Purwokerto, Tempat Ternyaman untuk Merayakan Patah Hati

Purwokerto, Tempat Ternyaman untuk Merayakan Patah Hati

Purwokerto, Tempat Ternyaman untuk Merayakan Patah Hati (Pixabay.com)

Betul kata Pandji Pragiwaksono, Purwokerto itu tidak istimewa, tapi nyaman. Termasuk untuk urusan patah hati. Bagi seorang yang pernah menghuni Purwokerto selama lebih dari 4 tahun, saya bisa mengambil sebuah nyamannya Purwokerto untuk sebuah tempat merayakan patah hati.

 ***

Kembali untuk sebuah urusan ke Purwokerto, sebenarnya hal yang biasa saja. Namun untuk merasakan kembali menelusuri Jalan H. R. Boenyamin, hingga sekitar kampus Unsoed pada akhirnya membawa sebuah memori yang sebenarnya tidak patut untuk dirasakan kembali.

Melihat tenda kuning susu Superman, yang punya banyak varian rasa, dan aroma roti bakarnya yang menggelitik hidung. Ditambah lagi cara dia bercerita yang antusias, dan senyumnya yang sedikit menghangatkan malam. Ah, betapa pinggir jalanan Purwokerto pun dapat bercerita.

Lukisan Bioskop Rajawali yang menjadi ciri khas, pasti juga menarik kembali ingatan, di mana seorang perjaka yang mulai merasakan adanya kupu-kupu yang beterbangan di perut untuk mengajak si gadis menikmati film terbaru.

Sambil pulangnya bercerita di atas roda dua berdiskusi atas film yang telah ditonton dengan lagak seperti kritikus film yang tau bagaimana seharusnya cerita dalam film dirangkai.

Terus begitu beberapa waktu, dan setelah sekian lama berani menyatakan perasaan, karena dinasehati oleh Endah n Rhesa saat konsernya di lapangan Soemardjito agar rasa itu dinyatakan daripada hidup dalam penyesalan.

Ya, dan akhirnya jawaban datang, dan penolakan tanpa kejelasan, serta menghilang bersama mendung yang datang. Perayaan patah hati pun dimulai.

Sendiri menikmati getir hati di Purwokerto 

Saya sendiri menerjang dingin ke Bukit Tranggulasih, sambil menunggu matahari terbit, walau hati sedang sakit. Pulangnya mencari nasi tim depan patung kuda. Perut kenyang, tapi getir di hati tak kunjung hilang.

Hari berikutnya, saya pergi ke curug untuk membasuh otak agar senyumannya segera hilang. Ternyata air curug hanya bikin menggigil. Pindah-pindah curug pun tetap sama. Yang berbeda hanya jalan menuju curugnya yang punya bermacam rintangan.

Malamnya mencoba mencari makan di angkringan Stasiun Timur Purwokerto yang punya banyak rasa untuk membakar semangat perayaan patah hati. Dan saat itu entah kenapa angkringan pun jadi sangat enak.

Saya kemudian memutuskan untuk berjalan di alun-alun Purwokerto, meminum ronde yang saat itu murahnya minta ampun. Sambil melihat orang berlalu lalang, anak kecil berlarian dan pengamen yang suaranya fals malah jadi rusak suasana. Akhirnya pulang, dan kawan pun mengajak ke burjo, eh malah kopinya hambar, dan omelette si Aa tidak enak, soalnya dia bertanya tentang si gadis.

Yang istimewa hanya dia

Esoknya, entah kenapa, Jalan H. Madrani Purwokerto begitu gelap. Mendung bergelayut, sakit hati pun menyambut. Saya memilih untuk menaruh perih hati di kosan saja. Tapi sekuat apa pun perih hati saya tinggal, ia menggelayuti saya hingga mengenakan toga di Graha Widyatama.

Saatnya untuk kembali ke H. R. Boenyamin yang jalannya penuh sesak, lalu ditemani playlist salah satu radio Purwokerto yang memutar lagu galau yang menjadi pemicu perayaan patah hati masa lampau.

Sambil bersandar pada pintu mobil, nyamannya patah hati itu semua dapat terlampiaskan di Purwokerto. Lewat tempat yang disinggahi, orang-orangnya, bahkan rasa makanannya semua menjadi akumulasi tentang nyamannya Purwokerto.

Terima kasih Pandji Pragiwaksono yang kembali mengingatkan bahwa Purwokerto itu tidak istimewa. Sebab, yang istimewa hanya dia.

Penulis: Gabriel Bezaleel Matahari
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 5 Tempat Pacaran di Purwokerto kalau Sedang Bokek, Suasana Romantis dan Murah Meriah

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version