Bayangkan, ada tiga ribu cafe di Jogja. Tiga ribu. Itu adalah angka yang gila, mengingat Jogja tak bisa dibilang daerah yang luas-luas banget. Jika kita mau membandingkan dengan sekitar, Semarang hanya punya 700 kedai kopi. Tetangga yang lebih dekat, yaitu Solo, hanya 400 kedai, tak sampai seperempat. Melihat angka tersebut, kita punya dua asumsi: orang Jogja gila ngopi atau memang hasrat membangun kedai kopi di Jogja begitu tinggi.
Dari angka tersebut, kita bisa menyimpulkan persaingan kedai kopi di Jogja benar-benar keras. Tak mengherankan jika ada yang berpendapat bakal ada cafe yang saling sikut-sikutan demi meraih pelanggan. Saya pun sempat berasumsi, angka tersebut bukan menakjubkan atau positif, justru ini buruk.
Buruk maksud saya adalah, tak ada diferensiasi jenis bisnis yang terpikir oleh orang-orang. Penginnya ya, semua orang bikin cafe atau kedai kopi. Dan tiga ribu kedai kopi tersebut, akan menemui ajal karena berebut pelanggan yang punya opsi terlalu banyak.
Tapi, benarkah begitu? Apakah asumsi saya benar-benar masuk akal? Saya nol dalam dunia bisnis, apalagi kopi. Dan saya paham betul, selalu ada sisi yang tak kita ketahui dari sebuah hal. Bisa jadi sinisme kita adalah halusinasi belaka, bisa jadi optimisme kita adalah fatamorgana.
Untuk menjawab ini, saya menemui Jati, pemilik Jari Manis. Dia memulai bisnisnya dari bisnis cincin sejak 2017, lalu ikut menggeluti kopi selama dua tahun ini. Dia juga sudah melanglang buana menjelajahi tentang kopi sejak lama. Tentu saja, dia orang yang lebih dari capable untuk menjawab gundah gulana saya.
Menembus hujan menuju Kotagede
Hujan yang tak mereda memaksa saya memacu motor pelan-pelan dari Mbesi menuju Kotagede. Jarak 17 kilometer memanglah tak jauh, apalagi saya biasa menempuh 80 kilometer untuk bekerja. Tapi tetap saja, di bawah hujan, semua terasa menyebalkan. Saya tepis hal itu, sebab entah kenapa, saya yakin saya akan mendapat hal yang benar-benar berguna.
Sampailah saya ke Kotagede, di mana Jari Manis berdiri. Saya langsung masuk ke Jari Manis. Setelah memesan, Mas Jati mengajak saya duduk di kursi luar. Cocok, saya bisa kebal-kebul Aspro, rokok andalan ketika hidup saya diterpa deretan kekalahan parlay.
Saya tak mau membuang waktu, setelah basa-basi yang kelewat sedikit, langsung saya buka pembicaraan.
(catatan: kalimat yang dicetak tebal adalah pertanyaan saya)
Mas Jati, saya baca bahwa Jogja ini punya tiga ribu kedai kopi. Bagi saya, itu hampir tak masuk akal, mengingat kota ini nggak besar-besar amat. Saya punya asumsi bahwa hal tersebut nggak bagus buat industri kopi di Jogja. Menurut Mas, pripun?
Justru hal itu bagus untuk cafe-cafe yang ada.
Lho kok bisa?
Ketika makin banyak cafe berdiri, makin banyak biji kopi yang terserap. Selain itu, penyerapannya juga banyak. Yang saya maksud adalah, pembeli juga makin banyak karena makin banyak pilihan. Hal ini justru bagus untuk hulu hingga hilir.
Berdirinya cafe di Jogja itu tak hanya dinikmati oleh pemilik cafe dan pelanggan saja, tapi banyak industri juga kebagian kue ini. Misal, pengrajin keramik kebagian karena produk mereka diserap oleh cafe-cafe ini.
Jangan lupakan juga, Mas, kalau cafe itu juga menggunakan jasa fotografer, videografer, marketing, dan orang-orang industri kreatif. Jadi bisa dibilang, justru kalau cafe makin banyak, makin banyak jasa orang yang dipakai.
Termasuk model yang membangun portofolio mereka lewat Instagram?
Bisa dibilang begitu.
Tapi tetap saja, Mas, ini jumlah yang menurut saya lumayan nggak masuk akal. Saya yakin dari tiga ribu itu, ada yang sudah bangkrut atau malah mendekati kebangkrutan mereka. Lalu bagaimana pendapat Mas?
