Kalau dirimu ingin belajar berpuasa atau ingin mengajari anakmu berpuasa, saya mohon jangan kenalkan dengan yang namanya puasa Asar. Sekali-kali jangan, kecuali nanti dirimu atau keturunanmu menjadi orang yang nanggung dalam hidup. Sulit sukses, gagal pun enggan.
Dulu, sewaktu saya masih SD, yang mana itu adalah pertama kali puasa diperintahkan orang tua, saya mengenal berbagai macam dalam berpuasa. Macam-macam puasa itu muncul praktis untuk membantu saya dan anak-anak seumuran saya untuk belajar. Sebab, sudah tentu kami tidak kuat kalau puasa full satu hari. Mustahil kalau langsung bisa, kecuali yang diberkahi Tuhan kekuatan. Tapi, sebagian besar pastilah belum bisa, iya kan?
Nah di kala itu saya mendengar beberapa macam puasa yang menarik-menarik. Yang paling umum pastilah puasa setengah hari atau bedug istilahnya di lingkungan saya. Puasa bedug pun dibagi menjadi dua, ada yang berbukanya hanya di waktu dhuhur saja lalu lanjut puasa. Jadi seperti mampir pit stop di event Formula One untuk isi bensin lalu lanjut balapan lagi. Dan yang kedua, ya sudah, kalau sudah berbuka ya lanjut tidak puasa di sisa harinya.
Ada juga macam puasa lain, tapi sejatinya tidak bisa disebut puasa sih. Lebih ke tindak kecurangan (cheating). Biasanya untuk menghindari kemarahan orang tua sih. Contohnya seperti puasa sapi di lingkungan saya. Singkatan dari kalau habis makan mulut dilap agar tidak ketahuan kalau sudah makan secara diam-diam. Biasanya sih dilakukan oleh anak-anak yang sedikit nakal banyak akal.
Terus ada lagi istilah lain seperti puasa gendang/kendang. Yakni istilah untuk yang berpuasa hanya di hari pertama dan terakhir di bulan puasa. Seperti kendang yang membrannya di atas dan bawah, tengahnya bolong.
Ada juga istilah puasa susu, yang artinya kalau makan kesusu (terburu-buru) atau puasa jangkrik kalau makan ndelik (sembunyi) biar tidak ketahuan bapak ibu. Itulah beberapa istilah puasa yang pernah saya dengar di lingkar pertemanan saya waktu SD tersebut. Ada juga yang tidak berpuasa, ya maklum, namanya juga anak-anak hehe.
Sampai pada suatu momen, saya waktu itu bareng-bareng pergi ke rumah teman pasca berbuka di siang harinya. Iya saya dan teman-teman menganut puasa bedug pit stop F1 tadi, batasnya biasanya jam setengah satu atau sehabis bapak-bapak selesai solat di masjid.
Kami di sana bermain PS sampai waktu Asar, karena sehabisnya kami harus pergi ke TPA untuk sok-sokan ngabuburit dan biar dikasih takjil aja. Nah, pada saat sudah masuk waktu Asar dan azan berkumandang, teman saya yang punya rumah, tiba-tiba makan di depan kami. Sontak kami kaget, loh kok baru Asar sudah makan aja.
Dia dengan santainya bilang kalau dirinya puasa Asar. Jadi berbukanya kalau sudah waktu Asar dan nanti dilanjut lagi puasanya. Seperti pit stop di waktu bedug tapi waktunya sore hari saja. Kala itu saya dan teman-teman yang lain dengan lugunya menyebut dirinya keren dan kuat. Bagaimana tidak, puasanya lebih lama dari kami yang sudah makan di jam dua belas. Dia baru buka di sore jam tiga.
Tapi, setelah saya beranjak dewasa dan kalau dipikir-pikir lagi, apalagi dengan konsep ala-ala filsafat, puasa Asar itu bukanlah keren, melainkan malah cenderung nanggung dan berpotensi memunculkan sifat pengecut. Menurut pandangan saya sih begitu, kenapa?
