Saya adalah difabel netra. Nggak perlu saya jelaskan apa maksudnya ya, kalian harusnya sudah tau. Sebagai difabel netra, tak jarang saya mendapat pertanyaan-pertanyaan tentang kondisi saya. Kadang pertanyaannya kurang ajar, kadang ya lucu juga.
Tapi, frekuensi pertanyaan yang datang jadi meningkat ketika saya kuliah. Jelas saja, berjalan menggunakan tongkat atau digandeng dengan seorang pendamping, tentu menimbulkan pikiran-pikiran penasaran yang merongrong benak mereka. Sayangnya, pertanyaan itu tidak dibarengi dengan ketepatan atau mungkin kecerdasan.
Jadi, bisa dibilang pertanyaan-pertanyaan itu sangat absurd. Bahkan, kalau mau dibilang menjengkelkan, itu juga boleh. Untungnya saya tidak lupa mencatat pertanyaan-pertanyaan itu. Nah ini, sedikit kenang-kenangan dari pertanyaan absurd yang sering ditanyakan ke saya, tentunya dengan kunci jawaban.
Bertanya non-verbal
Tentunya kalian heran, kok bisa pertanyaan itu diajukan non-verbal? Memang bukan sebuah pertanyaan dan saya juga sih. Saya baru tahu dari orangnya langsung ketika sudah lulus, yang kemudian menceritakan hal ini. Bisa dibilang, orang tersebut melakukan ini karena penasaran apakah saya benar-benar melihat atau tidak. Dia memastikannya dengan cara menggoyang-goyang tangannya di depan mata saya, tanpa bertanya atau sekedar berbasa-basi terlebih dahulu. Ini dilakukan karena ia menganggap jika kalau orang nggak bisa lihat itu pasti merem. Jadi, dia heran pas lihat mata saya masih terbuka dan berkedip karena dia pikir mata seorang difabel netra itu pasti tertutup.
Sebenarnya, hal itu tidak perlu dilakukan. Jika kalian ingin memastikan seseorang itu memang benar difabel netra, tanya langsung aja udah.
“Halo, siapa saya?”
Pertanyaan di atas adalah pertanyaan absurd yang sering ditanyakan orang-orang. Bahkan, hal tersebut masih terjadi ketika saya sudah bekerja. Memang sih, jika menjadi difabel netra, bertatapan langsung pun seperti mengobrol di telepon. Saya tahu, hal ini dilakukan kawan-kawan untuk sekedar mendekatkan diri. dengan kata lain, ini candaan sehari-hari untuk berinteraksi dengan saya. Meski begitu, terkadang hal ini bisa menjurus ke penipuan. Jadi perlu sedikit berhati-hati. Tapi, tenang, karena saya sudah pengalaman, maka saya akan berikan tips and trick dalam menghadapi ini.
Ceritanya begini, ketika sedang santai, tiba-tiba telepon bicara saya berdering. Langsung saja, saya menekan tombol shortcut untuk menjawabnya. Tentu hal itu dibarengi dengan teleponku yang mengoceh terus kayak orang lagi kelaperan. Kemudian suara seseorang muncul, “Halo, siapa saya?” Jika memang sedang berhadapan dengan peristiwa seperti ini. Mending, kalian jangan panik. Ikuti saja permainannya. Anggep saja lagi main kuis tebak orang. Kemudian, coba cari nama orang yang kalian tahu keberadaannya dan sedang apa. Atau kalau tidak, kalian sebut saja nama kalian sendiri.
Biasanya cara ini berhasil. Sebab, saat itu, setelah menyebut nama saya, dia langsung minta transfer ini itu. Jika sudah menjawab seperti itu, berarti ular sudah masuk perangkap. Usahakan jangan kendorkan serangan. Terus ikuti mama minta transfer itu atau sapalah yang minta transfer dan kalau bisa gantian kalian yang minta transfer ke penipunya.
“Mas, kalau makan gimana?”
Mendengar pertanyaan seperti ini, entah mengapa selalu membuat saya ingin menangis. Saya tahu yang bertanya seperti ini adalah orang-orang yang baik dan ada kemungkinan khawatir. Meski selalu terharu, tetap saja, akurasi dari sebuah pertanyaan itu sangat penting.
Bagi saya, menjawab pertanyaan seperti ini cukup mudah. Tak perlu keterampilan khusus. Hanya saja pasti terdengar sarkas dan kurang manusiawi. Biasanya saya menjawabnya seperti ini, “ya dikunyah,” atau “emangnya kamu nggak pernah makan ya?” Jawabku sambil memelintir kumis.Tak jarang pula, saya jawab saya kalau makan itu disuapin.
Tentu jawaban yang terakhir itu ada maunya. Hanya saja jawaban yang lain itu cenderung sarkastik. Di sisi lain, saya terharu, tapi saya malu mengakuinya. Yang jelas, pertanyaan ini juga termasuk absurd, mengingat semua orang itu pasti makan, termasuk saya.
Jadi orang difabel netra ya kalau makan ya sama aja sama orang kebanyakan. Gini aja deh, kalau kalian masih bingung, mending ajak teman kalian yang difabel netra ke restoran, traktir mereka, terus amati mereka makan. Simpel kan?
