Sebelumnya, izinkan saya menyampaikan duka cita mendalam untuk saudara kita di kaki Gunung Semeru. Erupsi besar yang menelan korban jiwa dan material ini benar-benar menusuk hati. Namun, mungkin ada beberapa orang yang tidak tertusuk hatinya, bahkan cenderung aji mumpung. Memanfaatkan bencana sebagai cara untuk mempromosikan diri dan kelompok mereka.
Yak benar, mereka adalah manusia yang muncul di poster sampai baliho ucapan bela sungkawa pada bencana Semeru. Ketika air mata rakyat berjatuhan menahan duka dan perih, mereka malah sibuk menyebarkan wajah dengan latar belakang wedhus gembel Semeru.
Beberapa poster duka untuk bencana alam ini terlihat begitu menyedihkan, bahkan tanpa bicara perkara desain yang template banget. Senyum para politikus dan tokoh masyarakat aji mumpung ini bersanding dengan bencana yang merenggut banyak nyawa. Entah karena hatinya beku atau tidak punya stok foto yang relevan.
Poster digital mereka langsung disambar oleh warganet. Dari sekadar mengolok-olok, sampai memodifikasi poster duka itu sebagai bahan lelucon. Pokoknya, poster duka bencana alam itu benar-benar tidak ada harga diri lagi.
Memajang wajah di poster duka cita untuk sebuah bencana alam tidak pernah jadi ide yang tepat. Entah dulu ketika media sosial belum gencar, sampai era post truth hari ini. Tidak hanya perkara jadi bahan olok-olok, tapi memang tidak memberi dampak positif bagi citra mereka.
Pertama, adalah perkara fokus pemirsa. Ketika melihat kabar tentang bencana, secara naluriah manusia akan masuk dalam fase takut dan khawatir. Kemudian muncul simpati terhadap korban. Maka wajar kita sering mendengar lagu Ebiet G Ade diputar mengiringi rekaman lokasi bencana. Karena memang suasananya pas dengan lagu Om Ebiet yang menyayat perasaan.
Orang tidak ada yang berpikir politis ketika bencana. Tidak ada individu yang memikirkan calon legislatif saat duka cita. Lalu tujuan memajang foto para tokoh di poster duka cita untuk apa? Apalagi sambil tersenyum mengacungkan jempol. Terlihat peduli kagak, cringe iya.
Kasusnya mirip dengan mobil jenazah partai yang berbalut stiker wajah kader penuh senyuman optimis. Tapi masih mending, mobil jenazah sangat dibutuhkan apalagi saat pandemi. Lha ini poster untuk apa selain menambah sampah. Paling banter juga jadi peneduh warung kaki lima atau pemukiman kumuh di bantaran kali.
Kedua, mari kita lihat tanggapan masyarakat. Apakah poster macam ini memberi dampak positif bagi citra tokoh? Ya lihat saja, buktinya mereka menjadi bahan olok-olok yang kolektif dan organik dari akar rumput. Tidak pernah ada bukti bahwa memajang wajah tersenyum di poster duka cita meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Apalagi bicara masyarakat di masa post truth. Memang, daya tarik emosional lebih berpengaruh membangun opini publik daripada dengan fakta. Namun, bukan berarti setiap ada fenomena yang menyentuh sisi emosional bisa menjadi poster. Justru karena emosional masyarakat yang berkuasa, penyampaian dan penggiringan opini perlu benar-benar menyentuh.
Justru korporasi macam MS Glow lebih jago bermain di sisi emosional masyarakat. Meskipun kita merasa model marketing berbasis emosi tidak etis, tapi terbukti berhasil. Banyak juga influencer yang memakai emosi sebagai alat promosi yang efektif, meskipun sekali lagi, tidak etis dan memuakkan.
Lha ini sudah tidak etis, tidak tepat sasaran, malah jadi lelucon. Padahal, biaya yang dikeluarkan juga tidak kecil. Apalagi jika sampai memasang baliho di pusat keramaian. Minimal kalau niat melanggar moral dan nurani, bermainlah dengan cerdas.
Mungkin kita tidak akan beranjak dari kegoblokan yang mengakar ini. Tapi saya pikir kita bisa bersepakat pada satu hal. Ungkapan duka cita pada Semeru harus bersih dari wajah politikus dan tokoh yang senyam-senyum tanpa beban itu. Biarkan kita merenung dan berdoa tanpa harus melihat wajah-wajah mereka yang menjadi umpatan dalam duka cita.
Sumber Gambar: Unsplash