Begini ya, yang namanya bisnis, itu sudah berhadapan dengan risiko kerugian. Hal kayak gini sudah personal. Kalau memang nggak bisa sustain, itu tergantung owner-nya, bagaimana mengelola bisnisnya. Industri nggak bisa disalahkan, nyatanya banyak juga yang bertahan kan?
***
Saya melihat sekeliling cafe. Ada warung madura, warung kelontong, penyetan, dan lain-lain. Saya baru sadar, cafe tak hanya memberi rezeki untuk pemilik dan pekerja kreatif. Warung-warung tersebut, juga kebagian rezeki dari pengunjung cafe. Satu cafe yang berdiri, memberi sekelilingnya rezeki.
Perkara harga kopi di Jogja yang mulai tak manusiawi
Jawaban Mas Jati lumayan memuaskan, cuman ada satu hal yang mengganjal. Bagaimana bisa tak bangkrut kalau harga yang ditawarkan selangit. Begini, sudah jadi rasan-rasan bahwa harga kopi di Jogja tak lagi manusiawi. Saya perlu menanyakan hal ini.
Mas, pasti udah tahu lah ya rasan-rasan perkara harga kopi di Jogja. Apakah ini buruk buat industri kopi di Jogja? Soalnya kan bikin pelanggan jiper.
Kan pilihan cafe dengan harga murah masih banyak, Mas. Cafe yang pakai kopi tepung giling juga banyak. Apakah harga murah pasti nggak enak? Belum tentu. Beberapa kali saya menyambangi cafe yang terkenal harganya miring, kopinya enak kok.
Pun kopi yang mahal tersebut tetap dibeli, dan banyak orang yang mau mengeluarkan uang lebih untuk kopi. Pengelola cafe berhak menentukan harga untuk produk mereka, karena mereka pasti punya hitungan tersendiri dalam menentukan harga. Tiap cafe punya model bisnis dan hitungan tersendiri, kulturnya saja sudah beda.
Pilihan cafe murah di Jogja masih begitu banyak, dan nggak ada habisnya. Sebagai penikmat kopi, kita nggak akan kehabisan opsi di kota ini.
Jadi harga nggak akan jadi masalah untuk industri kopi Jogja?
Nggak bakalan, Mas. Nyatanya yang mahal pun ada yang beli. Yang murah pun banyak dan berlipat ganda. Pengelola cafe sah untuk menentukan harga, karena mereka punya hitungan sendiri. Dan nyatanya, sampe sekarang, industri kopi belum terlihat surut.
***
Tiba-tiba saya teringat, Desember lalu, saya pertama kali merasakan kopi Starbucks fresh giling sendiri. Rasanya enak betul, dan saya jadi paham kenapa Starbucks mahalnya minta ampun. Sebab, mereka jualan kualitas, dan demi kualitas, harga berapa pun tak jadi soal.
Saya jadi merasa malu sendiri, karena melupakan bahwa kualitas dan rasa itu sah-sah saja dibanderol mahal. Ah, lain kali saya harus mengurangi mengutuk harga kopi di dalam hati.
Peran cafe dalam perkembangan dan kesejahteraan petani kopi
Saya mendatangi Mas Jati tanpa daftar pertanyaan dan sontekan apa pun. Saya meniatkan datang dengan mengosongkan kepala dan bertanya apa pun tentang industri kopi di Jogja, agar ada pandangan baru tentang kultur kopi Jogja yang bisa bikin orang-orang makin terbuka. Dan pembicaraan tiba ke poin krusial: petani kopi.
Mas, tadi Mas bilang ya bahwa ribuan cafe di Jogja itu membantu dari hulu ke hilir. Memang efeknya ke petani kopi, selain biji kopi mereka dibeli, apa?
Saya cerita dalam konteks yang lebih lebar ya, Mas. Dulu, petani kopi sering mbabati tanaman mereka karena merasa tak menguntungkan. Tapi ketika mereka tahu teknik sortir, mereka bisa meningkatkan keuntungan. Kalau perkara tanaman, mereka jauh lebih tahu tentang tanaman mereka.
Nah, industri kopi yang maju, plus banyaknya cafe berdiri ini kan menyerap produk mereka. Otomatis, mereka jadi belajar kemampuan-kemampuan yang dirasa perlu untuk meningkatkan kualitas biji kopi mereka. Dari hal itu saja sudah ketahuan kan Mas betapa industri dan cafe yang bejibun ini bikin derajat petani kopi ini naik?
