Ponsel Lipat, Aksesoris Layar Kedua, atau Beli Ponsel dan Tablet Terpisah? Baca Dulu Ulasannya!

samsung galaxy fold huawei mate xs lg v50 whinq with dual screen asus padfone s ponsel lipat android smartphone aksesori layar kedua handphone tablet mojok.co

samsung galaxy fold huawei mate xs lg v50 whinq with dual screen asus padfone s ponsel lipat android smartphone aksesori layar kedua handphone tablet mojok.co

Sejak Mobile World Congress (MWC) 2019 lalu, ponsel lipat yang menawarkan ruang layar lebih besar dan dapat dikonversi menjadi komputer tablet semakin banyak dirilis sebagai produk komersil. Segalanya bermula dari Royale Flexpai, produk pertama di segmen ini yang datang dari produsen tidak terkenal dan para pengulas juga kompak mengatakan untuk tidak membelinya. Samsung dan Huawei datang dengan layar yang benar-benar bisa dilipat, sedangkan LG memilih menghadirkan aksesoris layar kedua. Jadi, kita tak perlu membeli ponsel dan tablet terpisah.

Penjualan tablet secara umum boleh dibilang terus meredup, tetapi keberadaannya bagi anak kuliah justru semakin populer. Di tengah kemalasan mahasiswa untuk membeli kertas binder atau buku catatan, menulis dengan rapi, dan mengarsipkan dokumennya, tablet berlayar besar dengan kamera mumpuni dan pulpen digital jadi pilihan. Foto tulisan dosen di papan tulis, tambahkan keterangan seperlunya di atasnya untuk menambah pemahaman, selesai. Baik dengan tablet Android maupun iOS, aplikasi yang menjadi andalan jelas Microsoft OneNote untuk mencatat dan Adobe Reader untuk membaca ebook sambil meninggalkan jejak di atasnya. Pendapat ini tergolong subjektif memang, apakah hanya terjadi pada mahasiswa yang saya kenal atau mahasiswa modern secara umum.

Layar smartphone tetap dianggap kurang mumpuni untuk melakukan misi ini meski terus membesar karena butuh zooming dan scrolling untuk bisa membaca satu halaman secara utuh dan nyaman, baik itu catatan, buku, maupun halaman web. Belum lagi untuk menulis, ruang yang tersedia sangatlah sempit. Akan tetapi, keberadaannya tak bisa dihilangkan untuk menelepon dan mengetik SMS. Siapa yang mau memegang talenan, istilah untuk tablet, dan meletakkan di samping telinganya? Bagaimana jika kita bisa menggabung mode ponsel dan tablet dalam satu perangkat saja?

Samsung Galaxy Fold

Galaxy Fold pertama kali meluncur di Amerika Serikat dengan banderol sekitar US$1.980. Begitu diboyong ke Indonesia, harganya sedikit lebih mahal menjadi Rp33.888.000. Prosesornya adalah Qualcomm Snapdragon 855, terbaik di pasar Android versi tahun lalu. Sistem kamera depan dan belakangnya serupa dengan Galaxy S10+. RAM-nya sebesar 12 GB dan memori internalnya sebesar 512 GB (dengan kapasitas tersisa untuk pengguna sebesar 462 GB) tanpa slot microSD, lumayan besar untuk menyimpan buku dan film-film. Bahkan, banyak pengguna MacBook masih mengandalkan kapasitas penyimpanan 128 GB atau 256 GB.

Kekecewaan mulai terasa ketika melihat bodinya. Engsel ponsel ini terasa begitu tebal sehingga ketebalan mode ponsel menjadi 17 mm dan mode tablet menjadi 6.9 mm, sangat mengganggu. Rasio layar yang digunakan juga jadul, 4 : 3 ala-ala zaman kita memakai Windows XP dulu. Layar ponsel terletak di bagian depan dengan berukuran 4.6 inci dan resolusi HD+, tergolong sangat kecil untuk ponsel zaman sekarang dan menyisakan ruang hitam yang sangat besar tanpa fungsi apa-apa.

