Suatu ketika, saya sedang makan pizza di salah satu restoran ternama. Di restoran ini, jika ingin makan pizza di tempat wadahnya adalah berupa dus yang biasa dipakai untuk take away. Saat saya makan, memang cukup banyak dus sisa makan pizza yang berserakan dan belum sempat dibersihkan oleh para karyawan restoran tersebut.
Kebetulan di waktu yang bersamaan ada sepasang turis mancanegara—bule—yang juga sedang makan pizza dan melihat dus yang berserakan itu lalu berkata “I don’t do that,” sambil tertawa nyinyir. Seketika saya pun tersadar, dua orang bule tersebut sedang menertawakan kelakuan beberapa warga +62, berflower—apa pun sebutan lainnya—yang tidak membuang sampah sisa makan pada tempatnya.
Saya perhatikan terus kedua turis tersebut sampai mereka selesai menyantap pizza dan beberapa dessert-nya. Benar saja, mereka membuang sisa makanan juga dus ke tempat sampah yang tersedia dan berada di dekat meja restoran tersebut—tanpa membiarkan dus dan sampah lainnya berserakan tanpa arti di atas meja. Mereka membuktikan apa yang disampaikan sebelumnya “I don’t do that”—tidak membiarkan atau membuang sampah sembarangan.
Mungkin membosankan bagi sebagian orang perihal pembahasan atau himbauan membuang sampah pada tempatnya, tapi berkaca dari pengalaman pribadi, hal ini harus tetap dilakukan sampai orang di sekitar kita benar-benar tertib dalam membuang sampah di tempat yang sudah disediakan.
Rasanya menyebalkan mendengar mereka yang selalu mengandalkan bahkan menyepelekan petugas kebersihan dengan cara membuang sampah sembarangan. “Alah, kalau kita buang sampah sembarangan nanti tukang sampah ngga ada kerjanya”, begitu kata salah satu teman saya—yang menjadi tukang menyampah sebenarnya.
Mungkin sebagian dari kita masih ingat, beberapa waktu lalu sempat viral di media sosial tentang seseorang yang makan di restoran cepat saji merasa tidak berkewajiban dan tidak perlu merapikan sisa makanan yang sudah disantap, berantakan pun biar saja. Nanti kalau pelanggan yang bersihkan, karyawan restoran tidak ada kerjanya.
Lalu ada juga yang berkomentar, jika memang harus beres-beres saat makan di restoran, buat apa sampai makan di luar. Gunanya makan di luar kan memang agar bisa dilayani tanpa harus membereskan sisa makanan. Lantas saya berpikir, sepertinya sebagian orang Indonesia memang belum siap berada di negara maju.
Masih membekas juga dalam ingatan bagaimana viralnya cerita tentang petugas kebersihan di bioskop yang kewalahan dan harus bolak-balik antara studio satu dengan lainnya untuk membersihkan sampah yang berserakan setelah para pengunjung selesai menonton suatu film. Sebetulnya, sisa sampah itu bisa dibuang sendiri, kan?
Banyak diantara teman saya pun yang masih buang sampah di sembarang tempat. Entah bungkus makanan atau puntung rokok. Memang, apa susahnya sih buang sampah di tempat yang sudah disediakan? Apa yang dipikirkan oleh orang suka membuang sampah sembarangan? Begini, kalau memang di sekitar tempatmu tidak ada tempat sampah, bisa disimpan atau dipegang dahulu sampai akhirnya menemukan tempat sampah.
Sebelumnya saya pikir, membuang sampah pada tempatnya itu tergolong mudah. Namun ternyata tidak bagi sebagian orang. Mungkin, mereka memang lebih suka menyalahkan pemerintah saat banjir, bisa juga berdalih banjir yang melanda merupakan kiriman dari bendungan katulampa Bogor, tanpa mengingat bahwa buang sampah sembarangan apalagi ke kali—sungai—dapat menjadi salah satu penyebab utamanya.
Petugas kebersihan baik yang berada di jalan pun di dalam gedung, mereka adalah orang yang berjasa menjaga kebersihan. Bukan soal itu tugas mereka atau jika lingkungan bersih lalu mereka tidak ada kerjanya. Jika sudah bersih, sudah selayaknya kita semua merasa nyaman.
Pastinya ada cara yang jauh lebih baik dalam memberi perlakuan yang baik bagi para petugas kebersihan, salah satunya menjaga kebersihan dan membawa sisa makanan beserta sampah lalu selalu membuangnya ke tempat sampah yang tersedia.
Selain hal tersebut ke dalam memanusiakan manusia, juga termasuk menjaga lingkungan agar tetap asri dan bersih. Teman lama saya—yang juga pecinta alam—pernah menitip pesan jika kita mencintai lingkungan, lingkungan akan berbalik mencintai kita—sebagai manusia yang hidup beriringan dan saling memberi dampak positif.