“Mas, kalau tidur gimana?”
Nah, yang satu ini lebih absurd lagi. Pasalnya, banyak kawan saya berpikir jika tidak dapat melihat pasti kelopak matanya tidak perlu ditutup ketika tidur. Mungkin, itu karena mereka tidak pernah tidur bareng saya.
Begini, Gaes. Meski tidak bisa melihat, tapi saya masih bisa berkedip. Menurut teman saya, saya kalau tidur merem. Kenapa menurut teman saya? Ya nggak usah ditanya sih, asli. Kalau nggak merem, ya iritasi dong matanya.
“Mas, kalau mandi gimana?”
Satu lagi pertanyaan absurd yang jadi highlight di buku catatan saya semasa kuliah dulu. Saya kira ketika semua orang mandi, pasti mereka tidak menyabuni matanya secara sengaja kan? Meski begitu, mereka tetap saja sering kali menanyakan ini. Padahal mereka sendiri tentunya juga mandi, atau mungkin mereka memang tidak pernah mandi.
Entahlah, yang jelas pertanyaan ini sering muncul dan tercatat dalam buku harian. Aslinya, kawan-kawan saya bertanya perihal ini sebab mereka sejatinya takut mandi dalam keadaan gelap. Asal tahu saja, tidak semua difabel netra itu melihat gelap. Mungkin bagi yang mengalami kebutaan ketika dewasa tentu saja yang dilihat gelap, sebab mereka pernah melihat dan kenal dengan konsep gelap dan terang. Namun, hal itu tak berlaku bagi seseorang yang difabel netra sejak lahir.
Difabel netra total sejak lahir tidak pernah tahu konsep warna itu seperti apa. Makanya, kalau dibilang gelap juga belum tentu, sebab itu konsep dari orang-orang melihat. Bisa saja, yang dilihat itu bukanlah kegelapan. Apa pun itu, mau gelap atau tidak yang penting usahakan cintamu tak dirundung dengan kegelapan.
Nah begini. Ketika mandi saya biasanya mengimajinasikan ruang dan tata letak peralatan mandi. Dengan begitu, saya dapat luwes bergerak dalam kamar mandi. Tapi, perlu diingat, saya akan mengangkat tangan di depan wajah dan tangan satunya di depan perut agak ke bawah. Itu saya lakukan untuk memperkecil cedera. Jika saya mulai bingung, saya akan coba cari tembok dan telusuri dengan tangan. Tapi, tetap usahakan tangan satunya berada di depan perut. Perlu diketahui juga, biasanya jika tempat itu belum saya kenali, saya akan meminta tolong kawan untuk memberitahu keadaan kamar mandinya. Kemudian saya akan meraba-raba bagian penting dalam kamar mandi, kecuali kloset. Kalau yang ini, saya raba pake kaki.
Kalau di rumah tentu itu jauh lebih mudah. Kan tiap hari ke kamar mandi, yang penting tempat sabun dan shampo jangan ditukar. Nah, sekarang pastinya sudah bisa kalian mandi tanpa lampu, kan!
“Mas, kalau belajar gimana?”
Seperti orang pada umumnya, cara belajar itu macam-macam. Ada yang menggunakan indera pendengar, ada yang menggunakan penglihatan, ada pula yang sambil gerak-gerak. Tentunya kalian paham, kalau difabel netra itu lebih mengandalkan indera pendengaran dan perabaannya. Pastinya saya belajar dengan perangkat yang memungkinkan saya tetap mengoptimalkan kedua indera tersebut, misal dengan komputer bicara atau buku Braille. Berhubung saya kumpulan difabel netra yang tidak bisa baca braille, jadi saya lebih cenderung menggunakan teknologi.
Saya sangsi, hal-hal demikian banyak yang tahu. Jadi kalau pengen tahu lebih dalam sering-seringlah ngopi bareng para difabel netra. Kalau sering ngopi, pastinya tahu jika gadget para difabel netra itu bisa berbicara.
Teknologi pembantu difabel netra sangatlah berpengaruh. Saya bisa lulus kemarin juga karena pembaca layar. Tentunya hal itu harus dibarengi dengan buku digital. Kalau tidak ada buku digital, terus apa yang saya baca. Meski erat sekali interaksi saya dengan teknologi, terkadang, kalau kepepet saya akan meminta salah seorang kawan untuk membacakan buku cetak. Maklum, jaman itu buku digital lumayan sedikit.
Selain itu, berdiskusi dengan teman sejawat itu juga membantu. Kan tahu sendiri pendengaran akan lebih terkonsentrasi ketika menutup mata. Lebih gampangnya, enam puluh persen saya mengandalkan pembaca layar, empat puluh sembilan persen diskusi dan sisanya ngarang sedikit.
Nah sekarang kalian tahu kan, kalau mau ngasih pertanyaan ke difabel netra. Oh iya, catatan satu lagi, difabel netra itu juga manusia. Kalau begitu pasti banyak ragamnya, tapi setidaknya tulisan dari pengalaman saya ini bisa membantu menggambarkan kurangnya kesadaran orang-orang terhadap difabel.
BACA JUGA Ketika Orang yang Biasa ke Angkringan Mengunjungi Kafe Kelas Menengah
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.