Polemik Tukang Parkir: Dibenci Netizen, Pemutar Ekonomi Bawah, dan Bisnis Mafia di Baliknya

Polemik Tukang Parkir: Dibenci Netizen, Pemutar Ekonomi Bawah, dan Bisnis Mafia di Baliknya terminal mojok.co

“Jangan ke ATM sana bro, ada tukang parkirnya,” ujar kawan saya beberapa waktu silam. Ujaran demikian bukanlah ujaran yang asing terdengar. Apalagi ketika Anda tinggal di Kota Jogja, setiap sudutnya selalu ada tukang parkir. Mau itu minimarket sampai angkringan yang agak ramai.

Kehadiran mereka menimbulkan polemik yang tak ada habisnya. Mayoritas membenci mereka sebagai kelompok masyarakat yang mengganggu ketenangan. Kehadiran mereka dipandang sebagai pemalak daripada menjaga kendaraan. Mungkin Anda setuju dengan opini ini. Lha wong, ini suara mayoritas.

Namun, sebagian memandang dari sisi lain. Sisi di mana tukang parkir adalah roda penggerak ekonomi masyarakat bawah. Ketika perputaran ekonomi mulai timpang di kelompok masyarakat tertentu, tukang parkir ikut memutar ekonomi masyarakat termarjinalkan.

Ada satu opini menarik di Twitter. Ada pendapat bahwa tukang parkir menjadi alat untuk mencegah kejahatan. Pasalnya, dengan adanya pekerjaan ini, masyarakat yang terhimpit secara ekonomi bisa tetap mencari penghasilan tanpa melakukan kegiatan kriminal. Meskipun penuh nuansa “miskin sumber kriminal” yang nggatheli, tapi opini ini cukup menarik.

Saya melihat tukang parkir yang disebut meresahkan ini dalam dua sisi. Mereka memang pemutar ekonomi masyarakat kelas bawah. Namun, mereka juga terjebak sistem yang boleh dibilang “mafia”. Dan perputaran uang di dalamnya tidak dapat dikatakan sedikit.

Bicara masalah meresahkan, ini kembali ke pengalaman setiap orang. Terkadang, seseorang merasa tidak perlu kehadiran tukang parkir. Apalagi kalau cuma untuk beli air mineral yang butuh 1 menit untuk transaksi. Satu menit meninggalkan motor dan harus membayar Rp2 ribu memang menyebalkan.

Akan tetapi, apa yang bisa kita lakukan di tengah situasi ekonomi seperti sekarang? Uang kembalian yang ada di kantong Anda tidak akan bermanfaat kecuali ikut berputar. Dan cara termudah memutarkan uang ini adalah dengan membayar jasa parkir atau jasa menyanyi seorang pengamen.

Sementara, kalau tukang parkir dipandang sebagai preventif dari perilaku kriminal, ya ada benarnya. Karena akses menuju mata pencaharian untuk kelompok masyarakat marjinal sangat tertutup. Ketika mata pencaharian layak tidak diperoleh, maka metode yang berpotensi kriminal menjadi solusi terbaik. Namun, tolong dipahami bahwa bukan berarti miskin adalah sumber kriminal!

Selain itu, mereka juga terjebak dalam sebuah “bisnis gelap” di baliknya. Terkadang, ini terlewat oleh mata kita. Saya pun baru menyadari bahwa tukang parkir bukanlah pekerjaan sederhana. Parkiran melibatkan hierarki yang mirip-mirip mafia. Lantaran bisnis parkiran memang memberi untung besar, tapi sayangnya bukan untuk tukang parkir itu sendiri.

Satu petak lahan parkir pinggir jalan di area Kota Jogja bisa dihargai Rp10 juta. Padahal, itu hanya biaya untuk hak guna. Saya sendiri pernah melihat langsung transaksi lahan parkir ketika nongkrong di sebuah kedai. Tawar menawar alot membuktikan bahwa bisnis parkiran bukan bisnis kaleng-kaleng.

Jika dalam 1 jam saja ada 20 motor parkir dengan tarif Rp2 ribu, ada Rp40 ribu uang yang dikantongi. Dalam 8 jam kerja, bisa diperoleh Rp320 ribu. Ini pun pakai angka terendah ya. Bayangkan sebuah minimarket yang didatangi 50 orang setiap jam. Bayangkan juga sebuah tempat wisata dengan kapasitas ratusan pengunjung.

Namun, uang ini tidak langsung dinikmati oleh para tukang parkir. Masih banyak birokrasi “ilegal” yang melibatkan banyak orang. Dari keamanan atau preman, sampai aparat. Mereka punya jatah sendiri sebagai biaya “sewa” si tukang parkir. Tapi, saya agak sungkan untuk membahas lebih jauh siapa yang terlibat dalam bisnis parkiran ini. Salah-salah, saya malah jadi gambar kaos bertuliskan “hilang karena parkiran”.

Dari sini kita bisa lihat bagaimana bisnis parkiran yang juga menindas tukang parkir. Kalau selama ini mereka tampak seperti mengemis, sebetulnya yang mereka lakukan untuk menyuapi kepala-kepala keamanan mereka. Mungkin perspektif ini susah diterima oleh Anda yang kelewat pelit dengan siapa pun. Bahkan untuk parkir Rp2 ribu yang terasa seperti pemiskinan yang masif.

Lantas, siapa sebenarnya tukang parkir? Apakah musuh masyarakat? Pemutar roda ekonomi kaum marjinal? Atau bagian dari mafia?

Sumber Gambar: Unsplash.com

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version