Polisi Libatkan Orang Tua untuk Gembosi Gerakan Mahasiswa/Pelajar #ReformasiDikorupsi

reformasidokorupsi polisi gembosi lemahkan mahasiswa pelajar video pengakuan kantor polisi polda metro jaya demonstrasi aksi mojok

reformasidokorupsi polisi gembosi lemahkan mahasiswa pelajar video pengakuan kantor polisi polda metro jaya demonstrasi aksi mojok

Tahun telah berganti, namun kisah selalu akan melekat dalam ingatan, menjadikannya pengalaman yang berharga dan sulit untuk dilupakan. Aksi ReformasiDikorupsi yang terjadi bulan September-Oktober tahun lalu menyisakan banyak korban, baik itu yang terluka, tertangkap oleh polisi, maupun korban jiwa.

Gerakan awal ini terbangun sejak tanggal 16 September lewat aksi di depan Gedung KPK untuk mendukung agar KPK tidak dilemahkan melalui revisi Undang-undang KPK. Gelombang gerakan semakin meningkat dan meluas pada tanggal 19, 21, 23, dan 24 September ketika mahasiswa melakukan aksi di depan Gedung DPR RI. Tuntutan dan protes yang disuarakan makin bertambah, tadinya hanya menolak revisi UU KPK, kini menolak segala rancangan dan revisi Undang-undang yang ngawur dan tidak prorakyat.

Puncaknya terjadi pada 24 September, mahasiswa, pelajar, dan semua elemen masyarakat prodemokrasi mengepung Gedung DPR RI. Depan, belakang, kiri, dan kanan area kompleks parlemen penuh sesak dengan puluhan ribu manusia.

Hari itu terjadi chaos antara massa aksi dengan aparat kepolisian: gas air mata berkali-kali ditembakan, water cannon dikerahkan, dan peluru karet berhamburan. Hingga tengah malam masih terjadi chaos di sekitar kompleks parlemen. Tidak sedikit massa aksi yang ditangkap oleh polisi dan dibawa ke Polda Metro Jaya, Polres Jakarta Pusat, Timur, dan Barat.

Aksi selanjutnya terjadi pada 30 September dengan jumlah massa yang tidak sebanyak tanggal 24 lalu. Namun, kini aksinya bergabung dengan buruh, pelajar, dan elemen masyarakat lainnya. Aksi kali ini mendapatkan penjagaan yang lebih ketat dari aparat keamanan. Sore hari aksi ini sudah diwarnai dengan kericuhan, hingga semakin malam makin chaos. Cukup banyak massa yang ditangkap oleh polisi dan dibawa ke Polda Metro Jaya, Polres Jakarta Pusat, Timur, dan Barat. Polisi melakukan sweeping ke area kompleks parlemen, Senayan, hingga ke daerah Jakarta Barat dan Timur.

Di hari itu saya sudah berada di kampus sejak pukul 23.00, memilih balik kanan bubar jalan untuk mengisi tenaga. Tiba-tiba saya dan teman-teman mendapat kabar dari teman lain, ada banyak mahasiswa dari universitas tempat saya menimba ilmu yang tertangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya.

Keesokan harinya, saya dan dua teman dibantu LBH langsung bergegas ke Polda Metro Jaya. Saya dan teman berniat mencari tahu sekaligus menangguhkan penahanan mahasiswa yang tertangkap.

Sesampainya di Polda, saya bergegas masuk ke ruang unit Samapta Bhayangkara (Sabhara, unit pencegahan pelanggaran hukum) untuk menanyakan daftar nama orang yang tertangkap kemarin. Dari daftar tersebut, ada 3 mahasiswa yang satu kampus dengan saya.

Selanjutnya, saya mengecek ke Reserse Kriminal Umum dan Kriminal Khusus, namun di sana tidak ada satu pun mahasiswa yang kuliah seuniversitas dengan saya. Tiga mahasiswa yang tertahan di unit Sabhara tak lama lagi akan dilepaskan, mereka dijemput oleh orang tuanya.

