Proyek Betonisasi Sungai, Proyek Penuh Mudarat yang Disengaja

Proyek Betonisasi Sungai, Proyek Penuh Mudarat yang Disengaja

Proyek Betonisasi Sungai, Proyek Penuh Mudarat yang Disengaja (Pixabay.com)

Proyek betonisasi sungai nyatanya tak memberi dampak positif. Lalu, kenapa masih diterusin?

Untuk kesekian kalinya, Kali Beringin yang ada di Semarang kembali berulah membanjiri Kota Semarang bagian Barat. Penyebabnya adalah jebolnya tanggul yang nggak mampu menahan tingginya volume air akibat curah hujan yang terus mengguyur Kota Semarang beberapa waktu belakangan ini. Ditambah dengan kondisi sungai yang kian dangkal membuat arus air dari hulu meluncur dengan tekanan tinggi sehingga membuat tanggul sudah nggak kuat lagi bertahan.

Tentu Kali beringin ini sudah beberapa kali membawa mimpi buruk bagi warga kawasan Semarang Barat. Ini diperparah dengan minimnya resapan air karena kawasan tersebut merupakan kawasan industrial dengan permukaan daratan yang kian terkikis oleh laut. Kalau sudah banjir, ditambah gelombang lautnya pas naik, ya udah kawasan itu sudah seperti Water Seven di anime One Piece.

Biang keladi dari peristiwa jebolnya tanggul Kali Beringin ini sebenarnya adalah proyek normalisasi yang menepikan aspek lingkungan. Proyek ini sudah dimulai sejak 2003 dengan rencana anggaran yang terus disesuaikan. Terbaru, dana yang digelontorkan sekitar 82 miliar dengan sasaran normalisasi wilayah sungai sepanjang 18,2 hektar. Lah kok bisa jadi biang keladi sih?

Sebelumnya kita coba bedah terlebih dahulu mengenai dua metode preventif yang sering digunakan untuk mencegah banjir yang diakibatkan oleh meluapnya sebuah sungai.

Pertama adalah metode naturalisasi sungai. Metode ini dilakukan melalui pemulihan fungsi sungai dengan cara alami, salah satunya dengan menghijaukan kembali pinggiran sungai dengan sisi sungai yang dimiringkan. Bagian bawahnya ditutup susunan batu kali yang diikat kawat. Penanaman pohon-pohon berakar kokoh seperti bakau, loa, dan sejenisnya sangat penting dalam metode ini. Proses penghijauan ini bertujuan agar air di permukaan dapat terserap ke dalam tanah sehingga tidak terjadi luapan.

Kalau kalian pencinta film atau anime Jepang, potret sungai yang ada di sana kebanyakan menggunakan metode normalisasi ini. Di setiap pinggir sungai terdapat pohon-pohon rimbun, biasanya pohon sakura. Namun proses ini memang butuh komitmen kuat dan kesabaran dari masyarakat. Prosesnya cukup lama untuk membentuk sebuah ekosistem sungai yang ternaturalisasi dengan baik.

Kedua adalah metode preventif banjir dengan normalisasi sungai. Kata normalisasi di sini bermakna untuk menormalkan fungsi sungai sebagai jalur distribusi air ke laut. Kata lainnya disebut metode betonisasi. Hal ini karena metode normalisasi mengharuskan proses betonisasi di sisi sungai. Sebelum dibeton, sungai biasanya dikeruk dan diperlebar agar volume dan kapasitas arus air sungai yang ditampung lebih banyak dan mengalir dengan ideal. Tujuan dari metode ini adalah merapikan bentuk sungai dan memperlebar kembali badan sungai.

Ini seperti mengurung air ke dalam satu jalur sungai agar tidak luber ke mana-mana. Normalisasi juga dipandang sebagai cara efektif untuk lebih cepat meneruskan air ke lautan. Tapi apakah benar sefektif itu? Atau malah justru lebih banyak mudaratnya?

Baca halaman selanjutnya

Bencana yang dibuat sendiri

Beberapa proyek betonisasi sungai di daerah lainnya banyak yang menunjukkan sebaliknya. Kita ambil contoh Kali Ciliwung. Proyek betonisasi di Kali ini menjadi biang keladi dari bertambahnya tingkat keparahan banjir yang melanda Jakarta pada 2020. Minimnya resapan air di sisi sungai membuat air malah justru meluap keluar sungai ketika debit air di dalamnya sudah lebih tinggi dari pinggiran sungai. Hal ini terjadi karena logika normalisasi itu seperti membebankan sungai sebagai penampung satu-satunya air dari permukaan.

Persis seperti selokan kecil di belakang rumahmu yang tujuannya sebagai pembuangan air kotor. Kalau airnya penuh, ya meluber ke sisi sampingnya, dan ujung-ujungnya banjir juga. Berbeda ketika di pinggiran sungai diberikan area resapan ( nggak full dibeton), air bisa masukan ke dalam tanah sehingga tugas sungai jadi sedikit berkurang.

Lihat contoh bagaimana Jepang memberikan ruang resapan di pinggir sungainya. Cara mereka untuk meminimalisir agar pinggiran sungai tetap kokoh, tapi tetap memiliki fungsi resapan adalah dengan menanam pohon berakar kuat dan menyempitkan batu-batu sungai di dinding sungai agar tidak mudah longsor atau amblas.

Ironisnya, kegagalan betonisasi Ciliwung justru hendak direplikasi di 13 sungai lain yang bermuara di Teluk Jakarta.

Potret miris dari proyek betonisasi ini juga bisa kalian lihat dari sungai di sepanjang jalur pantura antara Semarang dan Demak. Itu jadi proyek betonisasi paling gagal dan kumuh yang harusnya jadi pelajaran bagi pemerintah. Sungai itu terlihat lebar, tapi dangkal dengan pemandangan yang bikin ngeri ketika hujan lebat melanda selama beberapa hari. Dilihat dari berbagai kasus empiris selama ini, betonisasi sungai justru hanya akan membuat aliran dan pendangkalan sungai jadi lebih cepat.

Selain itu, proyek betonisasi sungai ini juga punya dampak ekologis yang nggak main-main. Ekosistem pinggiran sungai yang diisi oleh berbagai hewan dan tumbuhan pun hilang. Hewan-hewan macam kodok, ular, dan biawak dll pun nggak punya tempat tinggal. Maka nggak jarang mereka bisa saja mengungsi ke pemukiman warga karena ekosistem mereka direnggut. Terlebih ketika hewan di rantai predator itu nggak ada, bangsa nyamuk jadi makin merajalela sehingga bisa berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat.

Lalu, kalau mudaratnya lebih banyak, kenapa masih diteruskan hingga saat ini?

Saya menduga, ini hanya akal-akalan agar ada proyek berdana besar yang dapat digarap. Karena proyek normalisasi ini nominal kontraknya bisa ratusan miliar. Lah wong yang dibangun ini beton. Jelas butuh banyak dana. Berbeda dengan metode naturalisasi yang lebih minim biaya, nggak ada yang bisa nyari celah untuk tambahan kan?

Proyek betonisasi sungai memang terkesan jadi solusi cepat dan terlihat efektif. Tapi, realitas benar-benar jauh dari ekspektasi. Dan entah kenapa, masih terus saja diberlakukan, seolah-olah nalar ditolak demi cairnya cuan.

Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Revitalisasi Monas Tanpa Izin ala Anies Baswedan Memang Beautiful

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version