Ketika layar tersebut dilipat ke belakang, terlihatlah bagian dalam berukuran 7.3 inci dan resolusi QXGA+, itu pun tidak penuh karena ada ruang untuk kamera di bagian pojok kanan atas. One UI memungkinkan Anda membuka tiga aplikasi sekalgus di mode ini dan sangat pas untuk mahasiswa yang belajar sambil menonton video YouTube serta berdiskusi dengan teman-temannya. Layar yang terpisah ini menguntungkan pengguna ketika layar mode ponsel rusak, layar mode tablet masih bisa berfungsi dan berlaku sebaliknya.

Hal yang paling mengecewakan adalah kapasitas baterai. Ketika tablet sebesar itu banyak mengandalkan baterai 5000 mAh, tablet sekaligus ponsel hanya menggunakan baterai 4380 mAh dan kemampuan pengecasannya masih terbatas pada Quick Charge 2.0 berdaya 15 W.

Huawei Mate X

Bersamaan dengan Galaxy Fold, dirilislah Huawei Mate X. Jeroannya sama dengan Mate 20 Pro (dan bahkan Nova 5T), yaitu Kirin 980 yang dikombinasikan bersama RAM 8 GB dan 512 GB sehingga performanya bisa dipastikan kalah dari Galaxy Fold.

Tunggu dulu, semua sisanya lebih unggul malah. Pertama, konektivitas modem 5G Balong 5000 membuat kecepatan maksimalnya hingga 4.6 Gbps, dua kali lebih cepat dibandingkan modem 5G di Qualcomm X50 milik Snapdragon 855. Memori internal masih bisa ditingkatkan, tetapi dengan kartu memori NM andalan Huawei, bukan kartu memori MicroSD seperti biasanya.

Berbeda dengan Galaxy Fold, Mate X menggunakan layar yang sama baik untuk mode tablet maupun ponsel. Rasio antara ukuran layar tablet dan ponsel pun lebih baik, 82.5% di Mate X versus 63% di Galaxy Fold. Demikian terjadi pada kompartemen kamera, Huawei menggunakan lensa yang sama di semua mode ketika Samsung menggunakan enam lensa berbeda, yaitu tiga buah untuk kamera belakang dan satu kamera depan di mode ponsel serta dua kamera depan di mode tablet. Di sinilah letak pro dan kontra antara fanboy Samsung dan Huawei. Di sisi pendukung Huawei, Samsung terlihat melakukan kesia-siaan penggunaan komponen yang menyebabkan mahalnya harga perangkat dan tampilan buruk rupa. Di sisi pendukung Samsung, Huawei melupakan risiko bahwa perangkat akan mengalami kerusakan di seluruh mode meskipun jatuh dalam salah satu mode dan hal ini sudah dipikirkan cukup baik oleh produsen Negeri Ginseng.

Layar mode tablet pun lebih besar yaitu 8 inci, hanya saja resolusinya semakin mendekati kotak dengan rasio 8 : 7.1 dan tetap lebih hebat dari Galaxy Fold (2480 x 2038 vs 2152 x 1536). Ketika dilipat, ponsel ini menjadi mirip-mirip VIVO Nex Dual Display dengan layar belakang 6,6 inci beresolusi 2480 x 1148 dan layar depan 6.38 inci beresolusi 2480 x 892 dengan sedikit area hitam tanpa tampilan, khusus selfie. Bedanya, jika Vivo meletakkan kameranya di bagian atas tengah, Huawei menaruh kamera berstandar Leica (seperti biasanya) di sisi menonjol di bagian pojok kiri bawah layar depan dan hal ini membuatnya tidak rata ketika diletakkan di meja seperti laptop dengan baterai yang lebih tebal dibandingkan sisa bodi. Apa kabar dengan kualitas foto? Dikabarkan setara dengan Huawei Mate 20 Pro.

