Purwokerto Hari Ini Menjadi Kabupaten Penghasil Pengamen dan Pengemis yang Bertebaran Nggak Keruan

Purwokerto Kabupaten Penghasil Pengamen dan Pengemis (Unsplash)

Purwokerto Kabupaten Penghasil Pengamen dan Pengemis (Unsplash)

Peningkatan jumlah mahasiswa mewarnai Purwokerto hari-hari ini. Hal ini tentu menjadi kabar baik. Pendidikan bisa menjadi landasan akan masa depan yang lebih cerah. Namun, di sisi lain ada sebuah kenyataan yang membuat saya prihatin. Keprihatinan yang saya maksud adalah meningkatnya jumlah pengamen dan pengemis.

Menurut saya, ini seperti menjadi beban moral bagi sebuah daerah. Yah, supaya yang mendapat harapan akan masa depan bukan mahasiswa saja. Namun, semua orang berhak maju dan hidup layak di Purwokerto. 

Realitas Purwokerto hari-hari ini

Saya ingin mengajak pembaca berjalan di sekitar area Grendeng. Area tersebut adalah lokasi bermukimnya banyak mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed). Di sana, Anda bisa melihat realitas Purwokerto sesungguhnya. Grendeng berisi ratusan rumah saling himpit dan gang-gang sempit mendominasi.

Di satu sisi, keberadaan universitas menjadi sebuah kabar gembira bagi investor. Banyak rumah makan mewah berdiri, kafe estetik bertebaran, penginapan kelas wahid menghiasi. Namun, di sisi lain, banyak masyarakat lokal tersisihkan.

Banyak di antara mereka hanya bisa menjadi buruh di kafe, rumah makan, dan penginapan milik investor luar. Mereka menjadi “budak” di rumah sendiri. 

Bagi warga lokal Purwokerto yang tidak memiliki modal akhirnya hanya bisa mengakses pekerjaan dengan upah rendah. Misalnya, mereka hanya bisa menjadi tukang parkir. Dan yang kini semakin sering saya lihat, banyak yang menjadi pengamen jalanan dan pengemis.

Realitas yang terpampang nyata menimbulkan sebuah pertanyaan. Sebenarnya apa gunanya kemajuan pendidikan jika masyarakat lokal semakin terpinggirkan?

Baca halaman selanjutnya: Pemerintah tidak boleh membiarkan fenomena ini terus terjadi.

Masyarakat urban berdatangan dengan harapan mengubah nasib

Selain mahasiswa, kaum pekerja juga berdatangan ke Purwokerto. Mereka berharap mendapatkan pekerjaan yang layak dengan gaji setimpal. Banyak di antara mereka akhirnya bekerja di restoran, hotel, dan pedagang kaki lima.

Para pekerja pendatang ini tidak bisa menghindar dari persaingan sengit di kota yang terkenal sebagai penghasil mendoan ini. Para pelaku UMKM harus bersaing dengan waralaba yang sudah memiliki nama. Bahkan, ada yang merasa buntu tatkala tak kunjung mendapat pekerjaan dan memutuskan untuk mengamen di beberapa tempat strategis.

Pengamen jalanan dan pengemis mewarnai lokasi strategi

Coba saja kalian duduk di sekitar area alun-alun barang satu jam saja. Area yang sering diromantisasi para mahasiswa itu juga menjadi “markas” para pengamen jalanan dan pengemis

Mereka sangat sigap menghampiri pengunjung dan saya salah satunya. Makanya, saya secara sengaja menyiapkan uang kecil untuk mereka. Meskipun sedikit, setidaknya saya bisa memberi. Ya, meski kata orang ngasih uang ke pengemis itu tidak tepat.

Apakah saya tidak nyaman dengan keberadaan mereka di Purwokerto? Sama sekali tidak. Justru timbul rasa simpati pada pengemis dan pengamen jalanan tersebut.

Rasa simpati ini karena mereka mau untuk mengesampingkan harga diri agar bisa bertahan hidup dan menghidupi keluarga tentu saja. Di satu sisi, ada rasa marah yang membuncah. Saya kok belum melihat ada solusi nyata dari pemerintah.

Saya melihat banyak bangunan bagus berdiri untuk “memanjakan” pelajar. Namun, warga kelas menengah ke bawah tidak mendapatkan kesempatan besar untuk mengubah nasib. 

Solusi yang muncul di kepala saya

Menurut saya, seharusnya, ada sinergi antara pemkab, universitas, dan masyarakat sendiri. Jumlah pengamen jalanan dan pengemis harus dikurangi, dan kalau bisa, hilang.

Misalnya, pemerintah melibatkan pengamen jalanan dan pengemis yang ternyata punya skill di proyek pemerintah di Purwokerto. Dengan begitu, mereka bisa mendapatkan gaji yang layak. 

Bukankah membuka lapangan pekerjaan adalah tugas pemerintah juga? Membiarkan jumlah pengamen jalanan dan pengemis terus naik bukan wujud kepedulian. Yah, begitulah solusi sederhana yang melintas di kepala saya.

Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Karangjambu, Daerah Padat Penduduk di Purwokerto yang Dipenuhi Masalah

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version