Pulau Merak, Hidden Gem di Banten Cocok untuk Healing

Pulau Merak, Hidden Gem di Banten Cocok untuk Healing Terminal Mojok

Pulau Merak, Hidden Gem di Banten Cocok untuk Healing (Dokumentasi Pribadi Masriah)

Pernah dengar nama Pulau Merak yang ada di Banten?

Pulau Banten terkenal dengan wisata pantainya yang indah dan mempesona. Tak heran, ini karena lokasinya yang berhadapan langsung dengan Laut Jawa, Selat Sunda, dan Samudra Hindia. Banten juga menjadi tempat yang dituju warga ibu kota dan sekitarnya karena merupakan salah satu provinsi yang dekat dengan DKI Jakarta.

Ada banyak pantai di Banten yang bisa kamu kunjungi untuk berlibur. Ada Pantai Anyer, Pantai Sawarna, Pantai Tanjung Lesung, dan pantai-pantai lainnya yang bisa kamu searching sendiri. Namun, tahukah kamu kalau Banten masih memiliki banyak keindahan yang tersembunyi yang belum terlalu diketahui orang? Salah satunya adalah Pulau Merak.

Apa yang terlintas di kepala kamu ketika mendengar “Pulau Merak”? Mungkinkah ini sebuah pulau yang didiami burung merak yang begitu banyak? Atau sebuah pulau yang dihiasi perdu menahun? Tidak keduanya, dinamakan pulau Merak karena lokasinya yang berdekatan dengan Pelabuhan Merak.

Fyi, saya menemukan Pulau Merak ketika mencari destinasi wisata di sekitar rute KRL Jabodetabek. Kedua pulau ini lokasinya memang cukup dekat dengan stasiun di ujung barat Pulau Jawa, yaitu Stasiun Merak. Nah, saya akan berbagi cerita perjalanan ke Pulau Merak Kecil yang saat itu tujuannya untuk membuang beban mental.

Akses untuk ke Pulau Merak cukup melelahkan, tapi seru bagi saya yang suka mengeksplorasi sebuah tempat baru. Hari itu dari Stasiun Kranji, Bekasi, saya berangkat pukul 06.28 WIB untuk transit di Stasiun Tanah Abang. Sesampainya di Stasiun Tanah Abang, saya naik kereta tujuan Rangkasbitung pada pukul 07.25 WIB. Di Stasiun Rangkasbitung saya harus tap out, dan masuk kembali dengan menunjukkan e-ticket KA Lokal Merak di aplikasi KAI. Harganya murah hanya 6 ribu untuk pulang-pergi (PP).

Saat itu, saya menaiki kereta dengan jadwal pemberangkatan pukul 09.55 WIB, dan tiba di Stasiun Merak pukul 11.53 WIB. Mengingat waktu salat zuhur yang sudah tiba, saya berhenti sejenak untuk isoma. Saya lalu melanjutkan perjalanan dengan angkot berwarna merah di depan Stasiun Merak. Tarifnya 5 ribu untuk menuju pantai Mabak yang berada tepat di belakang Polsek Pulomerak.

Keseruan pun dimulai. Untuk mencapai Pulau Merak saya harus menyeberangi lautan sepanjang 200 meter menggunakan perahu nelayan. Saya membayar 15 ribu per orang kepada penyedia jasa perahu. Katanya, bila angin dan ombak sedang tinggi mereka tidak berani membawa penumpang menyeberang. Siang itu, gelombang laut memang tidak bersahabat. Jadi, saya harus menunggu sekitar 20 menit.

Tibalah momen 10 menit yang sangat memacu adrenalin. Maklum saja, saya baru pertama kali naik perahu di tengah laut. Waktu yang relatif singkat ini hanya untuk menuju Pulau Merak Kecil. Lain lagi dengan waktu tempuh ke Pulau Merak Besar atau Pulau Sangiang. Meski singkat, saya benar-benar menikmati semilir angin yang menyapu wajah dan air laut yang berkenalan dengan tangan saya.