Baterai apa kabar? Sedikit lebih besar dengan 4500 mAh meski tetap tergolong kecil untuk perangkat dwiguna. Untunglah, daya pengecasan SuperCharge bisa mencapai 55 W alias terisinya 85% kapasitas baterai dalam setengah jam! Harga yang diumumkan Huawei di Eropa saat peluncuran adalah €2.300 dan dia datang dalam kondisi tak resmi ke Indonesia dengan harga mencapai Rp39 juta. Konon, dikabarkan bahwa Mate X ini masih bisa menggunakan Google Play Services.

Huawei Mate Xs

Setahun setelah pendahulunya, Mate X, Huawei memperbarui produk ponsel lipatnya menjadi Mate Xs. Strategi ini berbeda dengan pesaingnya, Samsung, yang lebih memilih menghadirkan ponsel lipat berbentuk flip phone untuk melawan Moto Razr (2019) dan jelas bukan untuk dikonversi menjadi tablet. Tidak tampak perubahan yang signifikan dari Mate X selain peningkatan dapur pacu menjadi Kirin 990.

Tak seperti Mate X, Huawei Indonesia berani mendatangkannya dalam kondisi resmi ke Tanah Air meski kini tanpa Google Play Services. Harganya? Semakin membuat kepala pusing, Rp43 juta! Oh iya, versi Indonesia datang dengan koneksi 5G yang dinonaktifkan untuk memenuhi ketentuan yang ada sehingga mentok di 4G, sekalipun digunakan di luar negeri.

LG V50 ThinQ with Dual Screen

Ponsel ini datang tidak polosan, tetapi dengan aksesoris layar kedua sehingga Anda bisa mengutilisasi satu layar 6.4 inci beresolusi 3120 x 1440 piksel dan satu layar 6.2 inci beresolusi 2160 x 1080 pixel. Keduanya memang tidak bisa bekerja sama layaknya tablet dan dua produk sebelumnya, tetapi tetap saja bermanfaat untuk menjalankan dua aplikasi dengan nyaman secara terpisah layaknya memiliki dua perangkat berlainan.

Prosesornya sama dengan Samsung Galaxy Fold (Qualcomm Snapdragon 855), baterai 4000 mAh, dua kamera depan, dan tiga kamera belakang. Bukan flagship LG namanya tanpa kualitas multimedia luar biasa melalui 32-bit Hi-Fi Quad DAC dan sangat lumayan untuk sensasi belajar yang menenangkan bersama musik instrumental. Sayang, sensor sidik jarinya masih di belakang. Bagi pemuja RAM dan memori internal bersiaplah kecewa, masing-masingnya hanya berkapasitas 6 GB dan 128 GB.

Kembali ke urusan dua layar, hal yang menarik dilakukan oleh mahasiswa adalah belajar sambil menonton video atau membaca buku sambil berdiskusi dengan teman. Jika bosan, kita bisa memainkan game dengan layar utama sebagai tampilan dan layar tambahan sebagai joystick, mirip-mirip PS Vita dan ini terlalu menggoda untuk lari dari belajar.

Harganya berapa? Jangan harap masuk resmi ke sini sejak produsennya telah hengkang. Pembelian ponselnya saja dihargai sekitar Rp6 jutaan dan penambahan aksesoris layar kedua perlu menambah sekitar Rp4 jutaan, padahal harga layar tersebut di Korea Selatan (asal LG) hanya Rp2 jutaan. Bagaimanapun juga, ini jauh lebih irit dibandingkan terhadap Samsung Galaxy Fold maupun Huawei Mate X dan Xs.

Asus Padfone S

Sebenarnya ide perangkat gabungan ponsel-tablet itu sudah jauh lebih awal digarap oleh Asus melalui Padfone S keluaran 2015. Cara beralih modenya memang bukan dengan dilipat yang konon ketahanan engselnya membuat cemas, tetapi menggunakan docking station di mana ponsel dimasukkan ke sana untuk mengaktifkan mode tablet yang sama saja sih kecemasannya terkait kemulusan layar. Ketika difungsikan sebagai ponsel, cukup bawa ponselnya saja.

