Turnamen Piala Menpora baru-baru ini gelar sebagai pelepas dahaga publik setelah sepakbola Indonesia terhenti sejak Maret 2020 lalu. Turnamen ini digadang-gadang sebagai tolok ukur kesiapan—baik dari sisi panitia atau klubnya sendiri—untuk menggelar kompetisi Liga 1 musim 2021. Dengan arti kata lain, Piala Menpora ini adalah turnamen pramusim.
Dengan statusnya sebagai turnamen pramusim, harusnya gelaran ini digunakan untuk mempersiapkan tim dengan sebaik mungkin. Entah itu meramu komposisi pemain, meracik taktik dan strategi, maupun mematangkan mental, dan chemistry para pemain. Tapi kadang, di Indonesia, turnamen pramusim kerap disalahartikan dengan dianggap sebagai turnamen serius, padahal sifatnya hanya uji coba biasa saja.
Berbagai turnamen pramusim di Indonesia seperti, Inter Island Cup, Piala Presiden, Piala Gubernur Kaltim, hingga sekarang Piala Menpora, selalu dianggap sebagai gelar prestisius. Padahal (lagi-lagi), turnamen ini hanya uji coba untuk mematangkan tim.
Suporter klub Indonesia seakan bangga ketika klub kebanggaannya menjuarai turnamen sekelas pramusim. Apalagi jika dalam perjalanannya mengalahkan klub musuh bebuyutan. Hal ini diperparah dengan klubnya sendiri yang seakan memang mati-matian memburu gelar pramusim ini. Melihat hal demikian, saya jadi tidak heran, mengapa tidak ada klub Indonesia yang berprestasi di kancah Asia. Lha wong mentalnya saja hanya sekelas pramusim kok.
Indikator klub yang sangat serius saat turnamen pramusim di antaranya kerap memecat pelatih apabila hasil yang diraih tidak sesuai ekspektasi (baca: juara). Sering melihat kan klub Indonesia memeecat pelatihnya ketika hanya mentok di fase grup? Padahal, ini hanya uji coba lho, segalanya juga belum matang. Masih perlu latihan lagi untuk membangun mental dan chemistry. Masa begitu aja dipecat.
Hal seperti itu mustahil ditemukan di kompetisi Eropa. Ayolah, mana pernah sih Real Madrid atau Bayern Munchen pecat pelatih hanya karena gagal di turnamen International Champions Cup yang biasanya digelar sekitar bulan Juli itu?
Kesalahan dalam mengartikan turnamen pramusim ini memiliki dampak yang cukup serius. Pada gelaran Piala Menpora ini, Patrich Wanggai mendapat perlakuan berbah rasial di kolom komentar sosial medianya setelah laga PSM melawan Persija kemarin. Patrich sendiri mencetak gol untuk kemenangan PSM di laga itu. Pelaku rasis tersebut diindikasi kecewa atas kekalahan timnya di turnamen pramusim ini yang lantas melampiaskannya pada Patrich Wanggai yang mencetak gol di laga itu. Terlepas dengan benar atau tidaknya ada provokasi yang dilakukan olehnya, rasisme adalah hal yang haram dilakukan.
Saya juga melihat banyak sekali komentar-komentar negatif yang menyerang klub ketika kalah dalam pertandingan dalam turnamen ini. Banyak yang meminta tim bermain becus, dan menuntut untuk memenangkan pertandingan. Hey, Bung, ini klub udah satu tahun lebih vakum, dan Anda hanya menuntut menang?
Rasanya aneh aja gitu, ketika klub dan para pemain sudah tidak lagi merasakan kompetisi resmi selama satu tahun, tapi tetap menuntut untuk menang. Berbanding terbalik dengan tujuan awal dari digelarnya turnamen ini sebagai pembuka kompetisi resmi, sebagai tolok ukur kesiapan, sebagai partai uji coba. Masa yang dituntut hanya menang dan juara? Bukannya lebih baik nikmati saja? Katanya pada kangen nonton bola.
Ini semua, lagi-lagi, berasal dari mindset lokal yang berpikir bahwa menang adalah segalanya. Tak peduli kelas apa pun turnamen itu, sing penting menang, Browww!
Mungkin ada yang berkelit, “Yah kan lumayan uang hadiahnya untuk operasional klub”. Lho, memang sesulit apa finansial klub Anda sampai-sampai harus bergantung pada uang hadiah pramusim? Iya tau lagi kondisi serba sulit seperti sekarang, cari sponsor pun sulit, lha tapi kok bisa gitu ngasih kontrak ratusan juta (bahkan mungkin miliaran) rupiah ke pemain lokal berlabel timnas yang padahal tidak bagus-bagus amat. Salah klubnya sendiri dong.
Permasalahan sepak bola Indonesia ini saya rasa sulit dan bercabang. Satu masalah menelurkan masalah lain yang pada akhirnya sulit untuk diselesaikan. Namun, sepertinya, akar dari semua permasalahan ini ada pada mindset atau pola pikir para pelaku sepak bola di Indonesia. Yha salah satunya pola pikir yang salah kaprah soal turnamen pramusim ini. Menang di Piala Menpora saja rasa-rasanya sudah seperti menang di Liga Champions. Awoakwowkwok.
BACA JUGA Sepak Bola Indonesia Sudah Bermasalah dari Hulunya: Curhatan Pemain Tarkam dan tulisan Fajar Hikmatiar lainnya.