Philippe Coutinho, Cinta dan Luka dalam Satu Nama

Philippe Coutinho

Philippe Coutinho

Ada dua momen dalam hidup saya sejauh ini yang saya nilai sendiri memalukan. Yang pertama dengan segala dramanya, berusaha balikan dengan mantan. Yang kedua adalah menyatakan cinta kepada seseorang ketika wisuda, hanya untuk ditolak pada akhirnya. Yang kedua tidak terlalu berefek banyak karena saya sudah melalui yang pertama. Namun ketika mengalami yang pertama, saya merasa hinaaa~ (baca dengan nada Coki Pardede).

Saya meyakini bahwa cinta (dalam hal ini sepasang kekasih) harus ditopang oleh dua individu. Jika salah satu pergi meninggalkan apapun alasannya, maka bubarlah sudah. Meskipun salah satu ingin kembali, rasanya mustahil. Apalagi kalau orang itu yang diputuskan hubungannya. Karena sudah jelas, ada satu yang tidak ingin menopang cinta itu lagi. Jadi, untuk apa membuka kesempatan atau membujuk agar kembali bersepakat?

Philippe Coutinho dalam Kenangan

Setelah berhasil mengejar ‘impiannya’ untuk berbaju Barcelona, Philippe Coutinho ternyata tidak kerasan. Philippe Coutinho ingin pindah dari salah satu kiblat sepak bola modern. Jaminan selalu rutin mendapat tropi juara tidak membuatnya betah. Ditambah Barcelona baru menambah amunisi dalam diri Antoine Griezmann dan Frenkie De Jong. Masanya di Katalan mungkin tidak akan lama lagi.

Coutinho adalah nama besar. Kemampuannya tidak main-main. Dia adalah gelandang serang dengan kemampuan bermain kolektif dan individual yang sangat baik. Bisa merangsek ke sepertiga terakhir untuk membuka ruang, memberi umpan, atau mengeksekusi ruang kosong dengan placing shot yang melengkung mewah dan dijamin original 1 milyar persen kencang menghujam gawang.

Begitupun, bukan Barcelona yang bisa melihat potensi maksimal dari Coutinho. Adalah Brendan Rodgers, mantan pelatih Liverpool yang mempunyai ‘great characters’ yang bisa melihatnya. Beliau membeli Coutinho muda dari Inter dengan mahar 9 juta Euro saja. Dan benar saja, Coutinho menunjukkan ‘great characters’ dan menjadi tulang punggung dari Liverpool selama beberapa tahun. Sepeninggal Luis Suarez dan semakin turunnya performa sang Kapten Fantastik Steven Gerrad, Philippe Coutinho mengambil ahli sebagai pemain terbaik di tim. Kemampuan dribble dan placing shot sudah rutin menyihir ribuan pasang mata di Anfield.

Sayangnya, Liverpool dan kemarau pernah punya makna yang sama. Kebetulan, Philippe Coutinho berada di Liverpool dalam masa ‘kemarau’. Selepas musim ‘kepeleset’, Liverpool kembali ke masa-masa medioker yang sepertinya susah menang barang sebiji tropi receh sekelas Carabao Cup. Tidak ada yang bisa Coutinho dapatkan selain Piala Pemain Terbaik Liverpool tiap musim.

Akhirnya dia sadar, entah dari diri sendiri atau pengaruh dari pihak lain. Dia ingin keluar dari Anfield. Saya sudah mendengar desas-desusnya dari awal tahun 2017 via akun random Twitter yang mengincar orang tolol terjebak click bait. Dan pada musim panas 2017, Coutinho benar-benar mengajukan permintaan transfer.

 

Menggurat Luka dari Drama Transfer

Liverpool sebenarnya sudah biasa ditinggal bintang-bintangnya. Mulai dari Coutinho sendiri sampai wonderkid binaan asli Liverpool yang tidak mau saya sebut namanya. Tapi perpindahan Coutinholah yang mungkin paling menyakiti hati fans. Enam bulan lamanya menyala harapan agar dia urung pindah. Hanya untuk dikhianati pada awal Januari 2018.

Ketika pihak klub enggan menjual, Coutinho merajuk. Berbagai usaha dan upaya dilakukan agar jalan keluar dimuluskan. Termasuk dengan mendadak ‘cedera punggung’. Lalu entah bagaimana bisa terbang ke Brazil untuk ikut laga persahabatan. Dan ternyata bisa bermain dengan baik bahkan mencetak gol pula. Lalu berselebrasi menggigit lambang federasi sepak bola Brazil sambil menunjuk langit. Dengan ekpresi yang lumayan menggambarkan kalau dia sedang ‘menderita’, seakan ingin meminta kepada Tuhan akan dibebaskan dari ‘penderitaan’ tersebut.

Begitupun, dia memang tidak pindah sama sekali. Dan sempat menolak untuk main. Penampilan pertamanya dari ‘pengasingan’ adalah ketika Liverpool melawan Sevilla pada 13 September dalam laga perdana penyisihan grup E Liga Champions 2018/2019. Dan tampil di Liga Inggris tiga hari kemudian. Dengan kata lain dia kurang lebih sebulan absen untuk pemulihan ‘cedera punggung’.

