Rawon Warteg, Culture Shock Terbesar Saya di Dunia Kuliner

Rawon Warteg, Culture Shock Terbesar Saya di Dunia Kuliner

Rawon Warteg, Culture Shock Terbesar Saya di Dunia Kuliner (Ezagren via Wikimedia Commons)

Kemarin, ketika saya tengah memilih-milih lauk di warteg, saya dibuat penasaran dengan hidangan berkuah kuning yang diletakkan dalam sebuah mangkuk berukuran sedang. Ketika saya bertanya kepada pemilik warteg, ia menjawab bahwa itu adalah rawon. Sontak saya langsung terkejut tatkala mendengar jawaban itu. Sebab, bagi saya, rawon warteg adalah culture shock terbesar yang pernah saya temui di dunia kuliner.

Rawon yang saya kenal selama ini

Sebagai informasi, ayah saya berasal dari Jawa. Maka nggak heran kalau sejak kecil saya cukup familier dengan berbagai masakan khas Jawa. Tentu saja rawon adalah salah satunya.

Selama ini saya mengenal rawon sebagai makanan berkuah hitam berisikan daging sapi yang dipotong kecil-kecil. Sepiring rawon akan terasa kurang lengkap jika tanpa telur asin, taoge, daun bawang, dan tetek bengek lainnya. Kombinasikan semuanya dengan nasi putih hangat, dijamin rasanya akan semakin sedap.

Begitu rawon yang saya kenal selama ini. Di beberapa rumah makan yang pernah saya singgahi pun, hidangan rawon selalu terlihat seperti itu, biasanya yang membedakan hanya rasa dan harganya. Akan tetapi secara garis besar, rawon nggak akan jauh-jauh dari daging sapi dan kuah hitam yang menggunakan kluwek.

Semua berubah setelah saya berjumpa dengan rawon warteg

Maka ketika saya berjumpa dengan varian rawon warteg yang memiliki kuah berwarna kuning serta berisikan tetelan, saya cukup terkejut. Nggak ada pula kawan-kawan rawon seperti taoge, daging sapi, daun bawang, dan telur asin. Saking kagetnya, saya sampai bertanya kepada pemilik warteg untuk memastikan blio nggak salah ucap dan saya nggak salah dengar.

“Iya, itu rawon, Mas.”

Selama makan di warteg tersebut, saya sulit mengalihkan pikiran dari rawon warteg yang saya lihat itu. Saya mengedarkan pandangan dan melihat cukup banyak pelanggan yang membeli rawon kuah kuning tersebut. Saya jadi kepikiran, apakah rawon memang banyak variannya sampai-sampai ada yang kuahnya kuning seperti yang saya jumpai ini.

Culture shock terbesar saya di dunia kuliner

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya saya merasakan culture shock soal kuliner. Sebagai orang Palembang, saya sedikit terkejut ketika mencicipi kuah cuko untuk pempek di Depok yang cenderung nggak pedas seperti yang saya rasakan di kampung halaman saya. Begitu juga ketika melihat orang-orang di Kota Belimbing menyantap gorengan dengan saus kacang. Saya sempat dibuat heran dan nggak habis thinking.

Akan tetapi, pada akhirnya saya dapat memaklumi itu. Toh, menurut saya hal-hal tersebut masih berada di taraf yang dapat dimengerti. Di Depok, cuko pempek dibuat nggak begitu pedas mungkin untuk mengikuti selera pasar. Cuko yang pedas membuatnya jadi lebih segmented dan hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang tahan pedas. Bagi mereka yang nggak tahan pedas, bisa jadi mereka malah nggak akan menyukai pempek yang disajikan secara keseluruhan. Makanya kuah cukonya dibikin nggak pedas.

Sementara gorengan yang dinikmati dengan saus kacang, sejatinya saya melihat ini sebagai sebuah percampuran yang mampu menaikkan level kenikmatan gorengan. Pasalnya, ketika saya masih tinggal di Palembang, gorengan selalu dipadukan dengan cabai rawit atau kuah cuko. Makanya ketika saya mencicipi gorengan dengan saus kacang untuk pertama kalinya, saya merasakan sensasi kelezatan yang belum pernah saya rasakan sebelumnya.

Lantas gimana dengan rawon warteg? Nah, warna kuah rawon yang menjadi kuning membuat hidangan ini tak ubahnya seperti gulai atau opor. Nggak ada keunikan yang semula terletak pada pekatnya warna hitam kuah rawon. Dan sebagai orang yang kurang menyukai tetelan, tentu saja saya lebih suka rawon “asli” yang berisikan daging empuk berukuran kecil-kecil.

Akan tetapi jika perubahan-perubahan tersebut dilakukan dengan maksud tertentu, saya dapat memakluminya. Misalnya, pemilik warteg mengganti daging sapi dengan tetelan karena ingin menekan modal, maka saya dapat mengerti mengapa ia sampai melakukan modifikasi tersebut.

Jadi nggak perlu heran kalau saya menyebut rawon warteg sebagai culture shock terbesar saya di dunia kuliner. Sebab, versi satu ini memang berbeda dari yang saya kenal selama ini. Melihat rawon dengan tampilan kuah kuning jauh lebih mengagetkan daripada melihat Arsenal nggak jadi juara Premier League. Wqwqwq.

Penulis: Bintang Ramadhana Andyanto
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Gulai Bumbu Kuning ala Warteg Jakarta kok Dibilang Rawon, Ra Mashok!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version