Rahasia Mahasiswa Non-Beasiswa Bertahan Hidup di Jepang

Rahasia Mahasiswa Non-Beasiswa Bertahan Hidup di Jepang

Rahasia Mahasiswa Non-Beasiswa Bertahan Hidup di Jepang (Unsplash.com)

Saya berangkat ke Jepang sebagai mahasiswa jalur bonek alias non-beasiswa. Ternyata berat rasanya harus menempuh studi sekaligus bertahan hidup di sana!

Sebagai orang yang dilahirkan di negara tropis Indonesia, pasti kita akan mengalami culture shock ketika tinggal di negara empat musim seperti Jepang. Walaupun nggak semua orang Indonesia nggak tahan dingin, rata-rata nggak terbiasa dengan suhu udara minus di bawah nol derajat.

Saat pertama kali datang ke Jepang sebagai mahasiswa “jalur bonek” alias bondho nekat tanpa beasiswa, saya mengalami banyak kendala. Namun, kendala-kendala tersebut mampu saya lewati berkat beberapa rahasia berikut ini.

Menghemat pemakaian heater/listrik

Di musim dingin, suhu udara di Jepang bisa turun drastis mencapai minus 10 derajat Celcius. Saat malam tiba, rasa dingin yang menggigit menyerang tanpa ampun. Untungnya, walaupun saya tinggal di apartemen murah dan sederhana, apartemen tempat tinggal saya dilengkapi dengan fasilitas AC/heater (merangkap bisa keduanya). Menyalakan pemanas ruangan atau heater setiap malam menjadi kebutuhan saya agar bisa tidur dengan nyaman.

Sayangnya, kenyamanan itu hanya bersifat sementara sampai di akhir bulan saya menerima tagihan listrik yang membengkak. Sejak saat itu, saya berhenti menyalakan heater. Malam yang dingin jadi terasa lebih panjang. Mripate kancilan ra iso turu, meriang semalaman.

Selain itu, sebagai mahasiswa yang menempuh studi di Jepang, tak jarang saya harus melakukan penelitian di lab hingga larut malam. Tapi seperti kata pepatah “di setiap kesusahan di situ pasti ada kemudahan”, saya memanfaatkan benar kesulitan waktu itu. Iya, saya mengakali tagihan listrik di apartemen yang mahal dengan cara tidur di laboratorium kampus sesering mungkin. Saya pura-pura sibuk mengerjakan penelitian di lab. Maklum, saat musim dingin, heater di kampus menyala secara otomatis sepanjang hari.

Masak dan bawa bekal makanan

Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia, tentu tak kalah penting untuk dianggarkan. Sebagai mahasiswa mendang-mending yang nggak disokong beasiswa, saya perlu menghemat pengeluaran selama di negeri orang. Maka waktu yang tepat untuk berbelanja bagi saya adalah menjelang toko grosir tutup. Saat itu akan ada banyak sale mulai dari sayur, ikan, hingga daging. Walaupun pilihan saya tetap berbelanja sayur dan telur, saat ada rezeki lebih, saya bisa membeli ikan diskonan.

Membawa bekal makan ke kampus adalah salah satu cara untuk berhemat. Tapi, saya punya cara yang lebih hemat lagi. Terkadang, saya membawa mi instan, telur, dan sayuran dari apartemen, lalu memasaknya di dapur kampus atau lab menggunakan panci dan teko listrik. Selain hemat karena nggak harus membeli makanan, cara ini bisa mengurangi biaya air dan listrik di apartemen saya.

Untungnya di kampus tempat saya menempuh studi setiap laboratoriumnya memiliki peralatan masak sederhana. Jika mendesak banget nggak bisa masak, saya biasanya membeli makanan yang tersedia di kantin kampus. Pilihannya ya nggak jauh-jauh dari onigiri.