Di Reserse Narkoba terdapat 5 orang mahasiswa sekampus dengan saya, ternyata mereka dibawa ke Reserse Narkoba karena terindikasi mengonsumsi narkoba. Namun, setelah cek urine kelimanya tidak terbukti menggunakan narkoba. Mereka dipulangkan ke rumah masing-masing malam itu atau esok harinya.

Saat di Reserse Narkoba saya sempat masuk ke ruangan para mahasiswa ditahan untuk bertemu penyidik yang menangani kasus. Saat berada di dalam, ada hal yang menarik perhatian. Ruangan tersebut penuh dengan orang tua korban penangkapan yang akan menjemput anaknya. Mereka menunggu giliran dipanggil penyidik untuk menemui anaknya dan apabila sudah selesai perkaranya, orang tua korban dibolehkan membawa anaknya pulang.

Sebelum diperbolehkan pulang, korban dan orang tuanya seolah disuruh membuat drama yang menyedihkan. Saya melihat tiap korban dan orang tuanya, silih berganti membuat rekaman video pengakuan atas kesalahan si korban dan perjanjian untuk tidak mengulangi perbuatannya, serta mengimbau kepada orang lain di luar sana agar tidak melakukan demonstrasi.

Aneh, saya pun cukup heran melihatnya. Seorang pelajar SMK dengan memeluk seorang perempuan paruh baya, entah itu ibunya atau neneknya, sambil tersedu-sedu menangis dengan terpaksa. Di depannya terdapat seorang polwan yang tidak menggunakan seragam, memegang telepon genggam sambil merekam. Di sebelah si polwan, berdiri seorang pria berbadan tegap memegang kertas berisi tulisan, sayangnya saya tidak sempat membaca tulisan tersebut.

Saya mendengar pelajar itu mengucapkan, “Saya tidak akan mengulang perbuatan ini lagi, dan saya mengimbau kepada teman-teman agar tidak ikut-ikutan demo,” kira-kira seperti itu. Anak itu mengucapkannya dengan terbata-bata, sambil melihat ke arah kertas yang dipegang pria bertubuh tegap tersebut.

Pria bertubuh tegap yang berdiri di depannya, berucap, “Peluk ibunya, peluk. Tuh, kamu memang enggak kasihan sama orang tua? Kalau sudah begini, orang tuamu yang repot”. Pelajar itu dengan segera mengikuti perintah pria bertubuh tegap, ia memeluk ibunya dengan perlahan-lahan.

Berselang beberapa waktu setelah saya melihat kejadian tersebut, saya mendapati video berisi adegan serupa yang saya lihat di Polda beredar di media sosial. Hanya saja orang yang berada di video berbeda dengan orang di Polda.

Belakangan baru saya sadari, apa yang saya lihat di Polda merupakan bentuk strategi polisi untuk menekan mereka yang tertangkap supaya tidak ikut demo lagi. Tak hanya memberikan tekanan terhadap yang tertangkap, tetapi kepada mereka di luar sana yang akan ikut demo atau sudah melakukan demo.

Strategi itu tenyata cukup berhasil, terbukti sejak tanggal 24 september gerakan #ReformasiDikorupsi mengalami kemunduran. Mulai dari kurang masifnya konsolidasi antarmahasiswa dan elemen masyarakat prodemokrasi, hingga berkurangnya jumlah massa saat demonstrasi selanjutnya. Padahal apa yang menjadi tuntutan dalam aksi #ReformasiDikorupsi belum terwujudkan. Sebab, salah satu akibat dari video itu adalah orang tua jadi khawatir dan melarang anaknya ikut dalam aksi #ReformasiDikorupsi mendatang

BACA JUGA Alasan Kenapa Pelajar di Indonesia Suka Takut Nanya/Jawab Pertanyaan di Kelas

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version