Akhirnya saya berlabuh di pulau berpasir putih. Saya memberikan uang 2 ribu sebagai biaya retribusi kebersihan. Tentu saja untuk masuk ke pulau ini tidak dipungut biaya apa pun, alias gratis. Lembaran dua ribuan saya pun digantikan menjadi stiker pulau Merak sebagai tanda selamat datang.

Seorang ibu menyambut sekaligus memaksa saya melangkahkan kaki ke warungnya. Saya memesan semangkuk Indomie rebus dan segelas teh manis. Sembari makan saya memperhatikan sekitar. Ternyata, semua pemilik warung di sana memang membagi pelanggan dengan adil. Konsepnya seperti tukang ojek yang antre mengambil penumpang. Nunggu giliran ya, Bestie.

Dengan rasa yang standar, pesanan saya dihargai 20 ribu. Duh, sebungkus Indomie rebus yang dimasak ditambah sawi saja dihargai 15 ribu. Tuman. Ya sudah saya cuma ngeluh dalam hati, tapi tetap bayar sesuai harga, kok. Setelah ambil kembalian saya langsung gas mengitari pulau ini.

Saya pun mulai menelusuri setiap sudut pulau ini. Saya akhirnya memilih duduk di salah satu spot yang menarik untuk selfie. Dengan background pasir putih dan air laut yang hijau kebiruan saya berharap mendapatkan foto yang bagus. Apalagi ditambah hamparan karang-karang kecil yang unik dan cantik. Sulit mendeskripsikan pemandangan yang memanjakan mata ini, mending kalian datang sendiri.

Hamparan pasir putih di Pulau Merak Banten (Dokumentasi Pribadi Masriah)

Pulau Merak Kecil memang lebih kecil dibanding Pulau Merak Besar. Luas tanahnya sekitar 4,6 hektare. Tenang, tidak pegel kok muter-muter di pulau ini. Kebanyakan pengunjung yang datang senang bermain pasir atau berenang. Mereka datang karena tertarik dengan air lautnya yang sangat bersih dan jernih. Sebagian pengunjung yang lain menghabiskan waktu untuk memancing, membakar ikan, dan kemping.

Belum puas, saya terus menyusuri pulau. Di ujung pulau, saya menemukan bebatuan besar yang berundak-undak. Bebatuan ini berwarna hitam kecokelatan, agak terjal, dan licin. Jiwa petualang saya menjadi terpacu. Menurut saya ini adalah spot yang pas untuk memandangi laut, mendengar deburan ombak, dan merasakan sinar mentari yang bersatu dengan angin laut. Spot ini yang paling sepi, mungkin karena sulit dicapainya.

Saya sempatkan diri mengikuti sebuah jalur yang ternyata membawa saya ke atas bukit kecil. Wah, ternyata ini spot kemping yang direkomendasikan seorang vlogger. Tanahnya lapang dan hanya diisi rumput-rumput yang kecoklatan disinari mentari. Saya merasa bebas berada di atas sana. Sayang sekali, saya baru ke sini setelah pukul 15.30 WIB. Mau tak mau saya harus pulang untuk mengejar jam keberangkatan kereta pukul 16.20 WIB.

Salah satu spot foto di Pulau Merak Banten (Dokumentasi Pribadi Masriah)

Sebelum pulang, saya mampir ke bilik toilet untuk pipis. Eh, tapi tidak ada gayung. Pikir saya, mungkin toilet ini hanya untuk ganti baju, mengingat banyak yang datang ke Pulau Merak untuk berenang tipis-tipis di laut.

Perjalanan ke Banten ini cukup berkesan, terutama ketika saya dan ibu lari supaya nggak ketinggalan kereta. Kami cuma punya waktu 10 menit lagi: angkot yang mendadak mogok, jarak pintu stasiun yang jauh jadi tantangan tersendiri. Hebatnya, kami bisa naik kereta sesuai rencana perjalanan. Itulah pentingnya semangat berusaha dan optimistis, kata ibu saya.

Tertarik berpetualang di Pulau Merak?

Penulis: Masriah
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Pantai Gopek, Mutiara yang Tersembunyi di Banten.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version