Kalau Cakra Khan punya lagu berjudul “Kekasih Bayangan” dan Australia punya “Shadow Government” alias pemerintah bayangan, maka saya, dengan sombongnya, mengeklaim sebagai seorang kru bayangan. Kru bayangan dari Mojok lebih tepatnya.
Apa itu kru bayangan? Sederhananya kru yang tidak tertulis secara resmi dalam daftar kru Mojok, tetapi sering diminta nulis oleh pemimpin redaksi. Ya sebenarnya nggak cuma saya sih. Ada banyak penulis alias kontributor lain yang juga diminta menulis apalagi ketika nggak ada tulisan bagus yang masuk atau ada isu-isu khusus yang memang dikuasai oleh penulis tertentu. Misal Mas Novi Basuki nulis soal Cina, Mas Dinar Zul Akbar soal Arab, atau Mbak Esty dan Mbak Kalis menulis Islam dan wanita.
Di kalangan para kontributor ini, saya kasih tahu aja ya, ada satu kata sakti yang cukup ditakuti yakni: “PANJANGIN!” Bukan, bukan panjangin ala Mak Erot itu. Panjangin di sini adalah kata sakti yang sering digunakan oleh para redaktur, wabil khusus si pimpinan redaksi Lord Prima Sulistya, untuk secara “halus” meminta. “Eh, tolong, ini tulisan pendekmu bagus dan out of the box banget! Panjangin lah ya ntar biar bisa dimuat di Mojok. Ada honornya kok sante aja, hehehe.” Kata sakti ini sering tiba-tiba muncul di komentar status Facebook saya dan beberapa penulis Mojok yang saya ikuti. Bahkan tanpa perlu baca komentarnya, begitu ada notifikasi “Prima Sulistya mengomentari status Anda”, sudah tertebak apa isinya. Hahaha. Nggak tahu apa jurus ini juga dipakai di Twitter, bisa jadi sih iya.
Jurus “Panjangin!” ini di satu sisi membahagiakan, di sisi lain kadang bikin puyeng juga. Bikin bahagia ketika status yang niatnya cuma iseng itu bisa diuangkan di kala dompet kondisinya kayak kondisi hatimu, kosong. Komentar “panjangin” seolah secercah cahaya di tengah gelap gulita kondisi moneter saya. Cuma ya kadang bikin puyeng juga. Niat awal nulis status buat melepas stres, lha kok malah disuruh panjangin. Lha malah nambah stres, bosqu! Belum lagi kalau status yang dibuat sok-sokan analitis padahal ngawur, ada beban pas manjangin agar tetap Mojok banget! Cuma ya tetap dipanjangin sih meski kadang udah diminta panjangin pas dipanjangin kagak dimuat. Kzlbtaqtuuu!
Jujur saja, beban manjangin ini juga kerasa karena ya saya ini merasa sebagai seorang kontributor tulisannya masih sering kacau, nggak jelas arahnya dan tidak konsisten. Apalah saya dibanding dengan Mas Novi, Mas Arie, Mbak Nurhidayah, Mbak Kalis, Mbak Esty, dan kontributor lain yang tulisannya sering lalu-lalang di halaman Mojok, cuma butiran elektron di antara mereka. Apalagi saya masih belum punya spesialisasi tulisan yang menjadi ciri khas. Kadang nulis yang ngelucu, hasilnya ya ada yang berhasil dan kebanyakan garing bin gagal. Nulis yang serius dan penuh analitis dengan tema tertentu kok ya susah karena saya emang lebih suka bercanda dan senang membahas banyak hal. Hadeeuh.
Sebenarnya bukan diminta panjangin saja yang membuat saya merasa menjadi kru bayangan Mojok. Lord Prima sering kali meminta untuk liputan di kawasan Jogja sekaligus meminta apabila ada hal bagus untuk diliput bisa ditulis untuk Mojok. Ketika liputan inilah mau nggak mau ya saya ngakunya dari Mojok dong. Masa cuma bilang, “Saya mau liputan demi kepentingan riset, Pak, hehe.” Meski ya nggak dikasih tanda pengenal, orang ya percaya-percaya aja saya dari Mojok. Hehe. Padahal ya… hehe… pernah daftar jadi redaktur tetapi nggak diterima… hehehehiks.
Liputan juga sama bikin puyengnya. Soal mencari tempat dan orang di Jogja sih nggak masalah. Yang bikin puyeng ya bagaimana nulis dengan gaya ala Mojok tadi. Pertanyaan yang dilontarkan nggak bisa kayak pertanyaan buat bikin artikel di koran atau majalah. Nggak harus nyleneh juga sih, cuma harus bisa mengulik sisi lain yang jarang dilihat orang. Meski bikin puyeng, liputan buat Mojok sering kali membuat saya melihat Jogja dari sisi berbeda yang belum pernah saya lihat sebelumnya.
Ah, jadi kru bayangan Mojok aslinya lebih banyak senengnya sih. Jika ke depannya tidak bisa jadi kru resmi, jadi kru bayangan selamanya juga rela saya jalani. Mau kapan pun minta liputan atau panjangin bakal gua jabanin! Walau pun saya tidak lebih Mojok dibandingkan dengan Mas Agus Mulyadi, Mojok sudah jadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari diri ini. Di Mojok lah awal saya memulai karier menulis, terutama menulis esai yang bebas (baca: somplak, ngawur, dan sok-sokan ngelucu) dan di Mojok juga lah selamanya saya ingin membagi kebahagiaan dan secuil cerita.
Tetapi ya nggak elok kan ya rasanya jadi bayangan terus. Kesannya nggak dianggap banget gitu. Apa jajaran direksi Mojok nggak pengen ngerekrut kru baru lagi? Buat jadi jurnalisnya lah. Atau mau bikin Mojok Cabang Jogja Selatan? Saya siap jadi krunya. Hehe.
BACA JUGA Bersiap Menghadapi Orang Sombong yang Akan Muncul setelah Corona Mereda.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.