Purworejo: Kabupaten dengan Hari Jadi yang Labil dan Stasiun Kereta Mati Suri

Purworejo: Kabupaten dengan Hari Jadi yang Labil dan Stasiun Kereta Mati Suri

Purworejo: Kabupaten dengan Hari Jadi yang Labil dan Stasiun Kereta Mati Suri (Unsplash.com)

Kalau ada kabupaten di Indonesia yang hari jadinya labil, maka Purworejo adalah salah satunya. Sejak tahun 1994, diterapkan bahwa hari jadi kabupaten yang terletak di Jawa Tengah ini adalah 5 Oktober 901. Hal ini mengacu pada tanggal yang tertulis pada prasasti Kayu Arahiwang yang ditemukan di Dusun Sonotengah di Desa Borowetan, Kecamatan Banyuurip. Berdasarkan prasasti itulah lantas diterapkan bahwa hari jadi Purworejo adalah 5 Oktober 901.

Akan tetapi sejak dahulu, penetapan tanggal tersebut menuai pro kontra. Pasalnya, bupati pertama Purworejo sendiri baru memerintah pada 1831-1857.

Perubahan hari jadi Purworejo berdasarkan Babad Mataram dan Babad Kedung Kebo

Sampai pada akhirnya pada 2019 lalu, berdasarkan hasil riset, hari jadi kabupaten ini berubah menjadi 27 Februari 1831. Perubahan tersebut berdasarkan hasil riset dengan pendekatan etimologis, yakni sejak kapan kata Purworejo menjadi pernyataan resmi yang disampaikan publik.

Penyebutan Purworejo diucapkan pertama kali oleh KRT Tjakradjaja alias Raden Adipati Aryo Cokronegoro setelah diangkat menjadi tumenggung oleh Susuhunan Pakubuwono VI 1828. Berdasarkan catatan yang ada di Babad Mataram dan di dalam Babad Kedung Kebo, kata “Purworejo” pertama disampaikan oleh RAA Tjokronegoro pada tanggal 27 Februari tahun 1831. Nama ini digunakan sebagai pengganti nama wilayah Kadipaten Brangkelan yang dipimpin oleh RAA Tjokronegoro meliputi Tanggung, Brangkilen, Kedungkebu, Loano, Bragolan, Banyuurip.

Meski demikian, perubahan hari jadi itu tak lantas membuat klaim Purworejo sebagai salah satu daerah tertua luntur begitu saja. Pasalnya, penerapan hari jadi tersebut hanya merujuk pada sistem pemerintahan di sini. Fakta bahwa cikal bakal Purworejo, yakni Bagelen, sudah berdiri—bahkan berjaya—sejak era Mataram Hindu.

Baca halaman selanjutnya: Stasiun kereta apinya hidup segan, mati pun tak mau…

Stasiun kereta api yang hidup segan, mati pun tak mau

Tak hanya memiliki hari jadi yang labil, Kabupaten Purworejo juga memiliki stasiun kereta api yang sama-sama labil. Kabupaten ini memiliki stasiun kereta api yang didirikan pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada 1887.

Kenapa labil? Karena stasiun ini tidak berada di jalur utama rel kereta api, dan hanya berjarak 12 kilometer dari stasiun yang jauh lebih besar, yakni Stasiun kutoarjo. Artinya, Stasiun Purworejo tidak dilalui oleh kereta api utama.

Fungsinya hanya sebagai jalur kereta feeder. Warga yang ingin ke kota lain naik kereta harus naik kereta feeder dari Stasiun Purworejo menuju stasiun di Kutoarjo. Dari Stasiun Kutoarjo itulah mereka baru bisa berangkat ke kota tujuan.

Di masa lalu, saat alternatif transportasi masih belum banyak, Stasiun Purworejo memang menjadi primadona. Namun semakin lama, karena alternatif transportasi semakin banyak, Stasiun Purworejo mulai ditinggalkan.

Puncaknya, pada tahun 70-an, Stasiun Purworejo berhenti beroperasi. Pada tahun 90-an, stasiun ini sempat beroperasi kembali. Setelah mati suri cukup lama, ternyata antusiasme warga sangatlah besar. Stasiun kereta api tersebut begitu diminati sebagai alternatif perjalanan antarkota. Hanya saja antusiasme tersebut tak bertahan lama. Perlahan-lahan, stasiun kereta api ini kembali ditinggalkan dan kembali berhenti beroperasi pada 2010 lalu.

Industri kedai kopi yang setia bertahan di vibes 2016

Selain hari jadi dan stasiun kereta api yang labil, ada satu hal lain yang menarik perhatian saya, yakni industri kedai kopi di sana. Sebagai orang yang lahir dan besar di Purworejo, lantas merantau dan bertahan di Jogja, saya merasa pertumbuhan industri kedai kopi di Purworejo seolah berhenti di tahun 2016. Kalau ada coffee shop di luar sana yang memberikan tagline “mari berpura-pura seolah ini tahun 90-an”, maka di kedai kopi Purworejo yang terjadi adalah “mari berpura-pura seolah ini tahun 2016!”

Saat kota-kota lain di luar sana menghadapi gempuran industri coffee shop yang sangat megah, hal tersebut tidak berlaku di Purworejo. Entah karena tidak ada yang mau membangun coffee shop super megah di sini seperti di kota lain, atau karena pasarnya memang belum siap di sana. Saat ini, kedai kopi yang ada di Purworejo itu sangatlah sederhana, berada di tempat yang tidak terlalu mewah, dengan menu-menu yang standar, dan bahkan ada yang penyajiannya mirip kafe-kafe tahun 2016-an.

Meski demikian ini bukanlah hal buruk. Setiap kali saya pulang kampung ke Purworejo dan menyempatkan ngopi di kedai kopi milik seorang teman, saya justru bisa merasakan nostalgia kultur kopi beberapa tahun silam. Hal tersebut barangkali yang sulit saya temukan saat kembali ke Jogja, mengingat gempuran coffee shop fancy sudah menjamur di berbagai sudut.

Begitulah Purworejo dan beberapa sisi kelamnya yang tak diketahui banyak orang. Meski begitu, kabupaten ini tetap menawarkan kesederhanaan yang mungkin tak bisa dijumpai di daerah lain.

Penulis: Riyanto
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Suka Duka yang Saya Rasakan Selama Tinggal di Purworejo Bagian Selatan.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version