Serta Megawati Soekarnoputri yang lahir pada bulan Januari.

Dengan lebih banyaknya presiden yang lahir di bulan Juni, ini menunjukkan bahwa bulan keenam ini adalah bulan bagi para presiden Indonesia. Lantas, bagaimana dengan tiga presdien lain yang lahir pada bulan Januari dan September? Baiklah, meskipun ada juga yang tidak lahir pada bulan Juni, tanpa mengurangi rasa hormat saya pada tiga presiden yang dimaksud saya akan katakan bahwa mereka yang lahir pada bulan Juni punya aura kemenangan yang lebih kuat ketika berhadapan dengan lawan politik yang lahir di luar bulan tersebut.

Dimulai dengan Soekarno, presiden pertama yang juga merupakan proklamator kemerdekaan, ia adalah pria kelahiran 6 Juni 1901. Pada saat Soekarno menjabat presiden, terdapat juga beberapa tokoh yang saya kira punya potensi  sama dengan sang Bapak Revolusi. Tetapi sejarah menunjukkan, bahwa Soekarno-lah yang akhirnya ditakdirkan memegang amanah menahkodai kapal republik di tengah badai revolusi.

Soekarno mungkin menjadi pemimpin Indonesia yang sebenarnya punya saingan dari Putra Juni lainnya. Waktu itu, sebenarnya ada sosok Tan Malaka yang juga dilahirkan pada bulan Juni. Bahkan, putra Minang ini sebenarnya lebih senior dibanding Soekarno.

Berlanjut ke presiden kedua, ada Soeharto yang lahir pada 8 Juni 1921. Terlepas dari bagaimana cara ia berkuasa yang banyak dibumbui dengan cerita kontroversi. Presiden yang lukisannya sering muncul di bak belakang truk ini  adalah orang Indonesia pertama—dan mungkin terakhir—yang berhasil mempertahankan kekuasaannya sampai lebih dari tiga dekade. Menjelang kejatuhannya, Soeharto seolah memiliki firasat dengan menjadikan Habibie, yang juga lahir pada bulan Juni sebagai wakilnya.

Presiden Habibie sendiri hanya bertahan sebentar di tampuk kekuasaan tertinggi. Namun, ia adalah lambang dari kejeniusan di negeri ini. Ia menjadi serupa Albert Einstein versi Indonesia. Tidak sedikit anak sekolah yang tumbuh pada permulaan milenium baru ini pernah bercita-cita ingin menjadi seperti Habibie. Sayangnya, Habibie adalah titik pemberhentian kekuasaan para Anak Juni di negeri ini. Suksesornya adalah Gus Dur yang lahir pada bulan September.

Secara bergantian tiga presiden yang menjabat setelah Habibie bukanlah orang yang lahir pada bulan Juni. Kekuasaan Orang-Orang Juni di negeri ini berhenti selama lima belas tahun. Namun, mengapa terhentinya siklus kekuasaan ini bisa sebegitu lama? Jawaban mudahnya, dalam kurun waktu itu tidak ada peserta pemilu yang lahir pada bulan Juni.

Jika mengambil titik awal pada pemilihan presiden langsung pertama pada tahun 2004, kita dapat melihat bahwa semua calon yang tersedia pada saat itu tidak ada yang lahir pada bulan Juni. Alhasil, SBY bisa melenggang menang dan duduk manis sebagai presiden. Hal serupa kembali terjadi pada 2009. Dua saingan SBY dalam pemilihan, Megawati Soeakarnoputri dan Jusuf Kalla masing-masing lahir pada bulan Januari dan Mei. Dengan peluang tersebut, presiden petahana dengan mudah mengamankan kemenangan, bahkan hanya dalam satu putaran saja.

Ujung dari penantian akhirnya tiba pada tahun 2014. Seseorang yang dilahirkan pada bulan Juni akhirnya turun gelanggang dalam kompetisi untuk duduk di kursi presiden Indonesia. Ia adalah Joko Widodo yang dua tahun sebelumnya baru saja menang dalam pilkada Jakarta. Namanya kala itu tengah melesat kencang dalam lintasan politik negeri ini. Pesaingnya adalah Prabowo Subianto, yang lahir pada bulan Oktober.

Pilpres 2014 ditutup dengan kemenagan Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla. Sejarah kembali membuktikan bagaimana tuah seorang Anak Juni. Lima tahun berselang, pilpres menyajikan tanding ulang antar dua kandidat dari pemilu sebelumnya, hanya posisi calon wakil yang berganti wajah. Hasilnya muncul dengan kesimpulan yang sama. Indonesia tidak akan memiliki presiden baru sampai tahun 2024.

Lima tahun yang akan datang, akan menjadi perlombaan terbuka bagi wajah baru. Partai-partai politik sudah semestinya mulai mempertimbangkan masalah bulan kelahiran ini dalam mengusung calon. Para tokoh politik yang lahir di bulan Juni perlu dilihat sebagai opsi yang menguntungkan, terutama jika mempertimbangkan siklus yang sudah ada.

Bagi putra-putri Ibu Pertiwi kelahiran bulan Juni yang masih galau untuk menentukan cita-cita, menjadi presiden mungkin bisa menjadi pilihan. Apalagi, kalau kegalauan itu ditambah oleh kekecewaan karena tidak bisa masuk ke sekolah idaman sebab terbentur sistem zonasi. Mulai bermimpi untuk menjadi presiden adalah langkah awal yang perlu dipijak, supaya jika kelak mimpinya itu mewujud nyata, bisa menjadi pahlawan penumpas sakit hati karena gagal masuk sekolah favorit.

Exit mobile version