Kalau ngomongin soal pekerjaan, pengalaman saya memang nggak banyak. Namun, dari pengalaman yang nggak banyak itu, saya pernah menjalani yang namanya beban kerja lintas divisi. Bukan dalam lingkup perusahaan atau BUMN, sih, melainkan sebagai karyawan toko pakaian di sebuah pasar di Makassar.
Waktu itu saya baru lulus SMA, saya yang belum punya ijazah atau lebih tepatnya belum bisa dapat ijazah karena masih ada tunggakan pembayaran sekolah, dapat tawaran kerja di sebuah toko. Daripada pusing cari kerjaan lain, apalagi saya memang sedang butuh uang dan belum punya pengalaman kerja, maka tawaran itu pun saya terima.
Toko tempat saya bekerja mulai buka pukul 07.45 pagi. Jam tutupnya nggak tentu, tergantung lagi banyak pembeli atau nggak. Yang pasti, tutupnya setelah magrib atau matahari sudah tenggelam. Kecuali kalau bos ada keperluan yang sangat mendadak, baru deh toko ditutup lebih cepat. Bagi saya dan teman-teman yang kerja di sana, hal semacam itu terhitung sebagai keajaiban yang biasanya kami rayakan dengan makan bakso nggak jauh dari toko.
Awalnya, saya merasa sangat nyaman kerja di sana meskipun gajinya terbilang kecil dan susah dapat libur (liburnya cuma sekali setahun, yaitu pada saat menjelang Lebaran sampai beberapa hari setelah Lebaran. Sekitar semingguan lah liburnya), tetapi saya menyukai kerjaannya. Melayani pembeli dengan karakter yang beda-beda, belajar nawarin barang, ditambah lagi teman-teman yang sangat baik, semuanya bikin saya tetap bertahan meskipun tabungan saya sudah cukup untuk menebus ijazah saya dan bisa cari kerjaan lain.
Yang kemudian bikin saya nggak betah adalah ketika beban kerja saya mulai bertambah, dan bahkan bisa dibilang apa yang saya kerjakan sudah melenceng dari apa yang dijelaskan saat diterima dulu.
Awalnya saya cuma melayani pembeli di toko dan mengurus stok barang (setiap karyawan dikasih tanggung jawab untuk menangani beberapa merek. Jadi, setiap karyawan punya “rak kekuasaan” masing-masing), lama-lama malah jadi lebih banyak mengurus keperluan pribadinya bos.
Apa saja itu? Mari saya ceritakan.
Menemani anak bos
Jadi, bos saya itu ada banyak. Hampir sepuluh orang. Itu pun ada yang anaknya juga biasa datang ke toko.
Nah, suatu hari, salah satu bos saya itu mulai sering menyuruh saya untuk nemenin anaknya. Ada yang ditemenin ke sekolah dan di rumah, ada yang ditemenin beraktivitas setelah kuliah. Pokoknya nemenin anaknya, deh.
Untuk anak bos yang masih sekolah, dia masih kelas tiga SD dan punya hobi sekaligus bercita-cita pengen jadi model. Tentu saja perihal hobi dan cita-citanya bukan urusan saya. Masalahnya, setiap pulang sekolah, anak bos saya ini lebih suka belajar latihan berjalan ala-ala model ketimbang ikut les yang sudah diatur sama emaknya alias bos saya. Saya sering kasihan sama guru lesnya kalau sudah datang jauh-jauh, tapi malah dicuekin.
Terkadang, saya malah diajak sama anak bos saya itu untuk ikutan main model-modelan. Asli, deh, bikin nggak nyaman. Kaki saya yang biasanya pakai sandal, mana berani pakai sepatu hak tinggi? Punya bos pula. Kalau rusak gimana? Gaji saya yang nggak seberapa itu bisa makin ambyar kalau disuruh gantiin.
Biarpun di rumah saya juga punya adik yang seumuran sama anak bos saya itu, rasanya tetap saja beda. Adik sendiri mah kalau nggak mau nurut, ya bisa kita tahu cara menegurnya. Lha, kalau anaknya bos? Negurnya harus sebaik mungkin, kalau nggak, bisa habis saya. Nah, cara menemukan kalimat “sebaik mungkin” itu yang agak susah. Kadang, kalaupun saya merasa sudah ngomong baik-baik, namanya anak-anak bisa saja dia merasa dipaksa. Kalau sudah gitu, dia jadi ngambek atau nangis, lapor ke emaknya. Kena tegur lagi, deh, saya. Hadeh.