Karena sudah lama, mencari unit barunya sangat sulit dan unit bekas tersedia dengan harga sekitar Rp2 jutaan saja. Spesifikasinya adalah spesifikasi ala flagship saat itu, yang hari ini tentu saja sudah ketinggalan zaman.

Prosesornya adalah salah satu jagoan overheat, Qualcomm Snapdragon 801. RAM-nya 2 GB dan ROM-nya 16 GB, mungkin smartphone low-end pun sudah banyak yang meninggalkan konfigurasi ini. Baterai ponselnya pun sangat kecil, hanya 2300 mAh dengan layar 5 inci 1080 piksel.

Tapi jika Anda banyak menggunakan mode tablet, lihatlah docking station dengan baterai tambahan 5000 mAh, layar 9 inci full HD, dan speaker stereo. Karena dia adalah pionir, jangan heran jika bobot ponsel maupun docking station-nya membuat Anda menangis, overweight. Buku sudah berat, belum lagi jaket dan makanan, masih mau ditambah Padfone S?

Kesimpulan

Apa pun jalan yang ditempuh, berusaha mencari produk gabungan ponsel dan tablet dengan mekanisme apa pun bukan pilihan yang bagus. Ya, harus diakui bahwa mekanisme ini memudahkan Anda untuk tidak perlu menginstal aplikasi dan memindahkan data demi kondisi dua perangkat yang sama. Akan tetapi?

Pertama, Anda hanya bisa menggunakan satu mode dalam satu waktu. Jika ingin pergi hanya dengan mode ponsel, tetap saja Anda harus membawa perangkat nan tebal termasuk si layar tablet. Kedua, baterainya kecil dan konsumsi dayanya besar sehingga ketika dia habis, kedua mode sama-sama tak bisa digunakan. Anda harus terus bisa berkomunikasi di perjalanan dan belajar setelah di rumah.

Apa kabar jika baterai perangkat habis duluan sebelum sampai rumah, apalagi kalau mengecasnya selambat Galaxy Fold. Ketiga, ketahanan perangkat baik dengan mekanisme engsel, dual screen, maupun docking station lebih meragukan.

Keempat, ketika perangkat rusak atau dipinjam untuk durasi yang cukup lama, ya sudah Anda tidak punya alternatif. Lain halnya ketika memiliki dua perangkat alternatif, satu rusak masih ada satu cadangan. Dua-duanya digunakan bersamaan untuk menjalankan perintah terpisah? Lebih baik malah karena mereka tidak bergantung ke perangkat keras yang sama dan daya baterai yang sama.

Risiko tidak fokus belajar dan tergoda pun bisa dikurangi karena aplikasi dan jejaring sosial yang terhubung bisa dibedakan. Jadi, daripada memboyong pulang Galaxy Fold atau Mate X dan Xs dengan harga setara dua sepeda motor, LG V50 ThinQ yang tidak akan pernah bisa menjadi tablet, juga Padfone S yang sudah kelewat uzur, saya punya alternatif untuk dipertimbangkan.

Jadi, pada intinya pisahkanlah antara ponsel untuk berkomunikasi dan tablet untuk bekerja. Apalagi setelah pandemi corona ini, berhematlah dan hindari barang elektronik yang terlalu mahal. Ponsel pintar midranger dan tablet midranger sudah cukup jika hanya digunakan untuk catat-mencatat. Ogah bawa dua perangkat? Lebih baik kamu kembali saja ke metode konvensional, catat di buku tulis atau binder!

Sumber gambar: Instagram @galaxyfold

BACA JUGA Ambulans Berbasis MPV Suzuki APV, Bagaimana Rasanya? dan tulisan Christian Evan Chandra lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

 

Exit mobile version