Yang pertama, kita sama-sama tahu kalau di negara kita puasanya itu cepat. Hanya sebelas dua belas jam lah. Dan maghrib biasanya sekitaran jam enam atau setengah enam. Itu kalau dibandingkan dengan waktu Asar yang mana jatuh pada jam tiga sore hanya berjarak tiga jam saja. Bro. Nanggung kan ya.
Kedua, kenapa saya bilang pengecut. Gini, pernah liat meme yang menggambarkan orang lagi nyari berlian nggak di dalam tanah. Yang satu berhasil dan yang satunya udah mau sampai, eh malah puter balik. Padahal kenyataannya berlian besar hampir terpampang di batang hidungnya kalau dia mau lanjutkan.
Sama seperti puasa Asar, sudah hampir dikit lagi senja yang indie datang dan matahari akan tenggelam lalu azan Maghrib berkumandang, eh udah berhenti aja. Apa itu kalau bukan namanya pengecut dan gampang nyerah.
Padahal ya, kalau sudah kadung tidak kuat atau perut sudah meronta-ronta dan bunyi mengkrucuk sudah berkumandang dari perut, kan tinggal rebahan saja, merem tidur udah. Bangun-bangun insyaallah kelewat subuh sudah maghrib.
Atau kalau kamu tidak mau tidur, ya tinggal pergi main atau menonton tivi atau film atau anime atau apalah itu yang bikin enjoy dan lupa waktu. Maka tanpa kamu sadari tiga jam itu seperti tiga menit dalam hidupmu.
Lah bukannya puasa bedug juga sama aja ya, kan juga batal. Mana lebih jauh lagi dari maghrib.
Ya beda dong, hyung. Ini ya saya kasih tahu, jarak dari dzuhur ke maghrib itu lumayan jauh, sekitar lima-enam jam. Itu ibarat kalau lagi menggali tanah buat cari berlian, berbuka di waktu bedug sama saja dengan rolasannya tukang. Buat istirahat abis itu lanjut lagi menggali.
Loh kan puasa Asar juga begitu, malah menggalinya dah lebih lama malahan.
Iya bener lebih lama, tapi kan nanggung gitu loh, hyung, eman-eman. Daripada menggugurkan pahala puasa sehari full di waktu yang salah nanggung, bukankah lebih baik menuntaskannya sekaligus. Seperti rindu, puasa harus dibalas tuntas, bukan? Kalau nanggung gitu gimana membalas tuntasnya, kan emosionalnya gak akan semantap saat puasa full. Kurang nendang, medioker dan so-so.
Jadi pembaca yang budiman, seperti yang saya ungkapkan di awal. Sekali lagi saya sarankan. Sebaiknya, jangan pernah mengamalkan amalan yang satu ini dan jangan kenalkan ke generasi selanjutnya. Biarkan musnah dan mati dimakan zaman. Eman-eman kalau budaya ini dilanjutkan. Bisa-bisa melahirkan generasi yang nanggung nan pengecut lagi. Jangan salah loh, efek psikis kek gini bisa jadi faktor juga, jangan sekali-kali diremehkan.
Lagian nih ya dalil puasa Asar itu sepengetahuan saya tidak ada. Kalau puasa bedug itu malah ada. Nah kan, Rasul saja sudah mewanti-wanti begitu kok. Mau kamu menentang Rasulullah? Werwerwer. Selamat menjalankan ibadah puasa, hehehe.
*Takjilan Terminal adalah segmen khusus yang mengulas serba-serbi Ramadan dan dibagikan dalam edisi khusus bulan Ramadan 2021.
BACA JUGA Merasakan Ramadan yang Sama dari Tahun ke Tahun karena Lagu-lagu Ini dan tulisan Kevin Winanda Eka Putra lainnya.