Punya Rumah Gede di Kampung Nggak Menjamin Strata Sosialnya Juga Tinggi

Punya Rumah Gede di Kampung Nggak Menjamin Strata Sosialnya Juga Tinggi terminal mojok.co

Punya Rumah Gede di Kampung Nggak Menjamin Strata Sosialnya Juga Tinggi terminal mojok.co

Di kota kalau punya rumah gede, sudah pasti auto kaya. Akan tetapi, hal itu nggak berlaku di kampung, seenggaknya di kampung saya. Bayangkan, rumah saya di kampung itu gedenya nggak main-main. Tahu kan rumah tipe 36? Nah, itu dikalikan enam memanjang ke belakang. Ya, segitu rumah saya. Itu belum termasuk halaman depan dan belakang, ya.

Tiap kali pulang kampung, berasa piknik saya. Dapurnya ada di paling ujung belakang. Di depan dapur ada area taman yang isinya pohon cabe, pohon singkong, bahkan pohon pepaya dan pisang juga ada. Di depannya lagi ada ruangan buat menaruh stok padi, kayu bakar, dan peralatan masak yang jarang dipakai.

Depannya lagi ada tiga kamar dan salah satunya kamar keramat. Itu loh, yang biasa buat naruh sesembahan buat leluhur. Jadi setiap kali emak masak, yang kudu nyobain pertama kali masakannya adalah para simbah yang sudah meninggal dan konon hobi ke kamar keramat itu. Nggak cuma keluarga saya, hampir semua keluarga di kampung saya kek gitu. Musyrik? Hash ben.

Di depannya lagi ada ruang nyantai yang ada TV, kursi, sama amben. Tau amben? Itu ranjang yang nggak ada kasurnya dan dikasih anyaman bambu, terus dilapisi tikar. Di samping kanan dan kiri ruangan itu ada enam kamar yang luasnya saya jamin bisa bikin nangis kos-kosan sempit kalian. Luas banget.

Di ruangan paling depan ada ruang tamu. Cuma los gitu aja kayak apartemen tipe studio. Hanya ada meja kursi dan satu amben aja. Satu hal yang wajib ada di rumah saya, dan di semua rumah kampung saya, setiap ruangan harus ada ambennya.

Amben ini sungguh fungsional, bisa buat naroh sesembahan, bisa buat tiduran, bisa buat naruh baju-baju sehabis nyuci, bisa buat naruh perkakas, bahkan bisa juga buat naruh amben lain kalau memang dibutuhkan. Makanya, haram hukumnya nggak punya amben kalau di kampung saya.

Di depannya, ada halaman depan. Di depannya lagi, ada jurang yang penuh pohon melinjo, salak, aren, dan sesuketan yang mbuh opo jenenge. Di samping rumah ada tebing yang penuh pohon singkong. Di samping rumah satunya, lagi-lagi ada jurang dan segala tumbuhan yang bikin saya sekeluarga nggak usah repot-repot belanja ke pasar. Duren? Ada. Pete? Banyak banget. Manggis? Ada. Mangga? Ada juga. Tinggal nunggu mereka berbuah dan dulu-duluan sama bajing buat makan. Ah, dasar bajing yang bajingan.

Dengan segala kemewahan rumah gede itu, apakah membuat keluarga saya menjadi kaya? Nggak juga. Urusan makan memang nggak perlu mikir. Tinggal ambil aja sayuran dari kebun. Seandainya saja kemerdekaan dan kemewahan hidup itu sebatas makan, maka kampung saya adalah yang paling merdeka dan bahagia.

Ah, tapi anak-anak kudu sekolah. Orang-orang harus bayar pajak. Kita kudu kepengin beli ini itu karena iklan di TV.  Jadinya ya hidup nggak sebatas makan dan minum dengan enak. Duit tetep harus datang, punya rumah gede atau segede-gede apa pun itu nggak bakal mendatangkan duit begitu saja.

Rumah itu sebatas tempat untuk tinggal dan memang sudah turun temurun dari mbah-mbah sebelumnya. Memangnya kalau rumah gede, bakal auto mendatangkan duit? Kan, nggak.

Mayoritas orang di kampung saya mengandalkan bertani gula Jawa sebagai sumber penghasilan. Tiap pagi dan sore, bapak-bapak kudu naik pohon kelapa buat ngambil nira kelapa. Lantas ibu-ibu bakal masak nira itu dan dicetak menjadi gula Jawa. Barulah seminggu sekali para ibu-ibu harus pergi ke pasar buat jualan. Nah ini, jarak antara kampung saya dengan pasar itu 23 kilometer, dan itu dilakukan mereka dengan jalan kaki.

Dulu belum ada kendaraan umum. Ibu-ibu bakal berangkat pukul lima pagi dengan penerangan daun pohon kelapa kering yang diunting dan dibakar. Jalan 23 kilometer membawa berkilo-kilo gula Jawa di punggung mereka. Ini, kaum feminis lucu-lucu, bakal melongo melihat perjuangan ibu-ibu di kampung saya. Jauh sebelum feminisme jadi ngehits, ibu-ibu di kampung saya sudah lebih dulu mempraktikkannya.

Terlepas dari feminisme, kekayaan di kampung saya itu diukur dari seberapa banyak pohon kelapa yang dimiliki. Semakin banyak pohon kelapa, berarti semakin banyak nira yang dipanen. Semakin banyak nira yang dipanen, semakin semangat ibu-ibu buat memasaknya. Semakin banyak pula gula Jawa yang dicetak. Semakin berat membawa itu gula Jawa ke pasar. Semakin banyak pula duit yang dibawa pulang.

Selain itu, semakin punya banyak pohon di kebun juga akan membuat orang itu semakin kaya. Semakin gede pohon, maka harganya bakal semakin mahal. Semakin banyak pohon gede, maka nilai kekayaannya juga semakin tinggi.

Keduanya memiliki persamaan, yaitu kekayaan dan strata sosial di kampung saya tidak diciptakan oleh generasi saat ini, melainkan generasi sebelum-sebelumnya. Mbah-mbah buyut bisa saja miskin karena nggak punya warisan pohon-pohon kelapa maupun pohon sengon, jati, atau yang lain. Akan tetapi, mereka menanam benih-benih baru di kebon mereka yang nggak ada apa-apanya. Mbah-mbah buyut mewariskan sesuatu yang masih belum bernilai, tetapi kelak di generasi berikutnya akan menjadi sumber kekayaan. Mbah-mbah buyut miskin, tetapi keturunannya bisa hidup nyaman.

Nah, sayangnya yang terjadi saat ini, generasi yang sudah menikmati hasil dari mbah-mbah buyut itu jarang ada yang mau menanam benih baru lagi. Kebanyakan hanya nebang sana nebang sini, dapet duit ratusan juta, buat beli ini itu, dan nggak meninggalkan apa-apa buat keturunannya nanti.

BACA JUGA 4 Cara Mudah Memiliki Rumah di Jogja dengan Gaji Mepet UMR dan tulisan Riyanto lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version