Pramuka semakin nggak relevan bagi pelajar di Surabaya.
Menteri Pendidikan RI, Nadiem Makarim, baru saja meneken kebijakan baru tentang ekstrakurikuler Pramuka. Kegiatan ini tidak lagi menjadi ekstrakurikuler wajib di sekolah. Saat pertama kali mendengar berita ini, saya otomatis nyeletuk, “Wah, kok nggak dari dulu aja ya?”
Paksaan dan teguran dari kakak pembina tentang konsekuensi bolos Pramuka masih terngiang-ngiang jelas di kepala saya. Selama sekolah, motivasi saya ikut Pramuka hanya supaya terhindar dari tinggal kelas. Bukan benar-benar ingin mengikuti kegiatannya. Motivasi yang salah memang.
Masih ingat sekali, Saya sangat kesal ketika tiap Sabtu harus tetap berangkat sekolah hanya untuk Pramuka. Lebih kesalnya lagi, anak-anak sekolah yang hadir bahkan nggak sampai setengahnya. Makin gondok waktu tahu yang tidak ikut pun buktinya masih naik kelas. Aih, lugu sekali saya waktu itu ya.
Di antara debat soal pramuka yang berlangsung sengit, sudah jelas saya termasuk dalam golongan yang mendukung kegiatan ini nggak jadi ekstrakurikuler wajib atau malah dibubarkan saja. Berkaca dari pengalaman saya ikut pramuka selama sekolah di Surabaya, banyak sekali ajaran dan kegiatan-kegiatan Pramuka yang mengundang tanya.
Tujuan pramuka yang nggak jelas
Saya yakin setiap siswa sekolah pernah ikut pramuka, setidaknya sekali seumur hidup. Tapi, coba tanya, berapa banyak dari mereka yang paham dengan tujuannya. Saya yakin hanya segelintir saja.
Mengutip website resminya, pramuka.or.id, kegiatan ini bertujuan membentuk peserta didiknya memiliki nilai-nilai luhur, spiritualitas yang baik, dan cinta dengan tanah air. Gampangnya, pramuka menawarkan para pesertanya kegiatan-kegiatan positif. Tujuannya baik sih, tapi kalau dibandingin sama ekstrakurikuler lain, tujuan mereka tuh agak abstrak dan nggak jelas output-nya ke mana.
Ambil contoh ekstrakurikuler berbasis agama di sekolah saya yaitu SKI (Sie Kerohanian Islam). Semua anggotanya pasti paham kalau tujuan dari kegiatannya ya berdakwah, menyiarkan ajaran islam. Di sekolah saya dulu juga ada ekstrakurikuler Beatbox dan Stand Up Comedy. Ujungnya juga sudah jelas, semua yang gabung pasti pingin jadi beatboxer atau komika. Buat siswa wibu akut pun difasilitasi lewat ekskul budaya dan bahasa Jepang. Sementara Pramuka apa coba?
Citra yang terlanjur buruk
Ketidakjelasan tujuan diperparah dengan branding Pramuka di mata pelajar Surabaya yang dianggap gitu-gitu aja. Apabila diminta menjelaskan, kebanyakan orang pasti hanya mengingat ekstarkurikuler seputar pecinta alam, kemah, dan tali-temali. Nggak kaget sih, kegiatannya memang gitu-gitu aja setiap minggu. Bagaimana anggotanya tidak bosan coba?
Sebenarnya nggak salah juga kalau kegiatan-kegiatan Pramuka isinya begitu-begitu saja. Masalahnya ini Surabaya cuy, kondisi ruang hidupnya sudah penuh gedung dan mulai sesak penduduk. Jangankan nyari tempat kemping, belajar tali-temali aja rasanya nggak guna-guna amat.
Akan tetapi, bagi segelintir orang yang rutin naik gunung seperti saya, pelajaran di Pramuka masih ada sedikit yang nyantol. Selebihnya, memang nggak nyambung sih sama kebutuhan hidup sehari-hari.
Baca halaman selanjutnya: Pramuka yang …