Ini adalah cerita tentang salah satu kampung di Kabupaten Bengkayang, yang harus jalan selama 1 jam hanya untuk mengisi daya smartphone
Siang itu terasa terik, tapi saya tetap harus melanjutkan perjalanan menggunakan motor trail bersama seorang rekan kerja saya. Kami pakai dua motor. Saya ingat, kami harus masuk ke suatu kampung yang lumayan terpencil, yang menjadi akhir dari perjalanan kami hari itu.
Ya, teman-teman, selamat memasuki cerita di mana saya akan banyak mengulik mengenai Kabupaten Bengkayang yang terletak di Provinsi Kalimantan Barat. Oke, saya lanjut ya.
Kampung terakhir yang kami kunjungi memakan perjalanan kurang lebih 20-30 menit dari jalan aspal atau biasa disebut jalan hitam. Keluar dari jalan hitam, batu, kerikil, dan tanah merah mendominasi perjalanan. Kanan kirinya hutan gundul, sesekali diselingi kampung-kampung kecil dan perkebunan sawit.
Sesampainya di sana, kami disambut anak-anak kecil yang sedang bermain di taman bermain yang dibuat seadanya. Hanya ada jungkat-jungkit dan tumpukan ban dicat warna-warni. Mereka tampak gembira karena kehadiran kami. Di lain sudut, kami melihat beberapa ibu mengawasi anak-anaknya dari teras rumah.
Daftar Isi
Rumah-rumah sederhana
Saya kemudian dengan pelan-pelan melihat rumah-rumah yang ada. Ini adalah kunjungan saya pertama kali di salah satu kampung paling terpencil di Kabupaten Bengkayang ini. Wah, rumah mereka sangat sederhana. Mulai dari yang berdinding kayu, sampai tembok-tembok tipis. Umumnya, bangunan mereka berwarna abu-abu cenderung gelap dan beratapkan seng.
Agak lama setelah kami datang, saya melihat anak-anak lain berdatangan pulang sekolah. Mereka berjalan kaki. Ada yang masih pakai seragam, ada juga yang sudah menenteng seragamnya. Tampaknya mereka sangat kelelahan setelah berjalan cukup jauh dari sekolah. Apalagi, cuaca terik dan hutannya gundul, lengkap sudah.
Selepas mereka datang, saya melihat beberapa anak mengeluarkan HP dari kantong tas mereka. Tak banyak, mungkin tiga dari belasan anak. Saya heran, kok bisa mereka punya HP sedangkan kampung ini sinyal dan listrik tidak ada? Mulailah saya bertanya-tanya. Dan, inilah jawabannya.
Kampung tanpa listrik, tanpa air bersih
Jadi, kampung ini sudah ada di Kabupaten Bengkayang sejak belasan tahun lalu. Letaknya memang di ujung suatu desa dan jauh dari kantor desa. Aksesnya sulit, tanpa listrik, sinyal handphone, bahkan aliran air bersih. Terdiri dari belasan rumah dengan satu gedung serbaguna yang hampir roboh.
Kampung ini terancam keberadaannya karena ekspansi perusahaan sawit. Memang, tak jauh dari situ ada sebuah perusahaan sawit besar, milik seorang konglomerat sekaligus politisi nasional. Beberapa warga kampung masuk menjadi karyawan perusahaan tersebut. Mungkin 2-3 orang saja. Mereka tinggal di mess dan jarang pulang ke kampung meski hanya berjarak satu jam jika berjalan kaki.
Jalan menuju kampung ini cukup lebar dan mudah dilalui jika musim panas atau cuaca sedang cerah. Dulu, jalan ini hanya setapak saja. Tapi, karena dibuat lalu lalang truk sawit, diperlebarlah dengan sistem “yang penting truk bisa lewat”.
Tapi, kalau musim hujan, jangan harap ya bisa lewat. Mungkin atlet motorcross juga mendingan tidak balapan daripada patah kaki. Benar-benar perlu kematangan skill dan emosional.
30 menit untuk SD, 1 jam untuk SMP, 2.5 jam untuk SMA
Anak-anak yang tadi saya ceritakan pulang sekolah, mereka berjalan kaki cukup jauh lewat jalan ini. Untuk SD, mereka harus jalan kaki kurang lebih 30 menit dan 1 jam karena ada 2 sekolah yang menampung mereka. Untuk SMP ada yang 1 jam, ada yang 2 jam. Bagi siswa SMA, sampai 2,5 jam jalan kaki. Ya, memang sejauh itu. Mereka hampir tidak ada yang punya motor. Beginilah realitas Bengkayang.
Jadi, beban terberat kalian sekolah apa? PR? Atau gurunya galak? Mana maen sama anak-anak di sini, coy. Kalah mental kalian dibuatnya.
Menurut catatan sejarah, anak-anak itu hanya tidak melakukan adegan jalan kaki ke sekolah semasa pandemi Covid-19. Ya, mereka juga harus ikut belajar dari rumah. Yang saya bayangkan, terus gimana belajarnya kalau HP, sinyal, listrik tidak ada? Selalu ada solusi, Brader, meskipun bukan dari pemerintah ya.