Produk mereka, entah grade yang bagus atau yang kurang bagus, akan selalu diserap oleh cafe-cafe. Apakah grade yang kurang bagus itu nggak enak? Ya belum tentu.
Kalau memang standar sortirnya tinggi, yang nggak lolos pun bisa jadi sebenarnya dah wangun to nggo disajikan?
Betul, Mas.
Oh iya, bicara persaingan, sebenarnya saya merasa nggak ada persaingan yang kesannya jelek gitu. Itu yang main ke cafe juga punya cafe sendiri kok (menunjuk beberapa orang yang ada di cafe). Dari srawung model begini, kita jadi bertukar informasi tentang biji kopi. Dari itu saja, kita bisa melarisi petani kopi yang sebelumnya saya nggak tahu. Jelas banget ini membantu petani kopi, kunci dari industri ini.
Oh iya, petani kopi itu punya kemerdekaan dalam harga, nggak harus membanting harga agar laku.
Tenanan, Mas?
Tenan.
Wangun.
***
Saya diam sejenak untuk mencerna informasi yang saya terima. Otak saya kemebul gara-gara tsunami fakta. Saya sampe kepikiran pulang nggak pake helm biar kepala saya dingin.
Pendapat saya tentang kenapa terlalu banyak orang yang ngebet bikin cafe di Jogja ini jadi menguap. Selama itu bagus, selama itu duit-duit mereka, ya sah-sah saja saya pikir. Nyatanya, orang-orang ini bikin petani sejahtera, dan itu bagus, kan?
Muda dan menerabas bahaya
Ketimbang pulang penasaran, saya akhirnya bertanya ke Mas Jati tentang banyaknya orang kepikiran bikin cafe di Jogja. Sebagai pelaku, dia harusnya tahu betul.
Mas, kenapa sih anak muda pada ngebet bikin cafe di Jogja? Tenan, Mas, do ndue duit rodo okeh, gawe cafe. Kan iso, misale, gawe burjo atau tuku gundam.
Perkara itu, semua punya alasan masing-masing, Mas. Kopi ini selalu personal, bagi saya. Dan apa pun alasan mereka, nggak masalah. Bahkan jika mereka nggak tertarik betul sama kopi, tapi tahu cara mengelola bisnis, ya nggak apa-apa.
Baru bermasalah kalau nggak punya skill mumpuni, tapi bangkrut, lalu nyalahin kompetitor. Yo kui wis urusane dewe-dewe. Saya berangkat bikin bisnis ini ya gas wae, kompetitor nggak begitu saya pikirin.
Benar, ada beberapa masa di mana saya menemui kesulitan, tapi lak yo itu risiko bisnis to, Mas?
Tapi pasti ada beberapa alasan yang Mas tahu, kan?
Yaaa beberapa ada yang pengin ngikut tren, untuk gaya-gayaan, ada yang emang punya rencana. Dan semua itu sah-sah saja.
Mas, maaf agak sensitif, tapi boleh tahu umur Mas berapa?
26, Mas.
Lho, berarti dah berbisnis dari umur 20-an?
Kurang lebih lah, Mas.
Wangun.
***
Saya memacu motor begitu pelan sepulang dari Kotagede. Jalanan begitu licin, dan beberapa kali saya memastikan tak ada motor di belakang ketika saya mau memasuki jalur flyover Janti. Sepanjang perjalanan, saya dihinggapi ketakutan.
Lalu saya sadar, tentu saja saya gagal memahami kenapa begitu banyak kedai kopi di Jogja. Saya tak punya keberanian memulai bisnis, terlebih saya harus menanggung keluarga. Tentu saja saya tak mau coba-coba dan gagal.
Sedangkan para pelaku industri kopi, masih punya waktu yang begitu panjang untuk bereksperimen, gagal, dan bangkit. Dan orang-orang ini, membantu uang berputar dan bikin orang-orang bahagia. Sedangkan saya, yang tak berani mengambil risiko, malah punya asumsi yang jelek saja belum.
Ketika besok-besok saya akan beli kopi di cafe, saya akan mengingat bahwa ada banyak proses dan orang yang menerima rezeki berkat secangkir kopi ini.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Coffee Shop di Jogja, Benarkah Jadi Ruang Pamer Fashion yang Mengintimidasi?