Coutinho mungkin mulai ‘ikhlas’ dan kembali bermain seperti biasa untuk Liverpool. Dia juga cepat nyetel dengan trisula maut baru dalam diri Salah, Mane dan Firminho. Saat itu saya yakin dia akan bertahan, setidaknya setelah ada kesempatan meraih tropi dengan kekuatan trisula maut itu. Coutinho juga diberi kesempatan tiga kali untuk menjadi kapten. Bahkan mencetak trigol dalam laga terakhir penyisihan grup E. Saya semakin yakin, si Little Magician akan bertahan sedikit lebih lama lagi.

Tapi yah, namanya berharap kepada manusia memang rentan dikecewakan. Setelah menebus Virgil Van Dijk, sang Little Magician malah angkat jangkar dan berlabuh ke Barcelona. Setelah lama dibuai harapan, akhirnya dia pergi jua. Ucapan terima kasihnya hanya seakan formalitas belaka. Dia pergi untuk mencari piala dan Barcelona adalah garansi nyata. Kisah cinta Liverpool dan Coutinho berakhir menyedihkan, kalau tragis kelihatannya terlalu sadis.

 

Apakah Harus Kembali ke Pelukan?

Saya tidak berharap dia gagal di Katalan sana. Mustahil membayangkannya karena dia adalah pemain jempolan. Bahkan teman sejawat saya yang fans karbitan Barcelona saja bisa melihat kalau dia memberikan impak yang luar biasa. Dan enam bulan pertama bersama Barcelona berakhir dengan bahagia dan berbuah piala pula.

Cerita berbalik arah di musim selanjutnya. Hampir selalu menjadi starter, namun minim keajaiban dari kaki lincahnya. Walau sempat bermain di posisi aslinya di awal-awal liga, dia kembali digeser dan dipatenkan di sayap kiri. Menggantikan Dembele, yang dibeli untuk menggantikan Neymar. Dia memang gelandang serang yang bisa bermain di sayap untuk beberapa situasi dan kondisi tertentu.

Namun Coutinho bukan pemain sayap dengan skillset yang dibutuhkan Barcelona. Berbeda ketika di Liverpool, dari sayap dia bisa dengan bebas menusuk ke sepertiga akhir untuk melakukan salah satu keahliannya yang diatas. Di Barcelona, dia tidak mengemban tugas itu. Dia hanya sekedar pemain sayap. Yang bebas berkreasi (dan menanggung seluruh beban) adalah sang dewa sepak bola, Lionel Messi. Karena itu, kontribusinya terjun bebas dan bisa dikatakan buruk untuk pemain sepak bola termahal ketiga di Dunia.

Dia dalam persimpangan. Inginnya mungkin tetap bertahan, namun persaingannya sungguh luar biasa. Di lini depan sudah bertambah Griezmann. Dan jika sehat, Dembele merupakan pemain yang lebih baik. Di lini tengah dia akan bersaing dengan De Jong dan Arthur yang lebih muda dan potensinya lebih baik. Jelas dia tidak pernah bermain di pos belakang atau dibawah mistar gawang.

Pergi bisa jadi jalan terbaik. Tapi kemana? Banyak gosip mengatakan dia akan jadi alat tukar untuk Neymar. Suara sumbang lainnya dia kembali ke Inggris dan akan menjadi tumbal setan di Manchester sana. Namun mungkin dalam lubuk hati, pasti masih ada rasa ingin kembali ke Anfield dan memakai jersey Liverbird sekali lagi. Menjadi seseorang yang dielu-elukan karena magis lewat kakinya. Bukan pemain mahal gagal yang tidak menjadi apa-apa seperti kata Jurgen Klopp dulu untuk mencegahnya pergi.

Ada kesempatan untuk kembali. Namun bagaimana dengan yang sudah merasa terkhianati? Memang benar adanya kalau Philippe Coutinho akan menjadi ‘rudal’ tambahan dalam skema jika kembali. Tapi bagaimana dengan pemain-pemain yang sudah bersusah payah masuk dalam skema? Bagaimana dengan fans yang merasa tersakiti dengan aksi ‘kucing-kucingan’nya waktu itu? Dia adalah orang yang ‘memutuskan’ hubungan itu. Orang yang tidak mau bersama-sama ‘menopang’ cinta.

Walaupun begitu, keputusan ada di tangan petinggi klub dan pelatih masing-masing klub. Jika Barcelona masih membutuhkan jasanya, terlepas entah performa macam apa yang akan ditunjukkan, maka dia tetap pemain Barcelona. Tetapi jika tidak dan Liverpool mau menebus mahar, maka pertunjukan The Little Magician akan kembali dibuka lagi di Merseyside. Dan saya sebagai seorang fans layar kaca yang berada nun jauh disana hanya bisa tersenyum pasrah dan mencoba mencari alasan untuk mencintai seseorang yang pernah pergi meninggalkan.

Karena sebenarnya saya (dan beberapa fans lainnya) lebih siap melihatnya berbaju apa saja (terutama Manchester United) dan membencinya dengan tenang.

Exit mobile version