Membeli baju hangat/jaket tebal di toko baju bekas

Coba tebak, berapa lapis kira-kira baju yang harus dipakai saat musim dingin tiba di Jepang? Bagi saya, jangankan musim dingin, musim gugur saja setidaknya saya harus memakai tiga lapis atasan dan dua lapis bawahan. Yang artinya, kebutuhan akan baju hangat dan jaket tebal sangat diperlukan mahasiswa yang menimba ilmu di Negeri Sakura. Ujung-ujungnya, ya saya harus keluar uang untuk membeli baju-baju hangat tersebut.

Suatu hari seorang teman mengajak saya jalan-jalan ke Distrik Kichijōji. Tempat ini menjadi salah satu sentra wisata cukup populer dengan pemandangan danau yang dipenuhi bunga sakura saat musim semi dan daun ginko serta maple saat musim gugur. Distrik ini dilengkapi dengan restoran, coffee shop, dan pertokoan dari mulai barang etnik sampai dengan merek ternama.

Teman saya yang mendapat beasiswa hampir 20 juta per bulan dengan santainya membeli baju, jaket tebal, dan boots musim dingin dengan harga yang wow. Saya yang waktu itu menjadi mahasiswa program doktor tanpa beasiswa satu-satunya se-kampus cuma bisa mesem-mesem. Tentu saya ikut senang melihat teman saya senang, tapi sebagai mahasiswa non-beasiswa, ya saya harus menahan diri untuk menghemat pengeluaran.

Untungnya ada secondhand shop, toko pakaian bekas yang menyediakan segala kebutuhan hidup kecuali makanan. Saya jadi bisa membeli kebutuhan pakaian dan sepatu musim dingin di Jepang dengan harga yang cukup terjangkau.

Kerja paruh waktu

Menyadari bahwa biaya hidup di Jepang sangatlah mahal, bekerja paruh waktu adalah suatu keharusan bagi mahasiswa non-beasiswa seperti saya. Banyak lowongan pekerjaan paruh waktu bagi mahasiswa di Jepang, mulai dari pelayan restoran, hotel, supermarket, cleaning service, customer service, dll.

Waktu itu, pekerjaan yang pas dengan waktu saya adalah menjadi cleaning service di sebuah pusat kebugaran. Pekerjaan ini bisa saya lakukan sebelum berangkat kuliah ke kampus. Saya harus berangkat dari rumah sekitar pukul 4.30 dan berjalan kaki sekitar 50 menit ke tempat kerja. Saya lalu mulai bekerja dari pukul 5.30 sampai 8.30 pagi dan kembali berjalan pulang.

Musim dingin adalah salah satu momen terberat untuk berangkat kerja bagi saya. Berjalan di pagi buta saat salju turun dengan lebatnya menjadi kombinasi antara syahdu dan pilu. Jalan yang harus saya lalui dari apartemen ke tempat kerja pun banyak tanjakan dan turunan. Seandainya saya punya sepeda pun nggak memungkinkan juga untuk dikendarai. Apalagi jika melewati salju yang mulai mengeras, jalanan jadi sangat licin.

Mencari hiburan di musim dingin

Meski perjalanan saya sebagai mahasiswa non-beasiswa di Jepang terkesan berat dan nelangsa, musim dingin di Negeri Sakura tetaplah menjadi musim yang menarik bagi saya. Menikmati minuman hangat sambil melihat salju turun dari jendela adalah surga kecil bagi saya untuk menghilangkan penat.

Saya merasa bersyukur masih bisa menikmati kopi atau teh kemasan murahan yang rasanya jadi lebih nikmat. Acap kali saya naik ke rooftop kampus sambil membawa secangkir kopi panas. Sebuah adegan yang biasanya hanya bisa saya nikmati dari drama luar negeri. Pemandangan gunung, pohon, dan rumah yang atapnya tertutup salju, hingga berswafoto sambil membuat boneka salju adalah hiburan yang murah meriah.

Maklum, bagi makhluk tropis, salju adalah barang baru. Sedingin apa pun cuaca di Jepang, tetap saja bawaannya pengin main salju. Walau setelahnya, tak jarang saya harus minum Tolak Angin dan menggosokkan minyak kayu putih banyak-banyak ke seluruh badan…

Penulis: Nurjanah
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 4 Perbedaan Kuliah S1 di Jepang dan Indonesia.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version