Anak-anak menjadi diwajibkan memiliki HP untuk belajar dan mengirim tugas. Otomatis, orang tua mereka harus beli HP. Untuk barang sesederhana HP, itu tergolong mewah untuk masyarakat di situ yang sehari-hari berladang dengan penghasilan tak tentu. Tapi, demi anak sekolah, itu harus dilakukan. Gimana caranya? Ada yang membongkar tabungan, ada yang pinjam keluarga, ada yang ngutang dengan penjual HP, dan sampai ada yang kredit di rentenir. Yang penting anaknya bisa belajar.
Cerita sedih di Kabupaten Bengkayang
Teman-teman, saya dicurhati salah seorang ibu yang terlilit utang karena mengkredit HP. Ibu ini punya empat anak, tiga sudah bersekolah dan ketiganya harus memiliki HP. Iya tak punya cukup uang bahkan hanya untuk membeli sebuah HP. Maka, terpaksa ia dan suaminya kredit. Tapi, bunga utang terlampau besar. Mereka hampir tak mampu bayar. Suaminya terpaksa meninggalkan ladang karena dianggap jauh dari kata mencukupi. Suaminya pergi keluar kota menggarap bangunan apa pun. Sebulan sekali pulang untuk memberikan upahnya membayar kredit. Sedangkan untuk makan sehari-hari, sang ibu mengupayakan ladangnya tetap berbuah dengan menghasilkan sedikit sayuran.
Perjuangan orang tua di sini, di Kabupaten Bengkayang, memang tidak mudah. Di saat pemerintah memaksa, tapi tidak memberi bantuan. Masyarakat tak punya pilihan harus demikian. Pihak sekolah? Tidak bisa berbuat apa pun meskipun mereka tahu kondisi ekonomi murid-muridnya.
Beli HP ternyata tidak menyelesaikan persoalan. Ada persoalan lain lagi yang justru lahir karena ini. Bagaimana dengan nge-charge-nya? Bagaimana dengan sinyalnya?
Listrik aja jarang di Kabupaten Bengkayang, apalagi sinyal
Kita bahas sinyal dulu. Teman-teman pembaca yang budiman, mereka berusaha mencari sinyal dengan segala cara. Mulai keliling kampung, naik ke pohon, sampai naik ke bukit-bukit. Semua dilakukan dalam keadaan gelap gulita. Sampai akhirnya mereka menemukan satu titik dimana sinyal cukup kuat untuk sekadar bertukar pesan whatsapp dan mengirim tugas. Titik itu agak jauh dari rumah penduduk, tempatnya gelap, dan dikeliling pohon-pohon besar. Jadilah, mereka berkumpul di situ tiap hari, pagi, sore, bahkan malam hari.
Sebetulnya tempat itu sangat rawan. Entah rawan apa ya saya juga tidak tahu. Tapi namanya tempat gelap dan jauh dari pengawasan orang tua, apa ya tidak bahaya?
Tapi tempat itu setidaknya menjadi titik mula di mana anak-anak mulai meninggalkan kebersamaan dan menjadi abai mengenai teman-temannya. Jika bertemu, ya mereka sibuk dengan HP masing-masing untuk membuat tugas dan bermedia sosial. Yak, agak bergeser ya kebiasaannya. Apakah ini pertanda negatif? Saya tidak tahu. Menurut cerita, pergaulan anak-anak menjadi berubah sejak mereka mengenal HP.
Lalu, bagaimana dengan nge-charge-nya?
Jalan 1 jam untuk ngecharge HP, hidup di Kabupaten Bengkayang memang berat
Mereka (yang belakangan termasuk juga orang dewasa) harus berbondong-bondong ke mess warga yang bekerja di perusahaan sawit di Kabupaten Bengkayang untuk sekadar mengisi daya HP. Mereka rela berjalan 1 jam dengan kegelapan jalan menembus belantara untuk mengisi daya handphone.
Anak-anak dan orang dewasa mengantre colokan yang ada dengan pengisian yang rata-rata gak sampai penuh. Kenapa? Kalau sampai penuh, akan sangat lama mengantrenya, kasian yang lain bisa pulang kemalaman. Mereka biasanya baru pulang pukul 10 malam.
Di sinilah kesempatan (mungkin sekarang satu-satunya) mereka bertukar cerita setelah disibukkan dengan HP dan pekerjaan masing-masing. Mereka mengantre sambil saling bertanya mengenai game dan gebetan, kalau anak sekolah. Kalau orang dewasa, ya paling bertanya mengenai ladang dan dapat buruan apa hari ini. Mereka tidak seperti yang sering kalian lihat di kompleks rumah yang bergosip membicarakan tetangganya yang milih beda pilihan capres. Buat warga di sini, siapapun presidennya, bahkan siapapun bupatinya, tipis harapan bisa mengubah nasib mereka. Sedih, ya?
Cerita sederhana ini tak sekadar hanya sebatas mengantre colokan. Tapi pergeseran teknologi yang tiba-tiba tanpa ada persiapan dasar, membuat masyarakat kelabakan. Mereka sering dikambinghitamkan orang kota karena dianggap tidak mau terbuka perkembangan zaman. Nyatanya, pemerintahlah yang tak peduli bagaimana tersiksanya masyarakat marjinal dalam transisi teknologi ini. Andailah mereka yang punya cita-cita besar mengenai Indonesia Maju bisa memahami ini atau justru mau melihat langsung, tentu angan-angannya akan jauh lebih realistis dan menjawab persoalan yang sangat mendasar.
Penulis: Daniel Pradina Oktavian
Editor: Rizky Prasetya