Sebagai orang Cirebon, saya malu ada pungli berkedok sedekah di Makam Sunan Gunung Jati.
Pungli rasanya sudah menjadi penyakit kronis di indonesia. Ia dibasmi hari ini dan akan muncul beberapa hari kemudian. Tak peduli berapa kali dibasmi, ia akan tumbuh kembali dengan subur.
Bentuknya pun macam-macam, ada yang berkedok sedekah, iuran keamanan, sampai acara pengajian dan pembangunan masjid. Saya curiga pelaku pungli ini semacam virus yang dapat berkembang biak dengan cepat, tak mengenal ancaman dan tak peduli risiko. Lebih canggih dari virus Corona.
Hal serupa juga terjadi di Makam Sunan Gunung Jati Cirebon. Masalah yang sudah lama berlarut-larut di tempat ziarah ini bahkan pernah disorot oleh Kang Dedi Mulyadi. Tapi nyatanya, hingga hari ini, persoalan itu tak pernah benar-benar tuntas.
Kini para pelaku pungli kembali dengan tampang tak berdosa, memaksa dengan embel-embel sedekah. Menarik baju peziarah yang lewat tak peduli laki-laki ataupun perempuan. Jelas ini tindakan yang perlu diberikan sanksi tegas. Karena sebagai warga asli Cirebon, saya ikut malu sekaligus kesal karena citra kota saya ikut tercoreng.
Pelaku pungli di Makam Sunan Gunung Jati Cirebon bukan pribumi
Rumah saya hanya berbeda kecamatan dengan kompleks Makam Sunan Gunung Jati. Sepuluh menit kalau naik motor, dua jam setengah kalau jalan kaki. Saya tak berbohong, karena saya pernah melakukannya, meskipun berakhir dengan dengkul lemes.
Dari hasil ngobrol dengan beberapa warga sekitar makam dan teman yang tinggal di desa tersebut, saya baru tahu kalau banyak pelaku pungli berkedok sedekah itu ternyata bukan warga pribumi. Beberapa bahkan berasal dari kota lain, seperti Indramayu.
Hal ini membuat saya bertanya-tanya. Kok bisa mereka melakukan pungli dengan bebas di tempat sakral seperti ini?
Pemerintah desa dan abdi dalem keraton tidak serius
Salah satu alasan utama menjamurnya pungli ini adalah tidak adanya tindakan tegas dari pemerintah daerah Cirebon dan abdi dalem keraton. Padahal mereka memliki kewenangan untuk menertibkan siapa pun yang membuat resah para peziarah.
Kalau niatnya benar-benar ingin meminta sedekah pembangunan, seharusnya cukup dengan meletakkan kotak amal di setiap sudut yang banyak dilalui peziarah. Bukan malah memaksa dan membuntuti setiap peziarah di Makam Sunan Gunung Jati sembari menarik baju dengan wajah suramnya itu.
Seorang pedagang setempat pernah bercerita pada saya kalau pelaku pungli terorganisir dalam satu paguyuban. Lebih mengejutkan lagi, paguyuban ini memberikan semacam setoran kepada pihak keraton dan aparatur desa. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi warga sekitar. Kalau begitu, wajar saja perilaku pungli ini masih subur sampai sekarang.
Sebagai warga lokal, saya pun tak lolos dari pungli
Beberapa kali saya dan teman saya pun pernah dibuntuti oleh orang-orang ini di Makam Sunan Gunung Jati. Mereka meminta sedekah, dan meski sudah menolak, mereka kekeuh sambil ngomong, “Cuma 2 ribu masa nggak ada sih, Mas?”
Mendengar itu, teman saya berbalik dan menjawab dengan nada tinggi, “Kalau gue nggak mau ngasih gimana? Lu mau apa?” tentunya dengan logat khas Cirebon. Mereka pun akhirnya pergi, dan tak mengekor lagi. Kadang memang harus sepeti itu. Tegas, supaya mereka jera dan tak membuat risih para pengunjung lagi.
Kalau orang Cirebon saja diperlakukan seperti itu, apalagi peziarah yang datang jauh dari luar provinsi dan membawa banyak rombongan. Tentu menjadi mangsa empuk bagi serigala berbulu domba ini.
Saya malu sebagai warga cirebon. Bukan cuma karena nama kota Cirebon jadi tercoreng, tapi juga cibiran di media sosial sering kali salah sasaran. Bahkan menyasar ke nama besar Sunan Gunung Jati itu sendiri.
Pernah juga, ketika saya pergi ke luar kota dan menyebut tempat tinggal saya yang dekat dengan Makam Sunan Gunung Jati, orang-orang langsung menanyakan soal pungli. Saya hanya bisa mengangguk, merasa malu, dan diam-diam merutuk
Tips bagi yang hendak berziarah ke Makam Sunan Gunung Jati Cirebon
Bagi yang ingin berziarah ke Makam Sunan Gunung Jati Cirebon, saya punya beberapa saran.
Pertama, hilangkan rasa iba. Saat itu, jangan mudah tergerak oleh belas kasihan, karena mereka yang melakukan pungli tak pantas diberi iba, lebih cocok dilempar ke kandang buaya.
Kedua, bersikaplah tegas. Mereka paham betul raut wajah orang yang bisa mereka peras. Jadi, tunjukkan wajah tegas, jangan ragu, dan jangan takut. Apalagi sampai memasang wajah linglung bangun tidur.
Ketiga, tebal kuping dan pura-pura budeg. Saat dibuntuti atau dihadang, abaikan saja seolah-olah tidak ada orang. Lama-lama mereka akan lelah sendiri dan beralih mencari korban lain.
Sebagai warga Cirebon, saya sangat berharap pungli berkedok sedekah ini segera diberantas total. Jangan sampai masyarakat enggan berziarah dan akhirnya memberi label buruk pada Makam Sunan Gunung Jati. Lebih parah lagi, jangan sampai Cirebon dikenal sebagai “kota pungli”. Itu jelas akan mencoreng warisan budaya dan sejarah luhur yang seharusnya kita jaga bersama.
Penulis: Muhamad Riski Syarifudin
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Kota Cirebon Cocok untuk Orang-orang Mager yang Ingin Berwisata.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
