Pulau Seram yang Tak Ada Seram-seramnya

Pulau Seram yang Tak Ada Seram-seramnya

Pulau Seram yang Tak Ada Seram-seramnya (wikimediacommons.org)

Pulau Seram. Iya, Seram. Saya pertama kali mendengar nama pulau ini ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Acara Jejak Petualang mengenalkan saya dengan pulau ini. Kalau tak salah ingat, Riyanni Djangkaru masih menjadi pemandu acara tersebut.

Bagi anak SD seperti saya, mendengar kata seram membuat rasa takut sekaligus penasaran saya bergejolak. Apa iya di sana tempatnya menyeramkan sehingga diberi nama Seram?

Pertanyaan tersebut membekas di benak saya. Pernah suatu hari saya membuka atlas untuk melihat letak Pulau Seram. Ternyata cukup jauh dari tempat tinggal saya di Blora.

Belum lagi, waktu itu di televisi sedang ramainya pemberitaan konflik berdarah di Ambon, yang juga merembet ke beberapa wilayah lain di Maluku termasuk Pulau Seram. Saya cukup tau dengan pemberitaan tersebut. Oke, memang di sana tempatnya menyeramkan. Namun, apakah demikian?

Singkat cerita, belasan tahun kemudian saya menjalani pengalaman hidup yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Saya menapakkan kaki di Pulau Seram. Sekali lagi, takdir mengharuskan saya harus mencari sesuap nasi di pulau ini. Di Masohi, Kabupaten Maluku Tengah tepatnya.

Jelas ini tak pernah saya pikirkan dan rencanakan sebelumnya. Berawal dari kekepoan saya terhadap nomenklatur Pulau Seram, kini justru saya ditakdirkan untuk mencari tahu sendiri jawaban atas pertanyaan saya tempo dulu.

Misi saya jelas, saya ingin mencari jawaban dari pertanyaan apakah pulau ini menyeramkan.

Kesan pertama kali datang, terasa tak berbeda dengan di Jawa, kecuali penggunaan bahasa. Orang Seram terkenal dengan nada bicara yang cepat dan lantang. Saya hanya melongo mendengar mereka berbicara saking cepatnya dengan kosa kata yang asing di telinga.

Untuk tingkat keramaian, di pulau ini bisa dikatakan hanya terpusat pada ibu kota kabupaten saja. Sebagai informasi, terdapat tiga kabupaten di Pulau Seram, yaitu Seram Bagian Barat, Maluku Tengah, dan Seram Bagian Timur.

Memang jika berada di ibu kota kabupaten, suasananya tak akan jauh berbeda dengan di Jawa. Namun, jangan harap memperoleh hal serupa jika telah pergi ke kecamatan yang letaknya jauh dari pusat kota.

Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, jumlah penduduk tiga kabupaten di Pulau Seram sebesar 773.459 jiwa. Sementara itu, daerah asal saya, Blora memiliki jumlah penduduk 884.333 jiwa. Dari data tersebut tergambar populasi manusia di pulau ini belum sepadat di Jawa.

Bahkan ukuran satu kabupaten di Jawa masih terlalu padat dibandingkan tiga kabupaten di Pulau Seram. Fakta di lapangan memang demikian.

Saya pernah melakukan perjalanan dari ibu kota kabupaten menuju kecamatan terjauh di Maluku Tengah. Jarak yang harus saya tempuh sejauh 240 kilometer. Padahal, dengan jarak yang sama, di Jawa saya sudah melewati sekitar lima kabupaten dari Blora menuju Pekalongan.

Meski terlihat sepi, namun tak perlu takut untuk berjalan sendiri di malam hari. Jangan membayangkan Maluku seperti 20 tahun silam. Bekas-bekas kerusuhan kini hanya tinggal cerita. Justru, masyarakat dari berbagai suku, agama, dan ras saling hidup berdampingan. Tidak menyeramkan sama sekali.

Ada satu kebiasaan unik yang dilakukan warga pulau ini. Misalnya ketika warga yang beragama Islam akan membangun masjid, warga yang beragama Nasrani akan turut gotong royong dalam hal tenaga maupun material. Demikian pula sebaliknya. Hampir tak ada protes pembangunan tempat ibadah.

Selain itu, keanekaragaman suku juga begitu nampak di Pulau Seram. Bahkan, sekitar tahun 60-an, pemerintah melakukan program transmigrasi bagi masyarakat Jawa untuk menempati wilayah di pulau ini. Mereka telah disediakan lahan untuk tempat tinggal dan bercocok tanam.

Tak heran, di daerah Kairatu, Seram Bagian Barat atau di Kobisonta, Maluku Tengah, kita dapat dengan mudah menemukan orang berbahasa Jawa. Hebatnya lagi, rata-rata mereka hidup berkecukupan.

Saya pernah berkesempatan melakukan wawancara dengan beberapa orang Jawa yang sudah menetap di Pulau Seram. Sudah bisa ditebak, jika ditanya apakah mereka ingin kembali ke Jawa, hampir semua menjawab tidak. Mereka sudah menyatu dan ingin meneruskan hidup di Pulau Seram.

Terakhir, yang membuat saya semakin yakin Pulau Seram tak seseram namanya ialah keindahan alamnya. Jika pernah mendengar Pantai Ora, lokasinya berada di Kecamatan Seram Utara Barat. Silakan cari sendiri di internet untuk melihat keindahannya.

Ternyata, pulau ini nggak seram sekali. Justru, keindahan lah yang saya temukan di sini. Tertarik untuk mengunjungi?

Penulis: Ulul Azmi Afrizal Rizqi
Editor: Rizky Prasetya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version