Setelah sekian lama sering menyewa mobil pick up, bapak saya memutuskan membeli sebuah mobil. Mungkin lebih tepat jika disebut seonggok mobil. Selain bekas, mobil ini murah meriah. Harganya tak sampai Rp25 juta kala itu. Daihatsu Zebra pick up 1991 yang menjadi alat angkut peralatan dekorasi pengantin kami, sekaligus alat transportasi sehari-hari.
Saya merasa aneh dengan pemilihan nama zebra. Warnanya nggak belang-belang. Selain itu, zebra adalah hewan yang nanggung. Kuat tak terlalu, cepat juga kurang, cuma unggul di keunikan.
Bak mobil yang tak terlalu lebar dan datar, memang yang bapak saya cari. Lantaran datar, kotak-kotak alat bisa disimpan dengan rapi dan muat banyak. Sehingga tak ada yang mengganjal peralatan lain yang ditumpuk di bagian atas. Soal tenaga, pabrikan Daihatsu memang terkenal punya mesin yang “ngebo” meskipun sering aus dan gampang panas. Mau pindah gigi mendadak di tanjakan, mudah saja. Kebetulan, bapak saya adalah pecinta Daihatsu sejak muda. Mobil pertamanya saat lulus sekolah pada 80-an adalah pick up Hijet 1000. Daihatsu memang punya sejarah panjang di keluarga kami. Sejarah yang juga punya banyak cerita menyebalkan.
Selain berbensin irit, harga onderdilnya juga murah. Masalahnya, karena digunakan hampir setiap hari, mesin si Daihatsu Zebra sering ngadat dan sering minta diganti onderdil baru. Menang murah, cuma sering banget habisin duit. Masalah yang lain adalah badan si Daihatsu Zebra yang ringkih banget. Kena hujan dikit, berkarat. Kesenggol dikit, penyok. Bertahun-tahun digunakan, bak belakangnya berlubang-lubang bagai terbuat dari plastik mika. Belum lagi pengapian yang makin lama makin hancur lebur. Tenaga sering kali hilang saat di tanjakan. Padahal, bapak saya adalah orang yang sangat teliti perihal mobil. Semua hal blio perhatikan secara mendetail. Bahkan ada suara yang aneh barang sekecil zarrah saja ia bisa terganggu. Itu dulu, sekitar tiga tahunan ini ia sudah tak peduli. Pasrah tepatnya.
Setir makin berat dan ada jeda lumayan banyak. Saat setir digerakkan, roda nggak langsung ngikut kemudi (orang bengkel bilang speleng) lumayan bahaya memang. Lampu dan kelistrikan juga parah. Goncang dikit, lampu sen mati. Ada hujan, wiper sering macet. Padahal, sudah diganti aki baru yang lumayan bagus. Kabel juga diganti baru semua. Tapi, tak pernah ada perubahan berarti.
Segala hal dilakukan, segala perbaikan diusahakan, tapi Tuhan berkehendak lain. Si Daihatsu Zebra yang bentuknya makin tak karuan itu, sudah hampir remuk redam. Kami memutuskan untuk membiarkan si Zebra bertapa saja. Sehingga ia ditinggalkan di luar ruangan dan dibiarkan terkapar. Di bawah panas matahari, dihantam hujan dan angin, si Zebra tergeletak tak berdaya.
Ia sudah jarang kami gunakan, paling pol dipanasi. Hanya sesekali kami pakai untuk membantu tetangga yang memerlukan jasanya. Kalau kerja, ya kami sewa mobil orang lain.
Tapi, si Daihatsu Zebra seperti menolak padam. Saat kami membutuhkannya, dia tetap bisa digeber dan masih mampu membawa beban berat. Mungkin, karena sering beramal dan membantu sesama, si Zebra terbebas dari sakaratul maut. Padahal doski tak pernah lagi dirawat seperti dulu. Pajak mati, apalagi surat KIR, benar-benar tak dianggap lagi.
Lantaran bentuknya yang sudah tak karuan dan suara mesin yang kasar, orang-orang memanggilnya si Zebra Zombie. Ya memang hidup, tapi kayak mayat, serupa bangkai. Tapi, entah apa ilmu yang dimiliki pencipta mobil ini. Mesin miliknya tetap hidup, menderu membantu tetangga yang mau kondangan, takziah, bantuin bawa tratak saat ada pengajian, dll.
Laku hidupnya itu yang mungkin membuat dirinya tetap kuat bertahan. Gila sekali, body ambrol, pintu jebol, tapi mesin masih lantang. Memang mirip zombie, badan hancur tapi bisa terus bergerak. Saya kira Daihatsu memang jempolan soal ketahanan mesin, tapi tidak untuk ketahanan body.
Saat ketemu dengan pengguna mobil berjenis Zebra yang lain, mereka mengaku punya masalah yang sama. Memang tubuh Daihatsu tak pernah awet. Seperti Hijet 1000, Charade tahun 1984, Espass tahun 1993, yang pernah meramaikan khazanah otomotif di rumah saya. Soal mesin yang powerfull dan irit, tak perlu ditanya. Namun, tubuh yang ringkih itu, tak ada obatnya. Lantaran tubuh ringkihnya, si Zebra Zombie mengalami komplikasi.
Pada akhirnya, si Zebra Zombie terpaksa dijual sebagai mobil rongsokan. Tepat saat pandemi datang dan lebaran menghadang. Bapak saya mau tak mau menjual mobil yang telah menemaninya selama satu dekade. Secara tak ada hasil dari usaha keluarga ini karena pandemi menghadang.
Saya merasa kehilangan karena mobil itu sangat berjasa buat saya pribadi. Bahkan, ia membersamai saya sejak awal karier sebagai tukang dekor. Saat lebaran tiba, saya menyantap kue di meja ruang tamu orang tua saya. Saya nikmati dengan saksama dan pelan-pelan. Lantaran hidangan yang tersedia di meja adalah hasil dari penjualan si Zebra Zombie kami tercinta.
Sumber Gambar: YouTube Paijo Zelasco
BACA JUGA Jangan Beli Mobil kalau Belum Memiliki 4 Hal Ini atau tulisan Bayu Kharisma Putra lainnya.