Nihilnya Posisi Ideal Mesin Tap JakLingko Justru Melestarikan Budaya Tolong Menolong Warga Jakarta

Nihilnya Posisi Ideal Mesin Tap JakLingko Justru Melestarikan Budaya Tolong Menolong Warga Jakarta

Nihilnya Posisi Ideal Mesin Tap JakLingko Justru Melestarikan Budaya Tolong Menolong Warga Jakarta (Alex Neman via Wikimedia Commons)

Empat bocah lelaki melompat masuk JakLingko jurusan Kramat Jati-Bambu Apus. Mereka siap sedia dengan kartu masing-masing untuk “membayar” ongkos JakLingko yang masih gratis ini. Kemudian mereka kumpulkan semua kartu itu ke satu bocah yang duduknya paling dekat dengan mesin tap. 

Dua di antara mereka punya kartu dengan desain yang sama persis. Kartu default keluaran bank gitu lho. Maka diwanti-wanti lah si bocah yang ditugaskan ngetap itu agar hati-hati, jangan sampai tertukar. Tapi namanya juga bocah ya, saat mengembalikan kartu ke teman-temannya, tetap aja rancu kartu mana yang punya siapa.

“Nanti cek yak. Yang isinya banyak punya gua pokoknya,” ujar salah satu bocah korban kartu tertukar.

Memang pasti di JakLingko akan selalu rawan kejadian seperti itu soalnya posisi mesin tap kendaraan ini nggak bisa dijangkau sama sebagian besar penumpang. Jadi prosesi titip menitip ngetap ini harus terus dilakoni. Bahkan antara strangers. Dan ini mungkin dapat menjadi pelestari budaya tolong-menolong di antara warga Ibu Kota yang konon katanya, sudah mulai langka dilakukan, tergerus budaya metropolitan yang kejam.

Selayang pandang layout JakLingko

Sebetulnya, JakLingko adalah nama untuk jaringan transum Jakarta. Termasuk di dalamnya Tije, LRT, MRT, serta Mikrotrans. Nah, yang mau aku bahas di sini adalah Mikrotrans, anggotanya yang paling kecil (ya, namanya aja mikro). Tapi entah kenapa, sebutan JakLingko sudah lebih melekat sama moda ini.

Website C40 menyebutnya “microbus” tapi akamsi menyebutnya angkot. Yap, intinya sesimpel itu. Mikrotrans adalah angkot yang oleh Pemda DKI diadopsi menjadi transum resmi Jakarta. Karena tergabung dalam jaringan JakLingko, maka bayarnya nggak pakai cash lagi, melainkan pakai kartu. Tinggal tap aja ke mesin, sama seperti Tije. 

Cuma bedanya, kamu nggak bisa nunggu selesai ngetap baru duduk, nih. Secara, yang bisa berdiri tegak di dalam Mikrotrans tuh cuma balita. Orang dewasa kalau masuk, mesti langsung ambil posisi di kursi yang memanjang hingga ke belakang mobil. Lalu baru ngetap.

Mesin tap ini letaknya persis di depan pintu. Jadi kebayang dong, kalau mesin ini hanya bisa dijangkau sama dua orang yang duduk paling depan. Bagi yang kebagian di tengah apalagi belakang, mesti selalu siap pasang muka dan nada ramah untuk minta tolong ngetap. 

Tapi memang nggak ada posisi ideal untuk meletakkan mesin tap ini sih

Kali ini, pemerintah nggak bisa disalahin atas keanehan dalam layanan mereka. Aku yakin mereka pasti udah putar otak semaksimal mungkin dan opsi terbaik yang ada memang telah diterapkan. Aku sendiri sempat mencoba mengira-ngira, membayangkan di mana posisi ideal mesin tap JakLingko seharusnya. Dan hasilnya adalah beneran nihil. Tampaknya, desain interior angkot memang nggak menunjang skema pembayaran modern macam ini. 

Misalkan dipindah ke belakang, maka yang duduk di depan yang malah perlu minta tolong. Posisi ini juga tambah merugikan penumpang, terutama bagi orang-orang yang gampang eneg. Ditaro di salah satu sisi badan kendaraan pun masih nggak bisa diraih sama semua orang. Dipindah ke samping supir, sehingga sistem bayarnya adalah nyerahin kartu ke supir, justru tambah ribet. Di tengah langit-langit? Boleh dicoba, tapi terlalu aneh nggak sih?

Hikmah dari ketidakidealan ini

Inget pantun closingan OVJ? Bunyinya gini, “di sana gunung di sini gunung, di tengah-tengahnya Pulau Jawa. Dalangnya bingung wayangnya juga bingung, yang penting bisa ketawa,” 

Nah, dalam case ini, planner Mikrotrans bingung, penumpang JakLingko juga bingung. Yang penting bisa ketawa! Beneran deh, sepertinya kita mesti nerima aja keanehan posisi mesin tap Mikrotrans sebagai salah satu inside jokes Jakarta. Serta sebagai salah satu medium pelestari budaya tolong menolong warga Ibu Kota. 

Apa itu malas berinteraksi ke sesama penumpang? Mereka yang menumpang Mikrotrans nggak mengenalnya. Angkot JakLingko itu telah membasmi segala yang berbau individualis dari jiwa para penumpangnya.

Penulis: Karina Londy
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 3 Hal Menyebalkan Angkot JakLingko dari Perspektif Pengendara Lain di Sekitarnya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version