Lain lagi sama anaknya bos yang sudah gede. Setiap sore dia selalu minta ditemenin latihan bulu tangkis. Dia main, saya nontonin. Kita baru pulang kalau toko sudah mau tutup. Artinya, saya jadi nggak sempat ngerapiin rak—yang jadi “wilayah kekuasaan saya”—sebelum toko tutup. Kalau sudah begitu, bos pasti marah. Mana nggak terima alasan lagi. Salah lagi, kan, saya.
Bantu-bantu di rumah bos
Setiap kali ART bos saya pulang kampung, saya pasti ditugaskan di rumahnya. Kadang sendirian, kadang sama teman satu lagi. Ini pekerjaan yang bikin saya jadi mati gaya. Kalau semua pekerjaan (masak, nyuci pakaian, nyuci piring, nyetrika, ngepel, dan lain-lain) sudah selesai, jadinya bingung mau ngapain. Kalau sudah begitu, saya malah jadi gampang ngantuk, tapi ya nggak boleh tidur, dong. Saya, kan, rakyat biasa, bukan anggota dewan yang tidur pun tetap digaji.
Kalau di toko, kerjaan nggak ada habisnya dan itu bikin waktu jadi nggak terasa.
Selain itu, pada dasarnya saya ini nggak begitu suka sama yang namanya menyetrika pakaian. Kalaupun harus menyetrika, biar nggak bosan, saya biasanya nyetrika sambil dengerin musik. Tapi, bos saya nggak ngebolehin kayak gitu, takutnya saya jadi nggak fokus katanya.
Kalau tahu bakal mengerjakan dua hal di atas, mungkin saya akan menolak tawaran kerjanya sejak awal, atau kalaupun menerima, saya pasti sampaikan dulu apa yang jadi kelemahan dan kekurangan saya, terus saya tanya-tanya apa yang boleh dan nggak boleh. Jadi, saya juga bisa mempersiapkan diri. Nggak panik atau takut. Bukan karena gengsi atau menganggap rendah pekerjaan-pekerjaan itu, lho, ya. Nggak sama sekali. Namun, saya punya alasan tersendiri.
Pertama, karena saya tahu diri. Saya nggak punya stok kesabaran dan ketelatenan ekstra untuk mengurus anak orang lain. Nggak gampang, lho, mengurus anaknya orang lain. Apalagi kalau si anak terbilang sangat manja, beuh… Makanya setelah sempat ngurus anak bos saya itu, saya jadi makin kagum sama mereka-mereka yang kerjanya jadi pengasuh anak.
Kedua, karena saya memang nggak termasuk kategori perempuan yang jago mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Selain nggak suka menyetrika, saya juga nggak jago masak. Lalu, saya yang nggak jago masak ini tiba-tiba disuruh masak ini-itu/makanan yang saya sendiri nggak suka atau sangat jarang saya makan, apa nggak awkward? Saya, kan, bukan kontestan MasterChef, yang disuruh masak tiba-tiba pun mereka bisa-bisa saja.
Belum lagi kalau bos bilang masak saja apa yang selalu saya masak. Pas saya masakin kangkung tumis, kena protes. Soalnya kangkung tumisnya terlalu polos, nggak ada campuran udang atau apa gitu. Lah ya gimana, di rumah saya, kan, nggak selalu masak kangkung tumis campur udang, seringnya kangkung tumis polos.
Intinya, saya memang nggak siap dengan pekerjaan itu. Ya sudah, daripada bertahan lebih lama dan sama-sama nggak nyaman, mending saya memilih mundur. Resign jadi jalan terbaik. Cukup sudah merasakan pengalaman kerja yang nggak sesuai dengan job desc-nya.
Nggak apa-apa dibilang kurang bersyukur karena menyia-nyiakan pekerjaan. Namanya juga hidup. Kita sendiri yang jalanin, banyak orang yang pengin komentarin.
BACA JUGA Pengalaman Nggak Enak Saat Kerja Jadi Marbot Masjid dan tulisan Utamy Ningsih lainnya.